Oleh Amir Machmud NS
// …karena kita memburu ketidakpastiannya// karena kita mengejar misterinya// karena ia bukan matematika// bukan pula rumus-rumus fisika// karena ia berbicara dengan bahasa seribu makna// bahasa sepak bola… (“Sajak Sepak Bola”, 2020)
DIBAHASAKAN dengan simbol apa pun, sepak bola tetaplah sepak bola. Ia misteri yang takkan pernah terkuak oleh ahli-ahli matematika dan fisika, bahkan oleh mereka yang dianggap paling mengerti karena jiwa-raganya menggeluti permainan ini.
Ada pakar humaniora yang menyebutnya sebagai “sihir global”, dan mungkin ahli bahasa akan keliru konteks mendefinisikannya dari latar pemahaman sederhana bahwa “sepak bola adalah sepak bola”.
Sepak bola adalah bahasa universal yang menyampaikan pesan dari kehendak mengikuti, hasrat untuk mendekat, gairah untuk meminang, gundah hati untuk menjadi bagian dari rasa yang tak pernah bisa dimengerti. Entah cinta, atau kegelisahan primordi.
Itulah ekspresi, katarsis, atau “rasa keterwakilan” oleh 22 manusia yang bersikutat berebut bundaran berisi udara di atas sebidang tanah berumput yang digariskotakkan sedemikian rupa.
Sampai pada titik ungkapan rasa kepenasaran manusia, misteri itu tak bisa didekati hanya dari rumus-rumus dasar permainannya. Pun aturan hukumnya. Sepak bola hanya menjelaskan aksioma sederhana bahwa semakin ia digumuli, semakin liat ia kukuh dengan kerahasiaannya.
Maestro total football Belanda, Johan Cruyff pernah dibuat geli oleh Jack Charlton. Pria Inggris yang pernah mengarsiteki tim nasional Republik Irlandia itu yakin bakal melupakan semua hal tentang sepak bola dengan kesibukan memancing. Tetapi apa tanggapan Cruyff? “Percayalah kepada saya, yang dipikirkan Jacky saat memancing ya sepak bola…”
* * *
BIDANG lapangan yang terukur eksak, panjang dan lebar gawang yang terdefinisi pasti, atau waktu bermain yang telah terkunci, rupanya bukan parameter yang menjawab keserbapastian permainan ini.
Bukankah justru dari garis lapangan sering timbul persengketaan bola sudah keluar dari area permainan atau belum? Dari lebar gawang acap muncul ketidakyakinan yang membutuhkan bantuan rekaman video (VAR) untuk menegaskan sebuah keputusan, dan dari tempo 2 x 45 menit tak jarang para pelatih punya persepsi subjektif dengan memandangi jam tangannya: apakah ada menit waktu yang terkorupsi. Atau dalam momen tertentu, ketika waktu normal tidak mampu menuntaskan hasil, para pelatih mulai berpikir apa yang harus diperbuat untuk 2 x 15 menit nanti, bahkan mungkin dalam adu eksekusi penalti?
Piala Dunia sudah terselenggara sejak 1930. Turnamen-turnamen di Eropa, Amerika Latin, Afrika, dan Asia digelar jauh melintas zaman. Kompetisi antarklub klub juga menjadi bagian keseharian dalam kehidupan bangsa-bangsa yang terstruktur rapi, dari level negara hingga benua dan dunia; namun adakah orang yang telah menyatakan “eureka!” memaklumatkan bahwa dia menemukan jawaban tentang apa, mengapa, dan bagaimana sepak bola bisa merebut cinta bermiliar umat manusia?
Para ilmuwan, dengan berbagai disiplin temuan dan penghayatan filosofinya, justru makin menunjukkan sepak bola memuat tafsir yang sebulat bolanya. Sebundar aneka kemungkinan yang memformulasikan tentang sebuah kebenaran, yang mengartikulasikan permainan ini sebagai refleksi dari kehidupan manusia. Per sisi hati, per hasrat, per ekspresi, per katarsis, juga per kebudayaan.
Cocoklah pencarian tentang hakikat itu dengan “temuan” legenda Jerman Sepp Herberger, “Bola itu bundar dan berlaku dalam 90 menit. Di luar itu hanya teori…”
Tafsir, misteri, dan aneka ketidakpastian itulah yang kemudian dikelola menjadi indikator “marketing” dalam industri sepak bola. Makin kuat elemen ketidakpastian itu, makin memikat magnet sebuah pertandingan. Makin pasti kemungkinan menang atau kalah, makin “kepo” orang menunggu bukti kepastian itu.
Dan, para aktor sepak bola pun menjadi elemen pelaku yang berperan mempertinggi daya tarik dan intensitas nalar misteri. Industri liga-liga dunia mengeksploitasi naluri keingintahuan para bola-mania sampai pada aras ekstremitas emosi manusia. Simbol-simbol kesukuan seperti Luverpudlian, The Red Army, Gooners, Juventini, Milanisti, Interisti, Madridistas, atau Barcelonistas merupakan ekspresi primordi yang dibentuk lewat penguatan jejak sejarah pendukungan.
Klub pun menjadi representasi identitas. Perjalanan kompetitif dalam rivalitas liga-liga dikemas dengan memadukan misteri hasil. Bagaimana filosofi pelatihnya, aplikasi taktik lewat skema bermainnya, siapa saja pemain yang diincar, lalu gambaran pertandingannya seperti apa.
Walaupun terdapat analisis prakiraan di atas kertas, namun industri sepak bola menjual paket eksploitasi misteri. Produk ketidakpastian itulah yang merangsang kita untuk rela menyuntuki segala kemungkinannya.
Alternatif produk itu hanya tiga: menang, kalah, atau seri. Proses menuju tiga kemungkinan itu terartikulasi melalui pergulatan yang juga berlangsung dalam ketidakpastian, momen-momen seperti apa yang akan tergelar dalam laga nanti. Ketidakpastian itu dikelola dalam otak-atik kecerdasan taktik: bagaimana tesisnya, dihadapi dengan antitesis apa, lalu sebuah klub akan menemukan sintesis sekualitas apa.
Johan Cruyff punya advis filosofis, “Sepak bola adalah permainan yang sederhana, tetapi hal tersulit dalam sepak bola adalah bermain sederhana”.
Dan, kalau Anda makin dibuat penasaran oleh ketidakpastian sepak bola, simak pernyataan manajer legendaris Bob Paisley, “Jika kamu menguasai bola di kotak penalti dan tidak tahu harus kau apakan bola itu, masukkan saja ke gawang. Setelah itu baru kita diskusikan pilihan apa yang terbaik…”
Dalam sepak bola, yang pasti adalah ketidakpastiannya…
Amir Machmud, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng