blank
Tiga pembicara sarasehan dan sambung rasa dalam rangka HPN 2022, Amirudin (kiri), Arie Widiarto (tengah) dan Sri Mulyadi (kanan), saat menyampaikan mateinya. Foto: dok/chandra an

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Masih dibutuhkankah pers di era digital ini? Ungkapan satir itu mengemuka dalam sarasehan dan sambung rasa dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN), yang digelar di Kantor PWI Jateng, Jalan Trilomba Juang no 10 Semarang, Rabu (9/2/2022).

Hal itu seperti yang diungkapkan salah satu pembicara sarasehan, Sri Mulyadi, saat didaulat untuk menyampaikan materinya. Wartawan senior yang juga anggota Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Jateng itu, hadir bersama Amirudin (Ketua Departemen Ilmu Budaya, FIB Undip) dan Arie Widiarto (Ayo Media Network), dalam acara yang mengambil tema ‘Pers Survival di Era Digital’.

Menurut Sri Mulyadi, saat ini sebanyak 70 persen informasi didapat dari media sosial (medsos). Ada banyak medsos yang bisa diakses masyarakat, dengan ragam kabar dan informasi, tanpa ada batasan dan tak ada konfirmasi.

BACA JUGA: Penyanyi Solo Adele Raih Tiga Penghargaan di Brit Awards

”Namun kekuatan media massa mainstream dipastikan akan mampu menyajikan hal-hal yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Mbah Mul, sapaan akrabnya, yang kini mengelola media online suarabaru.id.

Ditambahkan dia, dengan dasar itu keberadaan pers sampai saat ini masih dibutuhkan masyarakat, sebagai panduan informasi yang benar dan bertanggungjawab.

Sedangkan Amirudin menyebutkan, keunggulan media digital sebagai kekuatan baru, memungkinkan terjadinya kolaborasi, fleksibilitas dan profit sharing. Namun konsekuensinya, korporasi perlu melakukan perubahan dalam proses dan model bisnisnya, serta investasi teknologi barunya.

BACA JUGA: Kapolda dan Gubernur Jateng Luruskan Isu Masalah Pengukuran Lahan Desa Wadas

Diterangkan dia, kecenderungan media daring sebagai konsekuensi transformasi digital, ada pada penekanan aspek kecepatan. Selain itu adanya orientasi umpan klik (clickbait).

”Perlu juga adanya peningkatan kompetensi digital bagi insan pers untuk pengembangan ekosistem (pers) digital. Selain itu, adanya perubahan mindset dari jurnalis esensialis ke anti-esensialis,” sebut Amir.

Sementara itu, Arie Widiarto menyampaikan, adanya peningkatan biaya belanja untuk programmatic advertising sebesar 71 persen. Jika melihat angka itu, terbayang cerahnya masa depan media digital di Indonesia. Asumsinya, pertumbuhan periklanan digital berbanding lurus dengan pertumbuhan media digital.

BACA JUGA: DPRD Serahkan Usulan Kegiatan Tahun 2023

”Namun terdapat elemen kontradiktif antara pertumbuhan optimis data itu secara makro, dibanding dengan tantangan bisnis dan keadaan media digital kekinian secara mikro,” ujar dia.

Disebutkan Arie, sistem kerja iklan programmatic mirip dengan pasar modal. Pengiklan berperan sebagai investor, dan media sebagai penjual produk investasi. Maka, harga inventori ditentukan oleh supply dan demand.

”Sistim ini melahirkan ancaman sustainability, karena perusahaan media kehilangan kontrol untuk menentukan harga jual produknya sendiri. Secara natural, pola programmatic melahirkan kerangka berpikir, semakin banyak trafik pembaca maka akan menghasilkan semakin banyak revenue,” tukasnya.

Riyan