Oleh: Hadi Priyanto
Hari Ukir Nasional dideklarasikan oleh Penjabat Bupati Jepara Edy Supriyanta dari panggung spektakuler di alun-alun Jepara pada hari Rabu Legi tanggal 20 Agustus 2022 sekitar pukul 15.30 WIB. Di atas panggung nampak Ketua DPRD Haizul Ma’arif, Dandim 0719 Jepara M. Husnur Rofiq, Kapolres Jepara AKBP Warsono, Sekda Edy Sujatmiko, dan Ketua Kadin Andang Wahyu Triyanto.
Di panggung Festival Jepara Bangkit tempat acara itu digelar juga ada para pelestari ukir Jepara yaitu Hadi Priyanto, Maslim, Subagya Eka Santosa, Suhali, Sutarya, Sutrisna, Margono, Ali Afandi, Ahmad Zainudin, Sutahar, Suyoto, Edy dan Muh Fakhrihun Na’am. Hadi Priyanto saat itu menjadi Ketua Panitia Festival Jepara Bangkit 2022 yang diinisiasi Pj Bupati Jepara Edy Supriyanta. Dalam festival tersebut tersaji acara mulai flash mop, carnival, lomba ukir, deklarasi Hari Ukir Nasional dan pagelaran kethoprak spektakuler dengan cerita Rainha de Japora garapan almarhum Iskak Wijaya
Sementara pada bagian depan panggung terdapat tulisan besar dari kayu, Jepara the Word Carving Center atau Jepara Pusat Ukir Dunia. Di depan panggung tempat deklarasi, ada pula Empu Ukir Jepara Sukarno serta ratusan perajin sedang mengikuti lomba ukir.
Disamping membacakan deklarasi, Pj Bupati Edy Supriyanta juga menandatangani prasasti yang terbuat dari kayu jati ukuran 110 cm X 110 cm tebal 12 cm bertuliskan “Declaration of National Wood Carving Day, Deklarasi Hari Ukir Nasional”. Prasasti ini dibuat oleh Sutarya yang juga dikenal sebagai dosen Unisnu Jepara dan pengusaha yang aktif dalam pelestarian ukir Jepara.
Sedangkan penetapan tanggal 20 Agustus sebagai Hari Ukir Nasional yang diambil dari momentum RA Kartini mengikutkan karyanya dalam pameran di Belanda, tak lepas dari pemikiran dan usulan Hadi Priyanto, penulis yang juga Ketua Yayasan Kartini Indonesia serta almarhum Iskak Wijaya yang dikenal luas sebagai budayawan, kepada Pj Bupati Edy Supriyanta. Juga para pelestari ukir Jepara saat itu.
“Deklarasi Hari Ukir Nasional ini adalah ikhtiar menciptakan momentum pelestarian ukir Jepara,” ujar Edy Supriyanta saat melakukan dekalarasi. Sebab seni ukir bukan saja menjadi salah satu identitas budaya Jepara, tetapi terbukti telah menjadi kekuatan ekonomi yang mensejahterakan warganya.
“Harapannya melalui peringatan ini dapat menjadi pengingat dan motivasi bersama untuk terus menghidupkan dan melestarikan seni ukir Jepara,” ujarnya
Sejarah Seni Ukir
Peradaban Seni Ukir Jepara telah dimulai sejak zaman Ratu Shima. Ratu Kerajaan Kalingga ini singgasananya terbuat dari gading gajah berukir. Kemudian ketika Ratu Kalinyamat berkuasa, seni ukir telah mulai dikembangkan sebagai komoditas ekonomi, baik untuk hiasan kapal maupun peralatan rumah tangga. Artefak seni ukir masa Ratu Kalinyamat masih nampak jelas di masjid Mantingan. Salah satu sisa peninggalan seni ukir tertua yang masih tersisa.
