JEPARA (SUARABARU.ID) – Bagi Dwik Tunggak, pria kelahiran Makasar 30 November 1960, menuangkan karya dalam sebuah patung kayu adalah sebuah perjalanan “spiritual”. Karena itu seniman yang mulai menapaki jalan hidupnya di Jepara sejak tahun 1998 ini selalu mencoba menghayati dan menikmati estetika alam yang tergurat dalam setiap batang kayu.
Itulah yang membuat karya Dwik Tunggak sangat memperhatikan alur dan bahkan guratan yang da di media karyanya. “Alam telah memberikan kayu-kayu itu keindahan alami yang luar biasa. Saya tinggal menyempurnakan dalam sebuah karya,” ujar Dwik Tunggak. Karena itu, ia tidak ingin merusak keindahan kayu dengan pahatannya.

Walaupun telah 24 tahun lebih berkarya, Dwik Tunggak masih saja mencoba “membaca dan mendengar bisikan” kayu-kayu yang akan diciptakan menjadi sebuah karya.
Saya hanya meminta bimbingan dari Hyang Kuasa untuk menyempurnakan keindahan alam dan tidak merusaknya dalam karya dan imajinasi yang liar. ”Media dupa atau wewangian saya gunakan untuk menjaga karya-karya saya agar tidak merusak estetika alam ,” ungkapnya.
Menurut Dwik Tunggak, kembali ke alam dalam proses penciptaan karya itu yang dipentingkan. “Jika kemudian dalam proses penciptaan itu harus dibakar, diamplas, dilabur tanah atau bahkan cat, itu semata-mata agar aura alamnya semakin tergurat kuat,” ujarnya.
BACA JUGA Monolog Para Ruh, Pembuka Pameran Patung Meluar Batas

Perjalanan kreatif
Perjalanan kreatif Dwik Tunggak dimulai saat ia duduk dibangku SMP di Makasar. Ia sangat suka pelajaran prakarya yang memberikan kebebasan pada siswa untuk memanfaatkan limbah yang ada di alam. Ia kemudian membentuknya menjadi sebuah karya.
Kecintaan pada alam dan keindahan itu pula yang kemudian membuatnya meninggalkan Makasar, ketimbang menyelesaikan pendidikannya di SMA. Ada banyak pulau dan kota yang disinggahi hingga tahun 1998 ia tiba di Jepara hingga jatuh cinta pada budaya masyarakatnya, seni ukir.
BACA JUGA Gelaran Acara Tak Lazim di Pembukaan Pameran Patung Meluar Batas

Melihat orang berkarya di Belakang Gunung dan melihat cara mereka memahat, membuat Dwik Tunggak demikian terpikat. Ia lantas membeli pahat dan menggunakan media karya yang berasal limbah kayu di pesisir laut Jepara. Baru sekitar tahun 2000 ia menggunakan media kayu jati hingga sekarang.
Walaupun beberapa karyanya mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual dan telah ribuan patung primitif diciptakan, diantarnya ada yang dinikmati di sejumlah Negara, namun Dwik Tunggak mengaku tak pernah memasarkan karyanya. Ia sendiri mampu menghasilkan 4 patung dalam1 bulan
“Jika sekarang ada Pameran Patung Meluar Batas yang diprakarsai mas Iskak dan Mas Didin, itu adalah penghargaan atas proses penciptaan sebuah karya,” ujar Dwik Tunggak. Tentu ia sangat menghargai, sebab memang di Jepara tidak tersedia ruang atau tempat khusus untuk memberikan apresiasi karya-karya seniman Jepara, tambah Dwi Tunggak.
BACA JUGA Menafsir Pameran Patung Dwik Tunggak “Meluar Batas”
Kini dalam usianya yang telah semakin tua, Dwik Tunggak masih terus setia berkarya. Ia ingin terus mengabdikan sisa usianya untuk menghadirkan estetika alam dari guratan kayu, agar dapat dinikmati oleh masyarakat.
Hadepe – Alvaros