WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Pandemi global Covid-19 yang selama hampir dua tahun ini melanda Indonesia dan menyebabkan korban hingga mencapai lebih dari 141 ribu jiwa, dinilai tak lebih berbahaya daripada ancaman pandemi virus radikalisme.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwahid, saat bertindak selaku keynote speaker dalam Dialog Kebangsaan memperingati Hari Kesaktian Pancasila, di Pendapa Bupati Wonosobo, Jumat (1/10).
Dalam dialog yang dibuka Bupati Afif Nurhidayat dan dihadiri pula Habib Husein Al Jafar tersebut, secara tegas Brigjen Ahmad menyebut pandemi virus ideologi radikal saat ini telah menginfeksi tak kurang dari 30 Juta penduduk Indonesia, dan berpotensi mengancam keutuhan NKRI yang dibangun di atas dasar ideologi Negara, yaitu Pancasila.
“Barangkali sebagian dari warga belum menyadari bahwa di balik pandemi global Covid-19 ini ternyata ada pandemi yang lebih berbahaya, yaitu pandemi virus ideologi radikal,” tutur Brigjen Ahmad.
Kenapa disebut lebih berbahaya dari pandemi Covid-19, Brigjen Ahmad menjelaskan bahwa radikalisme adalah paham hulu yang berhilir atau berujung pada tindakan terorisme.
Membicarakan terorisme adalah berarti juga membicarakan aksi-aksi yang tidak hanya menimpa Indonesia saja, melainkan juga berbagai negara di sleuruh penjuru dunia.
“Dampak yang ditimbulkan tidak kalah mengerikan, karena terorisme ini bisa menimpa siapa saja, contoh di New Zealand ada jamaah Sholat Jumat yang ditembaki hingga lebih dari 50 orang meninggal, itu dilakukan oleh non muslim,” lanjutnya.
Contoh lain, Brigjen Ahmad menunjuk kondisi di Myanmar di mana ada Biksu yang menyampaikan propaganda anti Islam sehingga menyebabkan ribuan orang Muslim Rohingya terusir.
“Di Indonesia, karena memang mayoritas muslim, hampir seluruh tahanan kejahatan terorisme KTP nya Islam,” beber Brigjen Ahmad Nurwahid.
Namun demikian, perwira polisi yang sebagian karirnya dihabiskan di Detasemen Khusus Antiteror (Densus) itu, mengakui Indonesia masih utuh karena dasar ideologi yang digunakan untuk menyatukan 1.200 suku bangsa di puluhan ribu pulau adalah Pancasila.
Lima Kekuatan
“Jujur, saya sering ditanya oleh para pengamat dari luar negeri, kenapa Indonesia masih aman padahal Indonesia dengan heterogenitasnya memiliki potensi konflik terbesar di dunia,” ungkapnya.
Pertanyaan itu, kemudian dijawab Brigjen Nurwahid dengan pernyataan bahwa Indonesia memiliki lima kekuatan yang tidak dimiliki bangsa lain.
“Pertama kami memiliki Pancasila, ideologi pemersatu bangsa yang merupakan karya Jenius para founding father kami, ada tokoh agama, ulama, tokoh nasional, tokoh bangsa yang telah menggali nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa Ini,” tegasnya.
Selain itu, kekuatan Indonesia ditegaskan Brigjen Nurwahid adalah pada kearifan lokal berbasis gotong royong dan silaturahmi yang mampu menyatukan heterogenitas sampai ke level grass root.
Ketiga, kami punya civil society moderat seperti Muhamadiyah, NU, Rifaiyah, organisasi keagaman lain, kemudian keempat adalah kekuatan TNI – Polri.
“Dan kelima keyakinan bahwa Indonesia ini merupakan tanah surga yang senantiasa didoakan oleh para ulama dan para aulia sehingga diberikan keselamatan dan kedamaian,” tandasnya.
Adanya dialog-dialog kabangsaan diakuinya juga dapat dijadikan vaksin sehingga nantinya generasi muda khususnya memiliki imunitas atau kekebalan terhadap paparan radikalisme.
Pemaparan Direktur Pencegahan BNPT tersebut dikuatkan oleh Habib Husein Jafar sebagai pembicara kedua. Di depan para peserta dialog dari lintas unsur, mulai dari organisasi keagamaan, organisasi pemuda, perwakilan partai politik hingga sejumlah pejabat pemerintah, penulis aktif yang dijuluki Habib Milenial itu menegaskan bahwa kemajemukan Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Dengan adanya Pancasila, Habib Husein menyebut Bangsa Indonesia terikat dalam satu kesatuan persaudaraan, meski dari segi suku, bangsa dan agama berbeda-beda.
Sejarah panjang bangsa Indonesia, disebut Habib Husein, telah membuktikan persatuan dicapai karena ada perbedaan-perbedaan yang ternyata justru menjadi kekuatan.
Muharno Zarka