Berikutnya momentum yang nampak jelas berpengaruh besar terhadap perkembaangan seni ukir adalah kiprah dan peran RA Kartini. Kepekaan RA Kartini terhadap persoalan yang ada disekelilingnya dan kecintaannya pada seni ini yang mengantarkan ia begitu menghayati karya seniman ukir Jepara dan mencoba membangkitkan dari tidurnya yang panjang.
Karya mereka sangat indah. Namun mereka hidup miskin dan tinggal di rumah-rumah reyot dari bambu dan beratap daun rumbia. Mengapa bisa terjadi?. RA Kartini menemukan jawabnya. Karya seniman itu dijual dengan harga murah. Mereka hanya berkarya dan bukan bekerja atas dasar pesanan. Karena itu mereka tidak memiliki posisi tawar.
Karena itu ketika RA Kartini mendapatkan kesempatan untuk mengirimkan karyanya dalam pameran Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbied atau Pameran Karya Perempuan yang diselenggarakan tanggal 9 Juli – 21 September 1898 di Den Haag Belanda, ia mengirimkan 23 karyanya. Diantaranya adalah dua buah lukisan pemandangan alam dengan bingkai kayu ukiran, lukisan dalam bingkai kayu still rococo, 6 buah bambu berukir, dan tulisan tentang proses membatik disertai dengan alat-alat yang digunakan untuk membatik.
Karya seni RA Kartini dan dua adiknya, RA Rukmini dan RA Kardinah ini berhasil menarik perhatian Ratu Belanda, Wilhelmina dan Ibu Suri Ratu Ema. Bahkan mereka meminta kepada ketua penyelenggara pameran, Ny. Lucardie untuk membaca surat pengantar dari RA Kartini. Kejadian yang luar biasa ini ditulis di surat kabar De Roterdames Caurant tanggal 30 Agustus 1898.
Pameran ini sekaligus mengantarkan RA Kartini dikenal di Belanda sebagai seorang putri bangsawan Jawa yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan kerajinan dan seni ukir. Tentu ini sangat menggembirakan Kartini dan kedua adiknya dan sekaligus memperkuat niatnya untuk menolong para perajin Jepara meraih harkat dan martabatnya sebagai seorang seniman Jawa.
Karena itu, RA Kartini kemudian memanggil 12 orang seniman ukir dari Belakang Gunung di bawah bimbingan Singowiryo untuk bekerja di bengkel Kartini. Para seniman ini diminta oleh Kartini untuk membuat barang-barang kecil seperti tempat rokok, tempat perhiasan, tempat jahitan dan produk baru yang diminati pasar
Setelah jadi barang-barang ini dijual Kartini ke Batavia dan Semarang dengan harga yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan harga penjualan perajin. Setelah dipotong dengan biaya pengiriman dan harga bahan baku, uang penjualan diberikan seluruhnya kepada para perajin. Ini merupakan awal baru, meningkatnya kesejahteraan perajin.
Karena motif-motif yang dikerjakan oleh bengkel Kartini bagus dan indah, akhirnya pesanan terus berdatangan. Bahkan kemudian berkembang menjadi perkakas rumah tangga berukir seperti meja, kursi, almari, kursi pengantin dan tempat tidur. Pada tahun 1899 RA Kartini mulai mendapatkan pesanan dari Oeost en West. Tujuan lembaga ini adalah membantu memasarkan hasil kerajinan masyarakat Bumiputera. Keduanya kemudian bekerjasama.
Pada tahun 1902, RA Kartini mendapatkan pesanan yang cukup bayak dari Oeost en West untuk perperluan pesta Sinterklas pada bulan Desember 1902. Juga pesanan barang lain yang terus berdatangan dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan juga mulai mengerjakan pesanan dengan motif-motif Eropa.
RA Kartini tentu saja sangat gembira seperti yang diungkapkan RA Kartini dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tanggal 15 Agustus 1902, “ Hore….. untuk kerajinan dan kesenian rakyat kami. Hari depanmu pasti akan gemilang! Aku tak dapat mengatakan betapa girang dan bahagianya aku. Kami mengagumi rakyat kami. Kami bangga atas mereka. Rakyat kami yang kurang dikenal, karena itu juga kurang dihargai… Hari depan seniman Jepara sekarang terjamin.
