blank
Foto: pexels/sora shimazaki

Oleh: Budi Susanto S

blankAPAKAH saya bangga menjadi advokat? Tentu mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab kalau tidak bangga, untuk apa memilih profesi advokat. Lalu, apakah bangga menjadi anggota Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia)? Menjawab pertanyaan ini rupanya tidak semudah menjawab pertanyaan pertama. Sebab akan muncul pertanyaan lanjutan, Peradi yang mana, bagaimana dengan yang lain, dan seterusnya.

Ini pertanyaan sederhana, tapi jawabannya tidak sederhana. Dan pertanyaan ini sangat mungkin muncul dalam benak pikiran semua advokat di Indonesia, dengan sudut pandang masing-masing. Peradi yang semula dimaksudkan sebagai wadah tunggal profesi advokat, telah terpecah-pecah menjadi banyak kubu dan masing-masing mengaku yang sah dan lainnya tidak sah.

Saat ini sekurangnya ada dua hal yang menjadi perhatian para advokat di Semarang. Pertama, soal keberadaan/eksistensi Peradi Pusat Jakarta. Kedua, tentang Muscab Peradi Semarang yang akan digelar 28 Mei 2022. Mau tak mau, keduanya menjadi perhatian para profesional di bidang hukum ini.

Bagaimana pun para advokat tak bisa menutup mata terhadap apa yang terjadi di Pusat, sebab apa yang terjadi di Pusat akan berimbas ke bawah. Keributan soal eksistensi Peradi Pusat memang bukan hal baru, dan sudah berjalan bertahun-tahun sejak terjadi perpecahan pada Munas II Peradi di Makasar 2015. Bahkan benih-benihnya sudah muncul sebelumnya.

Namun masalah ini kembali mengemuka ketika muncul pengumunan atau berita dari situs resmi Kemenkumham (Ditjen AHU) tentang keluarnya SK pengesahan untuk Peradi yang dipimpin Luhut Pangaribuan pada akhir April 2022. Tapi setelah terjadi polemik, entah mengapa berita itu kemudian di-take down alias dihapus dari website. Sejauh ini belum ada keterangan resmi berikutnya. Maka keributan pun berlanjut.

Perpecahan
Dulu harapan begitu membuncah saat awal pembentukan Peradi sebagai wadah tunggal berhimpunnya para advokat Indonesia. Sayang beberapa waktu kemudian penyakit lama kambuh kembali. Peradi pecah lagi berkepanjangan, hingga berujung ke meja hijau.

Ini adalah kenyataan terbuka yang tak bisa ditepis atau dipungkiri, bagaimana advokat yang memiliki profesi menegakkan hukum, khususnya bagi klien, tak mampu menyelesaikan masalah di tubuhnya sendiri, bahkan hingga saling gugat ke pengadilan sekalipun. Ribut adu bantah dan saling tuding di media masa, seolah ingin saling menelanjangi.

Masih cukup positif jika perdebatan itu menyangkut sebuah substansi yang visioner tentang hukum. Tapi sangat disayangkan jika hal itu lebih menyangkut soal administrasi, pasal-pasal, dan kewenangan untuk menjadi ketua organisasi. Akibatnya terlihatlah borok dan bopeng di sana sini. Mestinya bukan hanya kebanggaan yang perlu dimiliki seorang advokat, tapi juga punya “kemaluan”.

Hukum dan politik
Beberapa waktu lalu kita menyaksikan, bagaimana dua orang profesor hukum nyaris baku pukul ketika membahas soal hukum di layar kaca, antara Prof Gayus Lumbuun dan Prof OC Kaligis. Kita sudah tahu, bagaimana kisah selanjutnya. Ini masih antara dua orang yang sama-sama diakui sebagai pakar hukum, yang berbicara tentang hukum. Peristiwa ini seakan mengkonfirmasi pendapat bahwa jika ada dua orang hukum membahas soal hukum, maka akan muncul tiga atau lebih pendapat yang berbeda. Maka seakan terbayang, betapa rumit jika pembahasan itu melibatkan ratusan atau ribuan orang yang mengaku/merasa tahu hukum karena sekurangnya memiliki gelar SH.

Berbagai peristiwa terhampar di depan mata, menggambarkan bagaimana hukum bekerja di dunia nyata yang penuh paradoks dan tarik-menarik kepentingan. Itulah maka muncul pendapat bahwa hukum, yang memang lahir dari rahim politik, disebut sudah cacat sejak lahir. Hukum seakan mudah ditafsirkan, ditarik, dan berubah sesuai arah kepentingan (politik) yang berkembang.

Disadari bersama bahwa hukum tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Ada batas-batas yang seringkali tersamar atau disamarkan, dimana hukum sekadar jadi alat untuk kepentingan-kepentingan di luar dirinya. Akibatnya pada titik tertentu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum, beserta segala ikhwal yang berkaitan, bisa jatuh ke titik nadir. Lalu muncul “hukum alam” yang telah berlaku pada zaman purba, dimana yang kuat memangsa yang lemah.

Carut-marut organisasi profesi penegak hukum, khususya advokat, seolah juga menggambarkan masih carut-marutnya hukum di negeri ini. Belum lama ini Menkumham Prof Mahfud MD mengungkapkan, bagaimana hukum di negeri ini sudah banyak korup sejak dari pembentukannya. Ada ratusan undang-undang dibatalkan atau di-review di saat pakar hukum tata negara ini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, karena adanya pasal-pasal selundupan atau titipan. Kondisi ini makin menjelaskan, bagaimana negeri ini bisa goyah hanya sekadar diterpa angin yang bernama minyak goreng. Hukum seakan menjadi lumpuh dalam mengatasi masalah.

Demokrasi
Menjadi advokat boleh jadi berawal dari niat yang berbeda-beda. Namun sebagai sebuah profesi, menjadi advokat sudah sepantasnya memperoleh reward/imbalan atas jasa yang diberikan. Imbalan ini diharapkan menjadi penghasilan yang bisa digunakan untuk menopang hidup. Pertanyaannya adalah, penghasilan yang bagaimana, dan hidup yang seperti apa? Di sini bisa muncul berbagai sudut pandang, yang bukan hanya berbeda-beda, tapi juga bisa saling berhadapan.

Tapi Peradi sebagai organisasi, mestinya menjadi wadah/tempat untuk mengabdi dan berjuang demi penegakan hukum, serta demi kemaslahatan bersama. Menjadi pengurus, bukan demi imbalan jasa. Jika menjadi pimpinan atau pengurus organisasi adalah demi pengabdian, pertanyaannya mengapa banyak yang bersaing dan bertarung sedemikian rupa memperebutkan jabatan itu? Masih banyak lahan sebagai tempat untuk itu.

Demokrasi one man one vote, meski sempat berubah, adalah cara demokratis yang akhirnya disepakati untuk memilih pemimpin. Tapi banyak pengalaman membuktikan bahwa proses demokrasi yang demikian pun tidak sepenuhnya menjamin memberikan hasil yang diharapkan.

Gerakan reformasi yang mencita-citakan kehidupan demokratis dengan pemilihan langsung, terbukti juga telah menimbulkan banyak kekecewaan dan mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pemilu langsung yang kita pilih dan banggakan, pada gilirannya juga banyak dibajak oleh para cukong dan politisi demagog. Cita-cita mulia yang dicanangkan di awal, akhirnya lebih banyak hanya menjadi jargon saat kampanye. Itulah realitas yang kita saksikan di sekeliling.

