Oleh : Ratu Andayani

Selepas jamaah subuh,   tiba-tiba   seluruh tubuhku merinding dan tulang kakiku terasa  lemas. Apalagi saat kutengok nanap jalanan yang sepi dikeheningan subuh, ada rasa cemas  yang kembali terulang. Sepanjang usiaku inilah Bodo Kupat atau  Lomban  yang bergelayut sepi.

Suasana seperti itu  pernah terjadi 31 Mei 2020, saat berlangsung ritual bodo kupat yang salah satu puncaknya adalah lomban. Tradisi ini  sejak 200 tahun lebih menjadi perhelatan kegembiraan kawulo alit  dan sekaligus ritus ucapan syukur nelayan pada Sang Khaliq.

Entah kenapa kembali batinku menjerit saat kusaksikan subuh yang sepi tanggal 20 Mei 2021. Biasanya jalan itu sejak subuh  ramai lalu lalang pedagang mempersiapkan lapak bahkan banyak yang dari luar kota.

Bakan sepekan sejak lebaran H+1 mereka sudah mempersiapkan segalanya dan puncaknya adalah hari ini. Bahkan ada yang mremo selama pekan lebaran. Nelayan juga  mempersiapkan kapal-kapal mereka dengan hiasan warna warni.

Ada juga  yang sengaja mengecat ulang supaya tampak menarik saat pesta lomban. Harapannya dapat menjadi daya tarik pengunnjung saat ingin menikmati keindahan laut.

Pemuda-pemuda juga mempersiapkan puluhan plastik besar yang diisi oksigen kemudian disulut mengiringi pelepasan pelarungan Kepala Kerbau. Suaranya yang menggelegar mengisi ruang kampung kami. Panggung Orkes Dangdutpun disiapkan sebagai hiburan rakyat pesisir yang memang akrab dengan musik ini.

Hari yang terasa aneh. Tak ada anak- pakai baju baru seliweran, tak ada suara petasan, tak ada suara gamelan wayang, tak ada orang lalu lalang, tak ada pedagang mempersiapkan dagangan pagi buta. Aneh dan sangat menyayat hati.

Padahal kami sangat merindukan kebisingan yang  yang ditimbulkan oleh perhelatan budaya itu. Kami sangat merindukan perahu-perahu nelayan, dan tukang becak dapat mengangkut penumpangnya kembali dengan susana gembira, tanpa takut dan cemas.

Simbok-simbok bakulpun demikian, ingin barang dagangannya habis laris tak tersisa. Anak-anak juga ingin riang gembira menentang tas kesekolah, bercengkerama dengan guru dan kawan-kawannya.

Aku  tersadar dari anganku. Semua keheningan itu karena pandemi yang kemudian meluluhlantakan semua pranata sosial, ekonomi, pendidikan, budaya dan bahkan agama. Entah sampai kapan kondisi seperti ini terus terjadi dan terus membelenggu kami. Sementara kita masih masih saja abai.  Mungkin hanya Tuhan yang  mengerti.

Penulis adalah aktivis perempuan yang tinggal pesisir di Jepara