Walaupun pesanan semakin banyak, RA Kartini masih saja menulis tentang keindahan seni ukir Jepara seperti yang dilakukan di surat kabar Eigen Haard yang terdiri dari beberpa tulisan. Karangan Kartini tentang ukir yang disertai dengan gambar ukiran Jepara ini juga diterbitkan dalam surat kabar berbahasa Melayu, Pewarta Warna.
Keberhasilan RA Kartini dalam mengembangkan seni ukir ini dilanjutkan oleh Bupati Jepara RMAA Koesoemo Oetoyo yang menggantikan RMAA Sosroningrat. Ia mewajibkan seluruh sekolah di Jepara untuk memberikan pengajaran tentang seni ukir.
Karena perkembangan seni ukir yang telah dirintis oleh RA Kartini ini kemudian pemerintah Hindia Belanda mendirikan Openbare Ambachsshool atau sekolah pertukangan jurusan seni ukir pada tahun 1929. Sekolah ini menjadi awal pendidikan bagi perajin-perajin ukir Jepara hingga dapat mengembangkan warisan leluhurnya.
Mengapa Jepara ?
Seni ukir bagi masyarakat Jepara bukan saja menjadi kekuatan budaya tetapi juga ekonomi. Bahkan peradaban masyarakat Jepara sangat dipengaruhi oleh seni ukir dan sekaligus menjadi keunggulan komparatf dan kompetitif masyarakat Jepara hingga sekitar tahun 1960-1970 Jepara mulai dikenal sebagai kota ukir dan kemudian mencoba membangun branding baru, Jepara The Word Carving Center.
Dari perspektif ekonomi, seni ukir yang menjadi bagian terbesar industri kayu olahan juga kemudian menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto sejak taun 1998. Sektor ini melampaui kontribusi sektor pertanian yang sebelumnya selalu memimpin di peringkat tertinggi. Ini berarti sumbangan sekor kayu olahan menjadi penyangga utama income perkapita penduduk Jepara.
Seni ukir Jepara juga telah dipatenkan melalui Indikasi Geografis atau IG. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yag menunjukkan daerah asal barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Perlindungan Indikasi Geografis merupakan payung hukum hak kekayaan intelektual untuk menjaga dan melindungi karakteristik, kualitas, dan kelangsungan mebel ukir Jepara. Karena itu kita harus terus melakukan upaya perlindungan terhadap karakteristik ukiran Jepara dan sekaligus menjaga kualitasnya.
Disamping itu seni ukir Jepara sejak tahun 2015 juga telah ditetapkan menjadi salah satu kekayaan budaya nonbenda di Indonesia. Karena itu harus dilindungi agar tidak punah. Sebab senyatanya tidak ada daerah lain di Indonesia yang layak disebut sepadan dengan Jepara ketika berbicara tentang potensi seni ukir
Mengapa Perlu Diperingati ?
Predikat Jepara sebagai kota ukir yang mulai melekat pada kota ini mulai tahun 60 – 70-an, kini mulai terancam. Sebab tidak banyak anak muda yang bersedia lagi mewarisi tradisi leluhurnya. Akibatnya perajin ukir semakin langka di kota yang mencoba membangun branding baru The Word Carving Center, Pusat Ukir Dunia.
Ada sejumlah catatan penulis mengapa seni ukir yang hampir tiga dasa warsa memberikan kontribusi dominan terhadap perekonomian daerah ini menghadapi persoalan serius dari aspek pelestarian. Karena itu perlu diciptakan momentum untuk mendorong semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk tumbuh kesadaran dan komitmennya untuk melestarikan seni ukir Jepara.