Pemimpin
Demokrasi bagaimana pun kita ambil sebagai pilihan terbaik yang paling mungkin dilaksanakan, dari pilihan-pilihan buruk yang ada. Sudah sejak lama para filsuf menjelaskan, bagaimana demokrasi mudah sekali tergelincir dalam mobokrasi dan anarkhi. Kerusuhan yang memakan korban jiwa dalam pemilihan presiden di negara kampiun demokrasi Amerika misalnya, menjadi fakta telanjang yang membuktikan hal itu. Pemimpin yang baik memang tidak selalu datang dari yang bisa hadir dan tampil gemerlap, melainkan yang teruji melalui proses panjang rekam jejak dalam pergulatan mengatasi problem kemanusiaan.

Kita membutuhkan pemimpin yang idealis, dalam arti pemimpin yang berjuang untuk mencapai dan meraih kehidupan lebih baik dan ideal, tapi berangkat dari realitas. Seorang idealis adalah sekaligus seorang yang realistis. Berani menghadapi kenyataan dengan sikap terbuka.

Ini berbeda dengan orang yang punya keinginan meraih yang ideal, tapi berangkat dari mimpi, dan bukan dari kenyataan. Dia bukan idealis, tapi seorang utopis. Seorang pemimpi. Juga berbeda lagi dengan seorang pragmatis, yang lebih mengutamakan manfaat jangka pendek.

Untuk itulah diperlukan pemaparan visi-misi dari para (calon) pemimpin. Masing-masing dipersilakan menyampaikan visi-misi yang dibawanya. Visi merupakan harapan ke depan yang ingin dan mungkin dicapai, kemudian dituangkan dalam misi yang akan diwujudkan melalui langkah-langkah nyata yang hat dari kenyataan yang ada. Tanpa itu, visi-misi bisa tinggal menjadi mimpi indah, imajinasi, khayalan, atau sekadar daftar keinginan yang tidak realistis.

Kenyataan yang terpampang di depan mata saat ini adalah pertikaian berkepanjangan di tubuh Peradi dan berujung gugat-menggugat di pengadilan. Perpecahan yang bertahun-tahun kita alami, tak kunjung mampu diatasi. Sementara yang lain, lebih suka ribut saling berebut posisi.

Penegak hukum
Peraturan perundang-undangan kita memang belum ideal. Masih banyak kekurangan/kelemahan di sana-sini. Sudah lebih dari tiga perempat abad Indonesia merdeka, undang-undang hukum pidananya pun masih peninggalan zaman kolonial. Frans von List memang pernah mengingatkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan “Der Magna Charta des verbrechers”. Hukum pidana seakan menjadi Piagam Agung dan pegangan bagi para penjahat untuk dapat berbuat segala sesuatu asal tidak dengan tegas jelas tercantum dalam KUHP.

Tapi kelemahan dalam perundang-undangan, tidak mesti menjadi alasan sebagai penghambat. Taverne pernah mengatakan,”Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”.

Memang baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik. Menjadi ketua itu baik, tapi tak menjadi ketua tak berarti tak penting, karena bisa menjadi penyeimbang yang baik.

Selamat bermuscab Peradi Semarang. Semoga bukan hanya lancar dan sukses, tapi juga mampu memilih pemimpin yang visioner. Pemimpin yang tak hanya bisa mengayomi anggota ke dalam, mampu membersihkan bopeng yang masih menempel dalam organisasi, juga mampu berkontribusi dalam membangun hukum negeri. Tegakkan kembali profesi advokat sebagai profesi mulia dan terhormat (officium nobile).

Saya akan hadir di muscab. Juga akan mberikan suara kepada salah satu calon, meski sampai saat ini belum memutuskan untuk siapa. Saya masih menunggu sampai saat terakhir, sejauh mana visi-misi dan rekam jejak kandidat mampu menggerakkan tangan untuk memilih. Yang pasti, semua adalah kawan dan sahabat satu profesi. Pilihan kepada yang satu, tidak mempengaruhi persaudaraan dengan yang lain. Menjadi tugas bersama untuk merekatkan, membangun, serta merawat Peradi menjadi utuh kembali, dan bukan terpecah-pecah.

Drs Budi Susanto S SH MH, anggota Peradi, Kantor Advokat KGB —