Oleh : M. Iskak Wijaya
Setelah di seri #1 merangkum pandangan tentang menghadapi pandemi Corona-19 dalam perspektif iman Kristen, seri #2 kali ini merangkum buku yang berjudul “FIQIH COVID-19”.
Buku ini aslinya berjudul Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh bi Wabai Korona, ditulis oleh Prof. Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih dari Kerajaan Saudi Arabia. Beliau memperoleh gelar doktoral dari Fakultas Hukum di Al-Imam University-Riyadh dan gelar profesor di King Saud University- Riyadh.
Kitab ini telah dikaji secara online di Pondok Pesantren Al-Furqon Al-Islami, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Diterjemahkan dan diberi penjelasan serta komentar oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi.
Di bagian awal tentang “Panduan Agama Menghadapi Wabah Corona”, dijelaskan pokok-pokok penting sikap syar’i seorang muslim dalam menghadapi wabah corona ini, yaitu dengan kembali kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW dengan memperhatikan poin-poin berikut ini:
- Mengikuti arahan-arahan dari pemerintah, karena arahan-arahan tersebut berkaitan dengan kebutuhan mayoritas manusia.
- Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menerima berita-berita hoax atau bukan berasal dari sumber yang resmi.
- Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa wabah ini adalah siksaan yang Allah yang dikirimkan bagi siapa saja yang dikehendakiNya dan sekaligus merupakan rahmat bagi orang yang beriman.
- Hendaknya bagi seorang muslim untuk meneladani petunjuk Nabi SAW dalam menghadapi bencana-bencana.
- Hendaknya seorang muslim beriman dengan takdir Allah.
- Hendaknya bagi kita untuk bertawakkal kepada Allah SWT dan menyandarkan semuanya hanya kepada-Nya semata, Dialah yang dapat mendatangkan kebaikan dan menjauhkan dari kejelekan atau mudharat.
- Hendaknya memperbanyak doa kepada Allah, merendah hanya kepada Allah, bersimpuh kepada-Nya dan berdoa untuk dirinya serta saudara-saudaranya seiman.
- Hendaknya seorang muslim berbaik sangka kepada Allah, tidak boleh menghina atau mencela virus Corona.
- Hendaknya bagi kita untuk bersikap tafaaul (optimis) bahwa kita akan melalui masa-masa sulit ini.
- Tidak boleh menakut-nakuti orang yang beriman, membuat panik mereka, serta membuat sedih mereka.
Berkaitan dengan masalah-masalah fiqih seputar Covid-19, beberapa hal dijelaskan sebagai berikut:
- At-Tat’im/Vaksin. Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (diperselisihkan) di antara para ulama. Namun secara umum, menurut Syaikh Ibnu Baz, hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena vaksin termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi.
- At-Tadaawi/Berobat. Hukum asal dalam berobat itu boleh, bahkan bisa menjadi wajib jika tidak berobat mengantarkan dirinya ke dalam kebinasaan.
- Hukum Mendatangi Tempat yang Ada Wabah atau Keluar Darinya. Hukum asalnya, seorang itu tidak boleh masuk ke dalam tempat yang terjadi wabah tha’un di dalamnya. Inilah pendapat mayoritas ulama. Jadi, sebelum adanya istilah “lockdown” sekarang ini, Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kita bahwa tidak boleh mendatangi suatu tempat yang terjadi wabah di sana. Sebagian ulama bahkan memasukkan ke dalam kategori dosa besar bagi orang yang melarikan diri dari wabah di saat wabah itu terjadi di tempatnya.
- Bersuci. Pasien dan tim medis membutuhkan alat-alat yang susah untuk dilepas untuk waktu yang cukup lama, seperti halnya pakaian APD (Alat Pelindung Diri). Apabila APD itu memungkinkan untuk dilepas, maka inilah yang wajib karena hukum asalnya adalah bersuci dengan air. Dan apabila tidak mungkin untuk dibuka/ dilepas dan berwudhu dengan air, maka hendaklah ia bertayammum.
Bagi ahli medis dinyatakan bahwa mereka melakukan amalan yang sangat mulia jika mengikhlaskan niat karena Allah SWT, karena akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
- Melakukan karantina pasien yang positif terkena Covid-19. Kenapa demikian? Karena apabila dicampur, yang sakit akan menularkan kepada yang selainnya. Penyakit menular itu memang ada dalam tinjauan ilmu syar’I sebagaimana dalam hadits dan dalam ilmu medis.
- Adzan. Disyariatkan agar tetap mengumandangkan adzan walaupun telah mendengarkan adzan masjid.
- Ucapan (بيوتكم في صلوا).
Meskipun shalat jamaah ditiadakan, maka hendaknya muadzin tetap mengumandangkan adzan di masjid. Seorang muadzin disyariatkan baginya untuk mengatakan: بيوتكم في صلوا – “Shalatlah di rumah kalian.” - Apabila muadzin mengatakan بيوتكم في صلوا, pendengar menjawab dengan ucapan:
بالله إلا قوة ولا حول لا- Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah.
- Meniadakan sementara shalat berjamaah di masjid. Para ulama menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu gugur apabila ada udzur, seperti jika dalam kondisi sakit. Demikian juga dengan udzurudzur yang lain, seperti hujan yang deras yang memberatkan shalat berjamaah di masjid, maka Nabi SAW membolehkan untuk shalat di rumah. Termasuk dalam hal ini ialah kondisi saat ini, yaitu rasa takut dari tersebarnya virus Covid-19.
Dan hal ini juga yang telah ditetapkan dan difatwakan oleh Haiah Kibarul Ulama Saudi Arabia dan negara-negara Islam lainnya dan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
- Membuat tempat shalat di rumah. Dianjurkan bagi seorang muslim untuk memiliki tempat khusus untuk shalat di rumahnya.
- Shalat berjamaah di rumah. Disyariatkan shalat berjamaah di rumah ketika ada wabah seperti ini apalagi jika sudah ada himbauan dari pemerintah.
- Siapakah yang paling berhak untuk menjadi imam?. Ketika kita shalat di rumah, maka yang berhak menjadi imam adalah shahibul bait (pemilik rumah).
- Bolehkah bagi pasien Covid 19 untuk ikut menghadiri shalat berjamaah dan perkumpulan-perkumpulan? Diharamkan baginya untuk menghadiri perkumpulan-perkumpulan manusia, termasuk shalat jamaah, karena itu akan membahayakan orang lain.
- Hukum shalat dengan memakai masker. Pada asalnya seorang yang shalat dimakruhkan untuk memakai masker atau secara umum menutup mulutnya. Akan tetapi hal ini menjadi boleh ketika ada hajah (kebutuhan). Seperti saat dia sakit batuk pilek takut menularkan atau khawatir tertular.
- Renggangnya shaf tatkala shalat. Pada asalnya hukum merapatkan shaf tatkala shalat adalah sunnah, artinya kalau kita tidak merapatkan shaf berarti makruh. Namun jika dibutuhkan untuk hal itu (jaga jarakk antara shaf) dan dikhawatirkan ada penularan, maka tidak mengapa adanya jarak antara shaf tadi.
- Menghentikan shalat Jum’at untuk sementara. Hukum asal shalat Jum’at adalah wajib berdasarkan kesepakatan para ulama. Akan tetapi jika memang shalat Jum’at dan perkumpulan manusia yang begitu banyak akan mengakibatkan bahaya dengan tersebarnya virus yang berbahaya ini, maka boleh seorang muslim untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dzuhur di rumahnya.
- Meniadakan Shalat Hari Raya di Lapangan dan Masjid. Hanya saja apabila wabah corona ini masih melanda kita sampai Hari Raya, maka sebagaimana shalat fardhu dan shalat Jum’at ditiadakan berjamaah di masjid, begitu pula dengan shalat ‘Id ditiadakan di tanah lapang dan di masjid sebagai bentuk pencegahan dari wabah.
- Mengucapkan Selamat Idul Fithri (dan Idul Adha). Namun jika kita berkumpul untuk saling mengucapkan selamat mengantarkan kepada bahaya, maka hendaknya cukup dengan ucapan saja atau hanya melalui media sosial saja tanpa bersentuhan.
- Meninggalkan Jabat Tangan. Hukum asal jabat tangan adalah sunnah. Namun apabila seorang muslim takut akan tertular atau menularkan, maka cukup dengan ucapan saja. Semua itu untuk menghindarkan diri kita dan orang yang kita cinta dari bahaya.
- Shalat Jenazah. Shalat jenazah harus tetap ada yang melakukannya, namun berhubung shalat jenazah ini berkaitan dengan perkumpulan dan kerumunan yang juga berpotensi adanya penularan, maka shalat jenazah dilakukan oleh sebagian kalangan saja seperti orang yang telah ditunjuk oleh pemerintah dalam penanganan hal ini.
- Cara Memandikan Jenazah yang Terkena Wabah Covid 19. Namun jika dikhawatirkan penularan tatkala memandikannya secara langsung, maka cara memandikannya cukup disiram dengan air begitu saja. Dan jika dengan hal tersebut masih dikhawatirkan berbahaya, maka boleh dengan tayammum.
- Sebagian Negara Kafir Tatkala Ada Rakyatnya yang Meninggal Karena Corona, Jenazahnya Dibakar. Bolehkah Berobat ke Rumah Sakit Tersebut ? Apa hukum berobat di rumah sakit-rumah sakit di negeri yang demikian? Jawabnya adalah jika diprediksi kuat dia berobat mendatangkan manfaat dan jikalau tidak berobat maka akan menimbulkan mudharat, maka hukumnya wajib bagi dia untuk berobat di rumah sakit tersebut. Menshalati jenazah seorang muslim yang berada di negeri kafir, kalau memang tidak ada yang mengurus jenazahnya, maka hendaknya ada yang melakukan shalat ghaib untuknya.
- Melakukan Ta’ziyah Tatkala Terjadi Musibah. Jika ta’ziyah itu menimbulkan bahaya penularan, maka cukup kita ta’ziyah dengan jarak jauh melalui telpon dan medsos.
- Memberikan Harta Zakat Kepada Pasien Covid-19 dan Memberi harta zakat untuk pembelian alat-alat kedokteran atau untuk membangun rumah sakit.
- Mengubur Jenazah-Jenazah Covid 19 dalam Satu Kuburan diperbolehkan jadi satu (massal).
- Mengakhirkan Haji dan Umrah Bagi yang Berpendapat Wajibnya untuk Disegerakan. Bila Tertahan untuk Haji dan Umrah Tidak perlu bersedih, karena pahala kita sudah dicatat secara sempurna oleh Allah SWT. Bagi yang sudah berihram kemudian tidak bisa meneruskan rangkaian ibadahnya, maka: Jika dia telah membuat syarat sebelumnya, maka dia langsung tahallul.
- Menimbun Barang dan Pemerintah Membatasi Harga. Haram bagi seorang untuk menimbun barang kemudian menjualnya tatkala barang tersebut sangat dibutuhkan dengan harga yang sangat tinggi sehingga memberatkan orang lain. Perbuatan tersebut hukumnya haram karena merupakan bentuk kedzholiman.
- Pernikahan Pasien Covid-19. Kalau seorang menikah padahal ia terjangkiti penyakit wabah Corona, maka tidak diperkenankan untuk melakukan pernikahan karena dapat membahayakan pasangannya.
- Kriminal Pidana. Apabila ada seorang pasien yang dinyatakan positif mengidap Covid-19 lalu menularkan kepada yang lain, maka ada dua kemungkinan: 1. Dia menularkan kepada yang lain dengan sengaja, dengan maksud agar bukan dia saja yang terkena. Kalau niatnya seperti itu maka dia bisa terkena kriminal pidana pembunuhan. 2. Menularkan tanpa kesengajaan atau dia tidak menyadari kalau dia positif. Maka ini dimasukkan ke dalam pembunuhan khoto’/pembunuhan yang tidak disengaja.
- Tidak Boleh Mencela Virus Corona Ini. Apakah Ada Penyakit Menular? Penyakit menular itu memang ada dalam tinjauan ilmu syar’I sebagaimana dalam hadits tadi dan dalam ilmu medis.
Beberapa masalah tentang ma’mum shalat, shalat gerhana, shalat istisqo’, doa qunut, shalat tarawih, shalat nawazil, puasa ramadhan, i’tikaf, memakai masker bagi orang yang ihram, akad-akad komersial dari jual beli dan sebagainya, dll juga dibahas dalam kitab ini. Semua keterangan dan penjelasan di dalam kitab ini dilampiri dengan dasar dalil dalam tradisi fiqih Islam: al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, dll.
Seri berikutnya tentang “Menghadapi Corona dalam perspektif Hindu”.
M Iskak Wijaya, adalah budayawan dan aktivis perdamaian lintas agam