blank
Foto: dok/pixa

Oleh: Amir Machmud NS

blankRASANYA ini adalah paradoks, dalam posisi keseharian saya sebagai orang media, pada titik tertentu justru “gelisah” ketika menyimak media.

Pada satu sisi, terdapat ruang akses yang seluas itu dibuka, dan pada sisi lain menciptakan ketakutan yang juga besar.

Lewat media, saya mendapat banyak informasi, edukasi, hiburan; lalu merasa terwakili oleh kekuatan-kekuatan yang menyampaikan kontrol publik terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan di semua level.

Akan tetapi, lewat media pula saya menjadi takut oleh letikan api kebencian, tudingan, penistaan, dan sikap ofensif kepada orang atau kelompok yang tak sepikiran, seideologi, sealiran, atau sekeyakinan.

Apakah media secara alamiah memang terposisikan sebagai “pedang bermata dua”?

Dimainkan dan Memainkan
Saya merasakan, terdapat realitas kecenderungan pemberitaan yang menciptakan cekaman ketakutan. Dan, ketika “api” itu masuk dalam intensi penyelenggaraan media, apakah memang media telah “dimainkan” atau “memainkan”?

Dalam pemahaman praktik duopoly — mainstream dan media sosial –, media menjadi ajang untuk “memperjuangkan” sikap ofensif berupa perundungan, penistaan, ujaran kebencian, kampanye hitam, pencemaran, dan kebohongan.

Rasa-rasanya, hakikat keberagaman dan kebhinekaan, agenda-agenda kemaslahatan sosial dan kebangsaan, kini dengan mudah terlukai oleh ujaran-ujaran yang menyerang. Media seolah-olah tidak lagi berbagi peran antara ranah mainstream dan media sosial.

Idealnya, dalam gambaran saya, apabila media sosial menyebarkan penyimpangan etika percakapan (ujaran-ujaran), atau kebohongan, maka media arus utamalah yang menetralisasi, mereduksi, dan berperan untuk menenangkan kegelisahan publik dengan mengusung narasi penjernihan.

Tetapi ketika dari klik ke klik berbagai portal berita, dan yang muncul adalah “wajah kebencian”, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana pula kita harus bersikap?

Topik Penistaan
Beberapa bulan ini saya mencoba menyimak dan mempelajari kanal komentar di sejumlah media. Dari sejumlah berita yang terkait dengan topik ujaran penistaan terhadap agama, pindah agama, dan frasa-frasa yang terkait ras, komplikasi-komplikasi pun rasanya tak terbendung.

Di media sosial, kita paham orang memang bisa mengujar apa pun lewat aneka platform. Urusan para pengujar dalam status, gambar, atau pernyataan detail melalui video atau youtube, adalah dengan barrier sosial dan hukum.

Terdapat risiko sosial dan hukum yang saya yakin sudah dipertimbangkan oleh para pengujar. Termasuk komentar-komentar ofensif dalam kanal-kanal yang mengomentari sebuah berita di media arus utama.

Risiko sosial merupakan reaksi atau respons, bisa muncul dari mereka yang merasa terlukai oleh unggahan-unggahan tertentu. Sedangkan risiko hukum adalah jaminan aturan perundang-undangan yang terkait dengan jerat terhadap orang yang melanggar. Dan, hukum memberi payung kepada warga negara agar hak asasi, keyakinan, dan kepentingannya tidak terusik oleh ofensi pihak lain secara melawan hukum.

Risiko Medsos
Media sosial jelas membuka ruang konsekuensi apabila kita tidak mampu mengendalikan hati untuk menyerang orang lain atau suatu kelompok.

Sementara itu, dalam praktik jurnalistik dan bermedia, penata laksana sajian media itu diberi rambu preventif berupa Kode Etik Jurnalistik.

Sejauh ini saya belum menemukan jawaban, bagaimana mungkin komentar-komentar netizen yang jelas-jelas menyerang sensitivitas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) diberi ruang seleluasa itu di sejumlah media? Apakah karena ini adalah narasi sikap pribadi, maka redaksi tidak menerapkan penyuntingan apa pun? Padahal bukankah Kode Etik Jurnalistik memosisikan singgungan teradap SARA sebagai pelanggaran?

Provokasi SARA juga kerap kita temukan sebagai kecenderungan dalam banyak pemberitaan media digital yang seolah-olah memperkuat fenomena di media sosial.

Pentingkah, misalnya, kita mengulik sikap privat seseorang yang pindah keyakinan agama? Apalagi dengan narasi-narasi tentang “menemukan petunjuk”, “mendapatkan kenyamanan”, dan sebagainya?

Patutkah kita memasalahkan sesembahan agama: mana yang lebih kuat dan mana yang lemah?

Pantaskah kita menuding orang yang tidak sekeyakinan dengan predikat-predikat kadal gurun (kadrun), Taliban, atau sebaliknya menyerang orang lain sebagai “kafir”?

Jangan-jangan media lebih larut dalam merefleksi sengkarut relasi kebangsaan kita, namun tidak dengan memberi arah edukasi sensitivitas yang mencerahkan.

Keberagaman dan kebhinekaan yang asasi justru banyak dilukai oleh para buzzer yang seolah-olah memosisikan diri toleran, tetapi nyatanya dengan enteng bersikap ofensif terhadap keyakinan orang lain. Dan, yang kemudian berlangsung adalah pemosisian “kami” dan “kalian”, “kita” dan “liyan”.

Renungan Awal Tahun
Pada pekan-pekan pertama 2022 ini, beredar ujaran yang diduga menyerang pemeluk agama lain, lalu menimbulkan aneka reaksi.

Belum dapat digambarkan bagaimana nanti tangan hukum menjangkau untuk menjamin perlindungan kepada pihak-pihak yang merasa terlukai oleh ujaran sinik di media sosial itu.

Di tengah situasi seperti ini, media arus utama harus berpikir tentang peran penjernihan. Apalagi ketika tahun politik bergerak makin mengeskalasi. Kepentingan-kepentingan bakal bertarung dan makin memperkeruh ruang digital kita.

Kita ketengahkan kearifan, tentu dengan terus mengajak agar mereka yang merasa berposisi toleran sebagai “bangsa” — siapa pun kita — merawat keberagaman dan kebhinekaan itu sebagai “aura” dan “postur” paling asasi manusia Indonesia.

Tentu tidak sehat apabila kita — apalagi orang media seperti saya — , justru merasa ketakutan ketika berniat mengakses media-media. Ya, karena ada “taring kengerian” yang muncul: horor ofensif soal agama…

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —