Oleh : Tri Hutomo
Putusan terhadap Empat (4) terdakwa pelaku tambak di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional Karimunjawa telah dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara oleh Ketua majelis hakim Meirina Dewi Setiawati, S.H., M.Hum. didampingi hakim anggota Parlin Mangatas Bona Tua S.H., MH dan Joko Ciptanto S.H.
Dalam keputusannya, Mirah Sanusi Darwiyah Binti Tular dipidana 1 tahun, denda 30 juta, jika tidak dibayarkan diganti kurungan 3 bulan. Sedangkan Sutrisno Bin Sunardi sebagai pemilik CV Bimantara Vanname, diputus pidana 1 tahun 2 bulan, denda 30 juta jika tidak bisa membayar diganti kurungan 3 bulan. Sementara Sugianto Limanto Bin Tri Santoso Limanto Pemilik PT. Indo Bahari dipidana 1 Tahun, denda 30 juta jika tidak dibayar diganti kurungan 3 bulan. Untuk Teguh Santoso Bin Sumarno dijatuhi hukuman pidana 1 tahun 10 bulan, denda 50 juta jika tidak dibayarkan maka diganti kurungan 3 bulan.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam tuntutannya untuk Terdakwa Teguh Santoso Bin Sumarno, berdasarkan fakta- fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan saksi saksi dan terdakwa, Jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Sehingga Jaksa menuntut Hukuman penjara 6 tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebesar Rp. 7 Milliar, apabila tidak bisa membayar diganti kurungan selama 4 bulan.
Untuk terdakwa Sutrisno Bin Sunardi, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, Jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Sehingga dituntut penjara selama 4 tahun dipotong masa tahanan dan denda Rp. 7 Milliar, apabila tidak mampu diganti penjara selama 4 bulan.
Untuk terdakwa Mirah Sanusi Darwiyah Binti Tular, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, Jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Maka JPU menuntut penjara selama 3 tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp. 6 Milliar apabila tidak bersedia maka diganti 3 bulan penjara.
Sedangkan terdakwa Sugianto Limanto Bin Tri Santoso Limanto, dituntut penjara selama 3 tahun dan denda Rp. 6 Milliar, apabila tidak mampu diganti penjara 3 bulan.
Para terdakwa didakwa telah melakukan Tindak Pidana Bidang Konservasi Alam Hayati yaitu setiap orang dilarang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.
Selain itu para terdakwa juga didakwakan melakukan pelanggaran tindak Pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria batu kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan ancaman Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar
Putusan abaikan UU PPLH
Melihat fenomena putusan Hakim Pengadilan Negeri Jepara, sangat disayangkan putusan Hakim terlalu ringan, kurang 2/3 dari tuntutan Jaksa, yang dalam hal ini Majelis Hakim hanya mempertimbangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Tindak Pidana Bidang Konservasi Alam Hayati yaitu setiap orang dilarang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, sebagai dasar memberikan putusan.
Namun hakim tidak mempertimbangkan Tindak Pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sesuai tuntutan Jaksa penuntut umum. Bisa diartikan Hakim Pengadilan Negeri Jepara telah memanfaatkan celah dalam menjatuhkan putusan, dengan menggunakan pasal yang mengatur ancaman pidana dan denda paling rendah.
Sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara tidak berpedoman seutuhnya pada Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Diantaranya pada Pasal 23, yang menjelaskan bahwa dalam memeriksa Bukti Ilmiah yang diajukan dalam proses persidangan perkara lingkungan hidup, Hakim Pemeriksa Perkara mempertimbangkan ketepatan metode dan validitas prosedur pengambilan sampel dengan memperhatikan akreditasi laboratorium serta pendapat ahli dari kedua belah pihak.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ahli, Hakim Pemeriksa Perkara dapat meminta dihadirkan ahli lain atas biaya para pihak atau menggunakan pendapat ahli yang dianggap benar dengan memberikan alasannya dalam pertimbangan hukum.
