TEGAL (SUARABARU.ID) – Nelayan Kota Tegal resah dan keberatan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang melambung hingga 400 persen.
“Kami menyampaikan keberatan terkait dengan kenaikan PNBP serta aturan turunannya Keputusan Menteri Nomor 86,87 Tahun 2021 yang mengatur tentang harga patokan ikan,” kata Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kota Tegal H Riswanto.
Riswanto mengatakan, dulu nelayan melaut selama satu tahun membayar di awal sebesar Rp 90 juta saja berat namun, masih tetap bisa jalan. Apa lagi dari Rp 90 juta naik 400 persen menjadi sekira Rp 400 juta pihaknya merasa keberatan.
“Yang kemarin dihantam masa pandemi kita saja masih kembang-kempis, naik hingga 400 persen ini sangat memberatkan sekali,” ujar Riswanto.
Dengan kebijakan tersebut Riswanto berharap pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali. Terkait harga patokan ikan di daerah yang tidak sama dengan harga patokan yang sudah ditentukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Menteri Nomor 86 dan 87 Tahun 2021.
Riswanto mencontohkan untuk harga ikan sesuai rata-rata di TPI atau bayer sebesar Rfftp 50 ribu per kg namun, setelah sampaikan Ke KKP justru harganya malah sebesar Rp 75 ribu.
“Seperti harga ikan kunir selisih harganya sangat tinggi. Apa bila di daerah Kota Tegal misal harganya Rp 4 ribu per kg namun, diaturan lebih dari Rp 4 ribu lebih. Hal itu berpengaruh pada hitungan komposisi dari pada PHP yang akan kita bayarkan pada pra,” kata Riswanto.
Riswanto berharap kalaupun ada kenaikan dan negara memang sedang membutuhkan anggaran dari sektor pajak perikanan teman-teman nelayan tidak keberatan untuk bayar pajak namun seyogyanya hitungannya jangan 400 persen.
“Dari Rp 90 juta naik menjadi Rp 100 juta per tahun teman-teman nelayan mungkin masih bisa jalan,” kata Riswanto.
Dijelaskan, karena jaring tarik berkantong diawal PP baru, setelah pulang dari melaut tentu tidak mendapatkan SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) dan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) manakala tidak membayar pra sebesar sekira Rp 400 juta, itu harus bayar diawal. Apa bila tidak bayar tentu tidak diterbitkan SIUP SIPI yang alat tangkap jaring berkantong. Jadi akan menjadi dampak berhentinya beroperasi kapal-kapal di Kota Tegal yang jumlahnya ratusan.
“Peraturan baru diterbitkan pad 20 September 2021 secara otomatis sudah berlaku dilapangan dan apabila dipaksakan melaut, tentu akan beresiko berhadapan dengan aparat penegak hukum di laut karena kita tidak ada dokumen yang namanya SIUP dan SIPI yang kita bayarkan,” ungkap Riswanto.
Pemilik kapal asal Muarareja, Kota Tegal Yusuf Baehaqi menambahkan, kebijakan pemerintah sangat memberatkan nelayan. Di tengah wabah pandemi Covid-19 yang belum usai, mestinya KKP harus punya rasa keprihatinan terhadap nasib nelayan, bukan malah menaikkan PHP (Pungutan Hasil Perikanan).
“Dengan kebijakan tersebut, nahkoda, ABK dan nelayan kasihan kerja tapi tidak dapat uang,” ujarnya.
Terpisah menanggapi keresahan para nelayan, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriono menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan dari pemerintah pusat.
“Alangkah baiknya nelayan beraudiensi ke DPR RI yang dihadiri oleh KKP untuk menyalurkan aspirasinya. Pemerintah Kota Tegal juga telah memberikan bantuan beras paceklik sebanyak 108 ton sejumlah sekira Rp 1.250.000.900
untuk 5.870 nelayan dan 891 kapal,” singkat Dedy Yon.
Nino Moebi