JAKARTA (SUARABARU.ID) – Peneliti Research Center Media Group (RCMG) Dr Irwansyah menilai faktor eskternal menjadi penyebab utama atas tidak stabilnya harga kedelai di pasar domestic. ‘’Negara-negara yang selama ini memasok kedelai ke Indonesia, seperti Brasil dan negara Amerika latin lainnya sedang mengalami anomaly cuaca sehingga gagal panen. Kondisi itu diperparah oleh terjadinya inflasi di Amerika Serikat yang menyebabkan harga kedelai mengalami lonjakan,’’ ujarnya dalam keterangan tertulis 17/2/2022).
Menurut doctor jebolan Universitas Indonesia yang menekuni studi komuniasi politik itu, Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pasar internasional, dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sebab kata dia, saat ini prduksi di tingkat petani hanya mencapai sekitar 600 ribu ton per tahun, sedangkan kebutuhan secara nasional tembus di angka 2,2 juta ton per tahun.
‘’Mau tidak mau, Kementerian Perdagangan harus melakukan impor untuk menutup kekurangan produksi tersebut,’’ ujarnya sembari menambahkan, ‘’Saat ini, petani tidak lagi tertarik untuk menanam kedelai, karena harga jual hampir sama dengan komiditas padi. Padahal, untuk lahan dengan luas yang sama, akan lebih banyak menghasilkan jika ditanami padi daripada kedelai.’’
Berdasarkan studi atas dokumen yang dikeluarkan Kementan, Irwansyah menilai bahwa kementerian yang saat ini dipimpin oleh Syarul Yasin Limpo itu, sudah berupaya maskimal untuk mendorong para petani menanam kedelai. ‘’Saya tahu pasti bawa Ditjen Tanaman Pangan telah melakukan serangkaian advokasi dan edukasi bagi para petani yang inggin menggarap tanaman kedelai, namun pada akhirnya, pilihan tergantung dari para petani itu sendiri, mau menanam jenis palawija, jagung, kedelai atau tanaman yang lain,’’ ujarnya.
Bahkan lanjut Irwansyah mengatakan, para petani jika dihadapkan pada pilihan menanam padi, jagung, kacang tanah atau kacang kedelai, lebih memilih untuk menanam kacang tanah dan kedelai. ‘’Harga jual kacang kedelai di pasar hampir sama dengan gabah, namun menanam secara kuantitas, hasil dari tanaman padi lebih banyak. Sedangkan harga jagung dan kacang tanah lebih murah dibanding kedelai, namun secara biaya produksi akan lebih murah.’’
Sebelumnya Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan harga tahu dan tempe di dalam negeri akan naik karena melonjaknya harga kedelai internasional.
Hal ini terjadi karena kedelai menjadi bahan baku utama dalam memproduksi dua makanan kegemaran masyarakat Indonesia tersebut. “Kondisi kedelai di dunia saat ini terjadi gangguan suplai.
Kalau saya melihat di Brazil terjadi penurunan produksi kedelai, di mana awalnya diprediksi mampu memproduksi 140 juta ton pada Januari, menurun menjadi 125 juta ton. Penurunan produksi ini berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia,” kata Oke saat konferensi pers secara virtual kemarin,
Penyebab lainnya menurut Oke yakni inflasi di Amerika Serikat yang mencapai 7 persen, yang berdampak pada kenaikan harga daripada input produk kedelai. Selain itu, terjadi pengurangan tenaga kerja, kenaikan biaya sewa lahan, serta ketidakpastian cuaca di negara produsen kedelai juga mengakibatkan petani kedelai di Amerika Serikat menaikkan harga.
“Dari data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 mencapai 15,77 dolar AS per bushel atau angkanya sekitar Rp11.240 per kilogram (kg) kalau ditingkat importir dalam negeri,” kata Oke.
Dalam hal ini, diperkirakan harganya akan terus mengalami kenaikan hingga Mei 2022 yang bisa mencapai 15,79 dolar AS per bushel. Selanjutnya, akan terjadi penurunan pada Juli 2022 ke angka 15,74 dolar AS per bushel di tingkat importir. Untuk itu, Oke mengatakan kenaikan harga kedelai dunia itu akan berdampak pada kenaikan harga kedelai di tingkat perajin tahu dan tempe di dalam negeri. “Dan hal ini akan mempengaruhi ujungnya adalah harga produk turunan dari kedelai, yang utama di sini adalah harga tempe dan tahu,” ujar Oke.
Hadepe