Kemudian pada Pasal 25, dalam hal pembuktian kesesuaian kegiatan/usaha dengan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c, Hakim Pemeriksa Perkara memeriksa dan menilai konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang atau persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang oleh pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang; dan kesesuaian lokasi suatu kegiatan/usaha dengan rencana tata ruang yang berlaku. Padahal kita ketahui bahwa usaha tambak udang di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional tidak sesuai peruntukannya, sehingga bisa dikatakan illegal karena tidak terpenuhinya perijinan dasar.
Hakim Pemeriksa Perkara juga seharusnya menerapkan Asas Kehatihatian apabila terdapat ketidakpastian dalam Bukti Ilmiah pada suatu perkara lingkungan hidup. Dalam menerapkan Asas Kehati-hatian, Hakim Pemeriksa Perkara mempertimbangkan hal, seperti terdapat ancaman serius yang berpotensi tidak dapat dipulihkan baik ancaman terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan manusia generasi saat ini dan generasi yang akan datang, terdapat ketidakpastian ilmiah dalam menentukan hubungan kausalitas antara kegiatan/usaha dan pengaruhnya pada lingkungan hidup; dan upaya pencegahan kerusakan lingkungan lebih diutamakan meskipun upaya pencegahan tersebut membutuhkan biaya yang lebih besar daripada biaya awal rencana kegiatan/usaha.
Sehingga dalam sidang perkara lingkungan ini, sejak awal seharusnya Hakim bisa memerintahkan Sidang pemeriksaan setempat atau descente dalam perkara lingkungan hidup dengan menentukan siapa yang harus membayar biaya tersebut, tujuannya agar hakim dapat melihat secara langsung keadaan sesuai fakta lapangan.
Meski tidak merupakan alat bukti, tetapi dapat menjadi pendukung alat bukti lainnya, seperti surat, saksi, pengakuan, persangkaan, atau sumpah. Seperti telah diatur dalam Pasal 153 HIR/Pasal 180 RBg/Pasal 211-pasal 214 Rv dan SEMA Nomor 7 Tahun 2001. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara yang tidak sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum terkait penerapan dakwaan Undang-Undang Lingkungan Hidup kepada para terdakwa, ini membuktikan hakim masih ragu-ragu atau tidak memahami kondisi dampak-dampak atas pelanggaran yang telah dilakukan para terdakwa, baik dampak ekologis, ekonomi maupun sosial, karena secara fakta di lapangan telah terjadi kerugian ekologis dan ekonomi bagi Negara dan masyarakat.
Didalam persidangan pun juga telah dihadirkan para saksi ahli sesuai keilmuannya dan kompetensinya, dadi ahli lingkungan, ahli terumbu karang, ahli mangrove dan ahli pencemaran, tapi seolah-olah keterangan para saksi ahli dipersidangan tidak didengar oleh Majelis Hakim untuk memutuskan suatu keadilan bagi lingkungan dan masyarakat.
Hakim juga tidak memperhatikan bahwa Karimunjawa merupakan Kawasan Strategi Pariwisata Nasinal yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor No. 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS, Karimunjawa ditetapkan sebagai KSPN (Kawasan Strategi Pariwisata Nasional) dan Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh PBB melalui UNESCO pada tanggal 28 Oktober 2020 sebagai upaya untuk mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan alam dan lingkungannya.
Kemudian para terdakwa telah memulai usaha kegiatan tambak udang intensive di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional dengan waktu yang berbeda, mulai Tahun 2016 sampai Tahun 2023. Di lokasi dan luasan tambak yang berbeda-beda, panjang dan jumlah jalur pipa inlet yang masuk ke kawasan juga berbeda, dari 1 jalur sampai 11 jalur, akan tetapi putusan hampir semua sama. Yaitu rata-rata divonis pidana 1 Tahun, jauh lebih ringan dari ancaman pidana bagi pencuri ternak ayam.
Padahal dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri Jepara sebagai pertimbangan memberatkan untuk dijadikan dasar putusan, salah satunya para terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam menjaga dan melestarikan lingkungan di Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Akan tetapi yang diterapkan putusan dakwaan untuk para terdakwa hanya menggunakan Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya hanya dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000. ini sebagai catatan untuk lembaga pengawas internal seperti Komisi Yudisial (KY) ataupun lembaga eksternal lainnya, dalam melakukan pengawasan proses hukum bukan hanya kepada 4 (empat) terdakwa pelaku tambak di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Karimunjawa. Akan tetapi juga melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan pejabat yang menangani perkara tersebut.
Perkara Daniel FM Tangkilisan
Sebelumnya di Pengadilan Negeri Jepara pernah memutus bersalah terhadap aktivis lingkungan Daniel FM Tangkilisan karena didakwa “ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan” Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45A ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Dengan menjatuhkan kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sejumlah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Adapun Daniel merupakan aktivis lingkungan yang memperjuangkan lingkungan di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional Karimunjawa karena dampak kegiatan usaha tambak udang intensive. Ia mengunggah foto Pantai Cemara yang terdampak pencemaran limbah tambak udang, kemudian Daniel menanggapi salah satu komentar dengan kalimat, ”Masyarakat otak udang menikmati makan gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak udang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak, dan teratur untuk dipangan”. Pernyataan inilah yang kemudian dinilai sebagai ujaran kebencian dan memenuhi unsur dalam pasal UU ITE.
Kemudian setelah banding ke Pengadilan Tinggi Semarang, sesuai petikan putusan nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG terdakwa Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50). Dalam surat putusan itu, permintaan banding terdakwa Daniel diterima. Sehingga Pengadilan Tinggi Semarang Jawa Tengah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jepara atas nomor perkara 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa tanggal 4 April 2024 yang dimintakan banding.
Kemudian Jaksa mengajukan kasasi setelah Daniel dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, Jawa Tengah, dan Mahkamah Agung menolak upaya Kasasi JPU (Jaksa Penuntut Umum), Perkara diputus pada 2 Oktober 2024 lalu.
Penolakan Mahkamah Agung atas upaya Kasasi terhadap aktivis Daniel Frits Maurits Tangkilisan, merupakan bukti penegakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan tidak pernah mati. Putusan yang menguatkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang merupakan sebuah landmark keputusan karena pertimbangan utamanya majelis hakim menganggap Daniel sebagai pelaku terbukti pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM.
Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang Jawa Tengah menerima permohonan banding Daniel Frits atas kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yang sebelumnya, Daniel divonis tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jepara.
Dari situ bisa kita lihat bahwa Hakim Pengadilan Negeri Jepara tidak mempertimbangkan posisi Daniel Frits sebagai pejuang hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dan pembela HAM yang harus dilindungi. Majelis Hakim juga tidak Merujuk Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, di mana pada Pasal 48 disebutkan perlindungan hukum diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sehingga hakim-hakim seperti ini sangat menghawatirkan jika menangani perkara-perkara terkait lingkungan hidup, atau perkara yang melibatkan mereka yang aktivitasnya melakukan pembelaan HAM. Yang menandakan bahwa matinya HAM dan harapan atas hadirnya keadilan yang menjadi salah satu tuntutan reformasi 1998 tidak pernah mati.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jepara waktu itu juga tidak mempertimbangkan kasus yang menimpa Daniel sebagai bentuk gugatan strategis terhadap partisipasi masyarakat Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) merupakan konsep yang menjamin perlindungan hukum masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dari paparan dua perkara di Pengadilan Negeri Jepara Jawa Tengah yang berkaitan dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat kita simpulkan bahwa law enforcement, penegakan hukum dalam arti luas adalah mencakup kegiatan untuk menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.
Demikian juga terhadap hukum lingkungan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam undang-undang disebutkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum yang harus dilakukan secara integral dan sinergi. Selain itu juga sudah diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dengan tujuan menjawab berbagai perkembangan regulasi dan praktik maupun tantangan dalam proses penanganan perkara lingkungan hidup di pengadilan.