Pertama, Jepara sampai saat ini belum memiliki peta jalan pelestarian seni ukir yang dapat menjadi panduan arah bersama untuk bergerak secara sinergis dan kolaboratif.
Kedua, sejumlah regulasi di daerah yang telah diterbitkan juga tidak dilaksanakan secara maksimal. Ada Perda tentang Pendidikan yang mewajibkan semua satuan pendidikan menjadikan seni ukir sebagai muatan lokal. Juga Peraturan Bupati tentang Ornamen Ukiran pada Bangunan serta Perda No 2 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan, Perlindungan dan Pembinaan Industri Mebel.
Ketiga, tidak ada lagi lembaga pendidikan baik formal maupun non formal yang dapat melahirkan tenaga ukir terdidik dan terampil sejak tahun 1979. Pasca reformasi Kelas Pembangunan yang memberikan kursus seni ukir bagi anak-anak putus sekolah juga kemudian ditutup.
Keempat, posisi tawar tukang ukir yang rendah nampak pada penghasilannya yang rendah jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Ini salah satu penyebab ditinggalkannya seni ukir oleh generasi muda. Upah tukang ukir terampil di Jepara hanya berkisar Rp.80 ribu – Rp. 100 ribu per hari. Sedangkan penghasilan tukang kayu dan tukang batu bisa mencapai Rp. 120 ribu – Rp 150 ribu.
Kelima, investasi yang mulai masuk ke Jepara tahun 2013 lebih memberikan kepastian tingkat kesejahteraan pekerjanya jika dibandingkan bekerja di brak-brak mebel. Juga terbukanya peluang anak usia produktif untuk bekerja di sektor lain seperti pariwisata.
Keenam, kurang diberdayakan tukang ukir untuk meningkatkan keterampilannnya, termasuk tidak dilibatkannya dalam pengambilan kebijakan. Akreditasi perajin ukir yang diharapkan menjadi salah satu pintu pembuka untuk meningkatkan upah juga belum dapat diimplementasikan.
Ketujuh, regulasi, harga, tata niaga kayu juga tidak sepenuh berpihak pada perajin kecil hingga mereka mendapatkan harga yang relatif mahal. Sedangkan nilai jual produk sangat ditentukan oleh pasar dan pemilik modal.
Kedelapan, seni ukir hanya dilihat dari perspektif ekonomi dan tidak dimaknai sebagai kekayaan budaya lokal yang harus dijaga dan dilestarikan bersama.
Menciptakan momentum pelestarian
Latar belakang diatas yang melandasi mengapa Deklarasi Hari Ukir perlu dilakukan di Jepara. Tujuannya semata-mata untuk menciptakan momentum dan membangun stretegi serta kepekaan bersama untuk melestarikan seni ukir yang selama ini terbukti telah kekuatan kultural masyarakat Jepara. Namun seni adhiluhung ini kini terancam ditinggalkan para pewarisnya.
Pengambilan tanggal 20 Agustus sebagai Hari Ukir diambilkan dari salah satu waktu yang tercatat sejarah, saat RA Kartini mengikuti Pameran Karya Perempuan di Den Haag Belanda 11 Juli – 21 September 1898. Sebab pameran ini dicatat sejarah menjadi pintu pembuka bagi usaha pengembangan seni ukir Jepara hingga menjadi industri kerajinan.
Karena itu tanpa mengabaikan peran tokoh lain, kiprah RA Kartini dalam mengembangkan seni ukir perlu terus diingat, dikenang dan diwarisi semangatnya. Deklarasi ini juga menjadi bagian penting dalam menjadikan RA Kartini sebagai kekuatan absolut Kabupaten Jepara.
Sedangkan Agustus dipilih, karena bulan ini merupakan saat Proklamasi Kemerdekaan RI. Harapannya, semangat pelestarian seni ukir dapat menjadi salah satu isu yang terus dibangkitkan sebagai wujud cinta tanah air.
Penulis adalah Ketua Yayasan Pelestari Ukir Jepara