blank
Suporter memberikan dukungan bagi Timnas Indonesia saat laga perdana Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia melawan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).Antara

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Nyaris genap setahun ini masyarakat Indonesia tercekam rasa khawatir akan pandemi COVID-19. Segala aktivitas terbengkalai atau bahkan mundur jauh ke belakang.

Aktivitas perkantoran, dunia usaha hingga proses belajar mengajar di semua jenjang pendidikan terpaksa dirumahkan, yang akhirnya semua bermuara pada munculnya kegalauan sosial, was-was atas keselamatan diri dan keluarga dari ancaman wabah.

Meski ada ancaman wabah mematikan ini, ternyata masih ada pula kegaduhan-kegaduhan di tengah masyarakat yang tampaknya memang sengaja diciptakan segelintir kalangan demi memuaskan hasrat mereka merongrong, menjegal atau setidaknya mendiskreditkan apa pun upaya pemerintah untuk rakyatnya.

Upaya memberikan vaksin COVID-19 kepada seluruh rakyat secara gratis demi memerangi pandemi dan memulihkan kehidupan mereka pun di-framing negatif melalui pembentukan opini secara sistematis dan masif oleh kelompok yang itu-itu saja.

Isu vaksin ini hanyalah satu contoh kecil dan masih banyak lagi kegaduhan lainnya yang membuat masyarakat semakin lelah. Masyarakat perlu ketenangan hidup, kesejukan dan kenyamanan suasana di lingkungan mereka tinggal. Mereka juga membutuhkan oase yang bisa melupakan sejenak kepenatan dan beban hidup yang menghimpit. Dan salah satu oase itu adalah dunia olahraga yang berkualitas, berprestasi dan membanggakan.

Sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga terpopuler di seluruh dunia terbukti mampu mengikis sekat-sekat perbedaan yang ada di masyarakat global. Tidak ada istilah batas-batas negara bagi fans sepak bola, apalagi untuk tim-tim favorit.

Demikian pula di Indonesia. Semua orang dengan mudah bisa bersatu padu memberikan dukungannya tatkala timnas Indonesia akan bertanding dengan kesebelasan negara lain. Mereka merasa berduka ketika tim Garuda kalah dan akan bersorak gegap gempita penuh rasa bangga ketika timnas memenangi laga.

Presiden Jokowi pun sangat paham dengan hobi dan kondisi psikologis rakyat Indonesia yang haus akan tontonan sepak bola nasional yang berprestasi sekaligus membanggakan. Karena itu ketika di periode pertama pemerintahannya, hal pertama yang diupayakannya adalah membenahi organisasi PSSI sebagai induk cabang olahraga tersebut. Tidak peduli FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia karena membekukan PSSI, yang terpenting organisasi itu kembali sehat, profesional dan bersih dari cengkeraman mafia. Ini lah langkah awal sebelum membenahi lebih lanjut carut marut persepak-bolaan nasional.

Pembenahan organisasi ini secara perlahan namun pasti mulai menunjukkan hasil. Berbagai kompetisi dan turnamen sepak bola kembali marak diselenggarakan, semisal turnamen Piala Presiden dan seri-seri kompetisi Liga Indonesia dengan format barunya. Secara bersamaan terbangun lagi antusiasme dan gairah masyarakat mendukung tim-tim kebanggaannya.

Nama-nama talenta muda potensial pun bermunculan seperti Egy Maulana Fikri, Witan Sulaiman, si kembar Bagas dan Bagus Kahfi, Elkan Baggott atau pun Beckham Putra Nugraha. Kepiawaian mereka menggiring kulit bundar sukses membetot perhatian publik dan bahkan klub-klub luar negeri tertarik merekrut mereka.

Visi Jokowi untuk sepak bola

Seolah belum puas hanya sampai pembenahan induk organisasi, Presiden Jokowi mengeluarkan lagi Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Dalam Inpres ini, Presiden menginstruksikan secara khusus kepada 12 menteri, Kapolri serta gubernur dan bupati/walikota untuk melakukan peningkatan prestasi sepak bola nasional dan internasional sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Upaya peningkatan prestasi itu diantaranya dilakukan melalui pengembangan bakat, pembenahan sistem dan tata kelola sepak bola, mobilisasi pendanaan hingga menyediakan sarana dan prasarana sepak bola di seluruh Indonesia sesuai standar internasional.

