blank
Ilustrasi Bung Karno dan Mbah Wahab. Foto : SB/dok

Oleh Idham Cholid

blank
Idham Cholid, Pembina Kompak Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

Belum lama ini dua tokoh bangsa diperingati hari wafatnya. Presiden pertama Ir. Soekarno, populer dengan Bung Karno, wafat pada 21 Juni 1970. Dan KH Abdul Wahab Hasbullah atau Mbah Wahab yang wafat pada 29 Desember 1971, bertepatan dengan 11 Dzulqa’dah 1391 H, tahun ini jatuh pada tanggal 22 Juni.

Peringatan hari wafat atau yang lazim disebut haul, selain mendoakan juga untuk menggali dan meneladani segala kebaikannya. Dan bukan sekadar kebetulan jika penyelenggaraan haul tersebut beriringan. Harus diakui, antara Bung Karno dan Mbah Wahab, terdapat banyak keteladanan. Memang ada perbedaan, tetapi tak sedikit pula kesamaan antara keduanya.

Kedua pahlawan tersebut sangatlah besar jasanya untuk bangsa dan negara. Sebagai Presiden, Bung Karno adalah pemimpin formal. Sedang Mbah Wahab, sebagai salah satu pendiri NU dan Rais Aam pasca Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari, adalah pemimpin informal bagi bangsa Indonesia. Keduanya merupakan pemimpin bangsa. Tentu kita harus meneladaninya.

Keturunan Raja

Dari segi usia, antara Bung Karno dan Mbah Wahab ada perbedaan cukup jauh. Bung Karno lahir pada 6 Juni 1901. Sementara Mbah Wahab yang lahir pada 31 Maret 1888, jelas lebih tua 13 tahun.

Kemudian, jika mengikuti klasifikasi Clifford Geertz (1960) tentang masyarakat Jawa, Mbah Wahab digolongkan sebagai santri. Sementara Bung Karno termasuk priyayi. Namun, bila ditelusuri lebih mendalam lagi, antara keduanya ternyata ada kesamaan garis keturunan.

Dari jalur sang ayah, Bung Karno adalah keturunan Raja Mataram. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo merupakan putra Raden Hardjodikromo, putra Raden Danoewikromo, putra Raden Mangoendiwirjo atau Pangeran Mangkoediningrat, putra dari Sultan Hamengkubuwono II.

Raden Soekemi sendiri adalah seorang pendidik, kelahiran Grobogan, guru pada Kementerian Pendidikan Belanda yang berpusat di Batavia. Dia banyak bertugas di daerah Jawa Timur, berpindah-pindah, bahkan sampai pula di Bali. Saat di Bali inilah kemudian menemukan tambatan hatinya, Ida Ayu Nyoman Rai, yang masih keturunan bangsawan, dan beragama Hindu.

Dari sang ibu itulah Bung Karno mewarisi sebilah keris dari kakeknya. Keris yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga Bale Agung yang masih keturunan Raja Buleleng. Keris yang pernah digunakan sang kakek saat berperang melawan penjajah Belanda.

Meski sang ayah seorang muslim, juga penganut teosofi Jawa, namun dari jalur sang ibu khususnya Bung Karno kemudian tak jarang digolongkan sebagai abangan. Penilaian yang tak sepenuhnya dapat dibenarkan, terlebih ketika kita melihat perjalanan hidupnya kemudian, juga membaca pemikiran-pemikirannya.

Walaupun termasuk priyayi dan kelas bangsawan, tetapi kehidupan yang dilaluinya juga penuh kesederhanaan. Jauh dari kemewahan. Sejak kecil tinggal bersama sang kakek, Raden Hardjodikromo, di Tulungagung. Di sinilah Bung Karno mulai mengenyam pendidikan. Namun kemudian berpindah ke Mojokerto, mengikuti orang tuanya, dan bersekolah di Eerste Inlandse School (EIS), sekolah tempat ayahnya mengajar. Pada 1911 pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) yang diselesaikannya pada 1915.

Menginjak remaja, Bung Karno pindah ke Surabaya, tempat kelahirannya, melanjutkan pendidikan di Hogere Burger School (HBS). Sekolah yang terhormat bisa dimasuki berkat bantuan teman ayahnya, yaitu HOS Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam (SI). Di tempat tokoh pergerakan yang sangat berpengaruh ini pula Bung Karno tinggal, berguru, dan bahkan kemudian menjadi menantu.

Sedang Mbah Wahab, tak lain adalah putra pasangan KH Hasbullah Said dan Hj Lathifah. Lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Secara geneologis, masih bertemu silsilah dengan Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada Kiai Abdus Salam (Shoichah), bin Kiai Abdul Jabar, bin Kiai Ahmad, putra Pangeran Sumbu, putra Pangeran Benowo, putra Joko Tingkir atau Mas Karebet, putra Lembu Peteng, putra dari Brawijaya V.

Selain dididik oleh ayahnya sendiri, Mbah Wahab juga banyak menimba ilmu di berbagai pesantren di Jawa Timur. Sebut saja Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, dan Pesantren Tawangsari Sepanjang, adalah awal pengembaraan keilmuannya. Mbah Wahab juga berguru kepada Syaikhona Cholil, di Pesantren Demangan Bangkalan, dan Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari, di Pesantren Tebuireng.

Tak cukup di situ, Mbah Wahab bahkan mengembara sampai ke Timur Tengah, berguru langsung kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh al-Yamani, di Makkah. Saat di sini pula Mbah Wahab mulai mengasah diri. Tidak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman, tapi juga aktif berorganisasi dengan menjadi pengurus SI cabang Makkah.

Sampai di sini kita melihat, ada kesamaan antara Bung Karno dan Mbah Wahab. Keduanya berdarah biru, mempunyai nasab yang sama, masih keturunan Raja.
–bersambung–

Idham Cholid, Ketua Umum Jayanusa tinggal di Wonosobo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini