Oleh : Hadi Priyanto
Dalam kalawarti atau majalah berbahasa Melayu bernama Slompret Melayu yang terbit di Semarang pada tanggal 12 dan 17 Agustus 1883 dituliskan tentang kemeriahan pesta Lomban di Jepara.
Dalam majalah tersebut ditulis tentang lomban yang diadakan oleh nelayan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Pusat keramian berada di Teluk Jepara dan berakhir di Pulau Kelor setelah sebelumnya melarung sesaji berupa kepala kerbau di laut.
Dimanakah letak kedua daerah itu ? Teluk Jepara adalah sebutan untuk sebuah daerah yang lautnya menjorok ke daratan yang kini lebih dikenal sebagai Kelurahan Ujungbatu. Sedangkan Pulau Kelor adalah sebutan untuk Pantai Kartini yang kala itu masih terpisah dengan daratan Jepara dan dihubungan dengan rawa-rawa.
Di pulau Kelor ini dituliskan oleh Majalah Slompret Melayu tinggal seorang Melayu bernama Encik Lanang yang sangat dikenal. Bahkan karena pernah membantu Belanda dalam perang Bali, ia kemudian mendapatkan pinjaman pulau Panjang untuk memelihara ternaknya. Encik Lanang ini bersahabat dengan seorang tokoh bernama Ki Ronggo Mulyo yang tinggal di Teluk Jepara.
Konon menurut cerita tutur pada saat Adipati Citrosomo VII berkuasa, pada tahun 1855 ada dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa. Mereka naik perahu dari Teluk Jepara. Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar yang membuat perahu mereka terombang-ambing.
Beruntung Ki Ronggo Mulyo dan Encik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dan keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat tersebut berhasil diselamatkan dari amukan badai.
Dari peristiwa itu, kemudian pejabat kadipaten yang hampir tenggelam dan kedua tokoh dari Teluk Jepara dan Pulau Bokor yaitu Ki Ronggo Mulyo dan Encik Lanang, mulai membuat sesaji kepala kerbau. Juga menggelar pertunjukan wayang sebagai ucapan syukur dan kegembiraan. Tentu dengan ijin Adipati Jepara Citrosomo VII.
Sesaji kepala kerbau tersebut dimaksudkan agar Hyang Maha Kuasa melindungi para nelayan dari segala malapetaka di laut dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah setiap tahunnya.
Selanjutnya, mereka memilih waktu untuk larungan yaitu tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Kuat dugaan larungan pertama kali diadakan adalah setelah Hari Raya Idul Fitri 1303 H, saat kedua pejabat tersebut nyaris tenggelam. Atau satu tahun kemudian dan kemudian menjadi tradisi yang terpelihara sampai sekarang dan bahkan menjadi atraksi wisata yang paling menarik perhatian.
Namun ada yang tidak berubah. Sebelum acara larungan dilakukan, ada kebiasaan melakukan ziarah ke makam Ki Ronggo Mulyo di Ujungbatu dan makam Encik Lanang di Kauman Jepara. Juga ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk di TPI Ujungbatu dan pagi harinya dilakukan doa dan pelarungan sesaji kepala kerbau.
Dalam perkembangannya, pelarungan sesaji ini semakin ramai dan diikuti oleh banyak perahu nelayan saat melarung di sekitar pulau Panjang. Iringan perahu nelayan yang banyak inilah yang kemudian dikenal sebagai Lomban atau Lelumban yang maknanya kurang lebih bersenang-senang sebab hasil laut melimpah dan mereka terjaga keselamatannya. (*)
Hadi Priyanto adalah Penulis Buku Legenda Jepara tahun 2014