Dalam arti yang lebih luas penegakan hukum lingkungan hidup termasuk didalamnya adalah menyangkut konservasi Sumber Daya Alam Hayati sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dimana disebutkan bahwa konservasi alam adalah merupakan kegiatan menjaga dan melestarikan alam sebagai tempat tinggal manusia. Menjaga alam merupakan salah satu upaya penting agar kita sebagai manusia dapat hidup lebih lama, dan dalam kondisi lingkungan hidup yang baik. Ini semua membutuhkan komitment yang kuat bagi kita semua secara bersinergi baik itu penegakkan hukum maupun tindakan kita selaku warga masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan kita, maupun satwa dan tumbuhan yang ada disekitar kita.
Dengan Pemberlakukan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, disebutkan dalam ketentuan tersebut hal-hal pokok yang esensial bahwa perkara lingkungan hidup harus diadili oleh hakim lingkungan hidup pada peradilan tingkat pertama, tingkat banding dan Mahkamah Agung. Pengaturan ini menunjukaan sikap dari Lembaga peradilan akan keseriusan dalam penanganan perkara di Lembaga peradilan untuk menghindari perbedaan dalam penanganan perkara lingkungan hidup. Akan tetapi terasa berbanding berbalik jika melihat dua perkara di Pengadilan Negeri Jepara Jawa Tengah yang berkaitan dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Harus dipahami juga dalam penanganan perkara lingkungan hidup sangatlah kompleksitas dan bahkan kadang dibutuhkan bukti ilmiah (scientific evidence) sehingga diharapkan Hakim yang menangani perkara lingkungan hidup harus bersikap progresif harus berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta juga harus berani melakukan judicial activism (pilihan putusan mewujudkan keadilan).
Padahal dalam penanganan masalah lingkungan hidup Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 134/KMA/SK/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, disebutkan sebagai dasar pertimbangan bahwa pengadilan sebagai salah satu instrument penegakan hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan penegakan hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik berjalan di Indonesia, bahwa perkara lingkungan dan sumber daya alam perlu ditangani secara khusus oleh institusi pengadilan yang memahami urgensi perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam, bahwa agar hal tersebut dapat terlaksana Mahkamah Agung perlu mengembangkan sertifikasi hakim lingkungan hidup untuk menangani perkara lingkungan hidup dan sumberdaya alam;
Llingkungan hidup sendiri tidaklah hanya sebatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 saja, tetapi secara lebih luas dan integral adalah juga menyangkut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Secara hukum pidana, undang-undang tersebut adalah merupakan lex specialis dalam penjatuhan pidana dari KUHP , demikian juga menyangkut hukum acaranya, apa bila ada pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang tersebut maka Undang-Undang tersebut merupakan Lex specialis dari KUHAP kita.
Menyangkut implementasi bahwa putusan Hakim Pengadilan Negeri Jepara kita nilai masih belum memberi kontribusi dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional Karimunjawa yakni dengan memberikan legal reasoning yang menyelamatkan lingkungan hidup karena suatu putusan Hakim merupakan pertanggungjawaban hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga putusan tersebut mempunyai nilai objektif dan bermanfaat bagi kelestarian lingkungan hidup dimasyarakat.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jepara kepada Para Pelaku Penjahat Lingkungan hidup ini harus diberi effek jera, karena dirasakan belum mencerminkan upaya perlindungan lingkungan hidup di Kawasan Strategi Pariwisata Nasional Karimunjawa, yang dapat mengakibatkan dampak serius bagi ekologis, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan, juga untuk memberi pelajaran bagi masyarakat lainnya, sehingga masyarakat lain tidak mencontoh untuk mengikuti melakukan pelanggaran terhadap lingkungan hidup sebagaimana selama ini terjadi ditengah masyarakat kita, khususnya di wilayah Kab. Jepara Jawa Tengah.
Penulis adalah Ketua Ajicakra Indonesia