Pasar Bulu yang berdiri sejak tahun 1930-an, kemudian direvitalisasi pada tahun 2012-2015 dengan tujuan menunjang potensi wisata yang lokasinya tidak jauh dari Pasar Bulu, seperti Lawang Sewu, Tugu Muda, Museum Mandala Bhakti.
Pasar Bulu dirancang sebagai pusat kuliner dan belanja. Menilik sejarah Pasar Bulu tersebut, maka menjadi sebuah tantangan untuk dapat membangkitkan kembali ekonomi pasar setelah revitalisasi dari mati suri.
Mbak Ita berharap Bulu Creative Hub dapat menjadi jujukan para wisatawan untuk belanja oleh-oleh khususnya yang berupa cinderamata. Nantinya, Bulu Creative Hub akan menjual produk makanan, fesyen, hingga suvenir dari para pelaku ekonomi kreatif di Kota Semarang.
“Ini sudah sangat bagus karena pertama letaknya strategis kemudian yang kedua dari para pelaku usaha atau ekonomi kreatif juga sangat luar biasa. Tidak ada hasil produknya ini tidak umum gitu ya (unik). Karena selama ini wisatawan itu susah mendapatkan barang-barang (cinderamata atau suvenir) untuk dibawa pulang kalau mungkin kuliner gampang Teman-teman ini mencoba untuk mengenalkan (produk-produk industri kreatif sebagai suvenir),” terang Mbak Ita.
Meski demikian, Mbak Ita mengakui bahwa masih banyak yang perlu dikembangkan dari Bulu Creative Hub. Dirinya mengajak perusahaan-perusahaan untuk dapat menyalurkan dana CSR-nya untuk pengembangan Bulu Creative Hub.
Menurutnya, dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak agar Bulu Creative Hub bisa sesukses Pasar Santa Jakarta dan The Hallway Space Pasar Kosambi yang menjadi jujukan proyek ini.
“Kami dengan teman-teman mencoba untuk mengenalkan, bagaimana Bulu Creative Hub ini diberanikan untuk terealisasi (efektif) di 2023. Kemudian mengajak mereka yang mempunyai anggaran CSR untuk bersama melakukan make over. Karena dari sisi bangunannya sudah bagus tapi dari sisi interiornya dan kenyamanannya masih kurang. Ini membutuhkan usaha lagi untuk menarik minat utamanya anak anak muda,” tutup Mbak Ita.
Hery Priyono