Sayangnya, meski komitmen presiden dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia sepak bola nasional itu indah di atas kertas, tetapi dalam realitasnya ternyata masih tertatih-tatih. Banyak kalangan menganggap Inpres tersebut belum terlalu efektif diterapkan dalam sendi-sendi sepak bola di Tanah Air.

Bisa jadi visi dan komitmen besar presiden ini belum terselaraskan dengan baik kepada jajaran di bawahnya. Atau dianggap masih ada setumpuk persoalan hajat hidup rakyat lainnya yang “lebih penting” ketimbang mengurusi sepak bola.

Padahal sejalan dengan visi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang berfokus pada pembangunan SDM menuju Indonesia Maju, sepak bola ini bisa dijadikan salah satu wahana yang efektif untuk merajut nasionalisme bangsa ini.

Pada sisi lain berlarutnya pandemi COVID-19 berperan signifikan menyurutkan euforia sepak bola yang mulai bangkit. Kompetisi mati suri sejak dihentikan total pada Maret 2020. Kemudian pada Oktober silam dikabarkan bahwa pertandingan-pertandingan bakal dimulai, tetapi lagi-lagi rencana kick-off dibatalkan dan dijadwalkan ulang bergulir pada Februari 2021, mengingat wabah masih mengganas.

Adanya ketidakpastian ini jelas membuat klub-klub galau dan para pemain pun hanya bisa pasrah. Bahkan sejumlah klub peserta liga menyerukan agar kompetisi musim 2020 diakhiri saja, tak perlu dilanjutkan lagi. Entah sampai kapan kompetisi bisa dimulai lagi, meski PSSI dan operator Liga Indonesia tetap ngotot agar kompetisi ini bisa terus dilanjutkan. Semua masih menunggu.

Membangun mentalitas suporter

Seandainya tidak ada pandemi COVID-19, bisa dipastikan demam sepak bola sudah melanda masyarakat di seluruh negeri ini. Kompetisi yang bergulir dengan fair play dan menjunjung tinggi sportifitas olahraga menuju Piala Dunia U20 pada tahun ini merupakan momentum tepat guna merevolusi mental masyarakat penggila sepak bola di Indonesia yang jumlahnya pasti sangat besar.

Sayangnya semua angan itu sirna seketika bersamaan dengan hadirnya pandemi. FIFA telah resmi memutuskan penundaan Piala Dunia U20 2021 di Indonesia dan Piala Dunia U17 2021 di Peru. Turnamen akan dijadwal ulang pada tahun 2023.

Meski demikian, proyek besar membenahi dunia persepak-bolaan nasional tidak boleh surut ke belakang. Pembenahan organisasi, menciptakan model kompetisi yang sehat dan profesional hingga menyiapkan pelatih, para pemain serta wasit yang berkualitas dan menjunjung tinggi sportifitas, masih belum lengkap jika tidak diiringi dengan upaya merevolusi mental para penontonnya.

Tidak ada yang meragukan loyalitas suporter di Indonesia meski tim yang mereka dukung hanya berkompetisi pada level antar-kampung. Sayangnya fanatisme buta sebagian mereka sering kali justru memicu persoalan klasik vandalisme dan anarki atau tawur massal seusai pertandingan.

Tentu bukan hal mudah mengubah prilaku penggila sepak bola ini. Tapi setidaknya apabila sudah ada yang memulai bagaimana seharusnya tata kelola persepak-bolaan dilaksanakan oleh semua stakeholder mulai dari level kepala negara hingga jenjang-jenjang di bawahnya secara jujur bertanggungjawab dan semata-mata pula hanya demi memajukan cabang olahraga ini, bisa jadi perlahan tapi pasti prilaku positif akan menular hingga ke akar rumput.

Ant/Muha