blank

Oleh : Ahmad Latif

Hiruk pikuk penambahan masa  jabatan presiden belakangan menjadi ramai. Dari berbagai kalangan melontarkan pendapat dan argumennya. Mulai dari kalangan aktivis, pengamat politik, pakar hukum, politisi, hingga jajaran tokoh nasional.

Tentu saya bukan apa-apa dibandingkan para tokoh. Namun walaupun seperti satu butir pasir di tepian samudra,  izinkan saya menulis sedikit keresahan saya melalui catatan kecil ini, sebagai rakyat biasa.

Ambang batas periode jabatan presiden itu diatur dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 setelah dilakukan amandemen pada era Reformasi. Pada era Orde Lama, masa kepemimpinan Ir. Soekarno, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945, yakni selama 5 tahun.

Namun pada tahun 1963, MPR menerbitkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Presiden Seumur Hidup. TAP MPRS ini ternyata tidak berlaku lama, karena pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengembalikan aturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 7 UUD 1945, yakni selama 5 tahun.

Kendati telah dikembalikan pada ketentuan Pasal 7 UUD 1945, tapi periode jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden masih tidak memiliki batas untuk dapat diperbolehkannya menjadi Presiden dan Wakil Presiden kembali.

Artinya, setelah waktu jabatan selama 5 tahun telah habis, maka Presiden dan Wakil Presiden dapat mencalonkan lagi di periode berikutnya tanpa ada batas periode kebolehan pencalonannya.

Perjalanan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 menemui titik perubahannya saat gejolak pada 1998 yang meruntuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto. Dan di era Reformasi inilah, perubahan ketentuan dalam Pasal 7 itu terjadi. Jika sebelumnya jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 5 tahun dan tidak memiliki batas periodenya, maka pada perubahan pertama UUD 1945, masa jabatan 5 tahun bagi seorang Presiden dan Wakil Presiden dibatasi hanya pada 2 periode jabatan. Artinya, maksimal jabatan Presiden dan Wakil Presiden ialah 10 tahun selama berturut-turut bagi orang yang sama.

Upaya untuk dapat menambah batas periode jabatan Presiden dan Wakil Presiden bukan upaya yang sederhana. Untuk mewujudkannya, perlu melakukan amandemen pada UUD 1945 yang dalam hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 7.

Untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 tidak bisa hanya dilakukan melalui wacana publik, tapi harus melalui MPR, yang sudah tentu melalui partai-partai politik di parlemen. Selama tidak ada rekomendasi amandemen UUD 1945 oleh partai-partai politik pada pimpinan di MPR, maka amandemen tidak akan terjadi, sekalipun publik disajikan keriuhan wacana penambahan jabatan Presiden.

Penambahan Batas Periode Jabatan Presiden

Belakangan yang mulai ramai diperbincangkan adalah penambahan batas jabatan Presiden lebih dari 2 periode. Pengusung wacana penambahan periode jabatan Presiden ini memiliki argumentasi, yang baginya, penambahan periode jabatan Presiden dapat menjadi solusi atas persoalan yang terjadi. Paling tidak, ada dua alasan yang disuarakan oleh mereka, yaitu polarisasi massa saat pemilu dan efektivitas kinerja pemerintah berdasarkan stabilitas politik nasional.

Saya menganggap bahwa penambahan periode jabatan Presiden tidak menjadi solusi yang dapat menjawab atau bahkan meminimalisir 2 persoalan tersebut. Mari kita runut secara sederhana.

Polarisasi massa

Momentum pemilu belakangan ini memang memiliki suhu politik yang lebih panas dari pemilu-pemilu sebelumnya. Suhu politik yang memanas saat pemilu dikarenakan terjadi polarisasi massa di masyarakat. Hal itu dapat kita saksikan saat Pilpres tahun 2014 dan 2019.

Terjerembabnya masyarakat pada keretakan sosial akibat terpolarisasi pada calon saat pilpres. Wujud nyata dari polarisasi itu seperti idiomatik “cebong” dan “kampret” yang lazim menjadi label bagi identitas pendukung calon di pilpres. Artinya, kita juga menyadari bahwa polarisasi massa di masyarakat memang terjadi. Dan ini memang bukan persoalan yang dapat dianggap biasa. Sebab polarisasi massa dalam politik identitas seperti yang marak terjadi di Indonesia justru akan rentan membawa kita pada persoalan-persoalan yang lebih serius, seperti konflik rasial atau vandalisme brutal di masyarakat.

Ketika kita juga menyadari soal polarisasi massa menjadi persoalan yang harus segera diatasi, lantas penambahan jabatan presiden menjadi lebih dari 2 periode dapat menjadi solusi? Tidak, bagi saya. Karena akar dari polarisasi massa yang terjadi bukan karena pembatasan jabatan presiden yang hanya 2 periode, tapi dari keberadaan “Presidential Threshold” yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dimana calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusung oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memiliki suara minimal 25% di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (Pileg). Ketentuan “Presidential Threshold” ini yang justru kita anggap sebagai katup tertutup bagi kemungkinan calon dalam pilpres lebih dari 2 calon. Sementara polarisasi massa terjadi akibat mengerucutnya massa hanya pada 2 poros.

Akan menjadi lebih baik jadinya, jika ketentuan “Presidential Threshold” itu diturunkan dibawah 10% atau menjadi 0%. Sebab dengan demikian, partai politik yang ada memiliki kesempatan untuk unjuk muka putra-putri terbaiknya untuk masuk dalam gelanggang pilpres.

Dengan begitu, polarisasi massa dapat terurai dan konsolidasi politik nasional akan lebih memiliki seni dari hanya sekedar “playing victim”. Dan justru akan menjadi persoalan yang jauh lebih panjang, ketika ketentuan “Presidential Threshold” tidak diubah, sementara periode jabatan Presiden bisa lebih dari 2 periode. Artinya, polarisasi massa tidak akan terurai tapi justru akan semakin bertambah panjang.

Efektivitas Kinerja Pemerintah

Penambahan batas periode jabatan Presiden dianggap sebagai solusi untuk mewujudkan kinerja pemerintah yang lebih efektif. Sebab bagi mereka, efektivitas kinerja pemerintah selalu terganggu akibat gejolak politik nasional yang tidak lekas stabil. Sementara waktu jabatan yang hanya 2 periode dianggap kurang untuk mewujudkan stabilitas politik nasional. Lalu apa benar stabilitas politik nasional dapat terjadi saat batas periode jabatan presiden lebih dari 2 periode? Mari kita berpikir lebih optimis dan bijak.

Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya seharusnya mampu menciptakan stabilitas politik nasional dengan bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan wewenang yang diatur oleh Undang-Undang. Sepanjang pemerintah melaksanakan tugas dalam koridor ketentuan hukum yg berlaku, maka pemerintah justru sedang melakukan stabilitas politik nasional itu sendiri.

Sehingga tidak ada kaitan antara stabilitas politik nasional dengan upaya menambah ambang batas jabatan presiden. Keterkaitan yg tepat adalah dengan keberlangsungan kinerja pemerintah itu sendiri, tentang sejauh mana mereka menjalankan amanat konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Dengan demikian, penambahan ambang batas jabatan presiden dengan mengacu pada dua indikator argumen diatas tentu tidak tepat untuk dilakukan. Meskipun konstitusi tidak melarang upaya menambah periode jabatan presiden tersebut, sepanjang parlemen sepakat untuk mengamandemen konstitusi kita.

Akan tetapi, gagasan tentang pembatasan jabatan presiden ini merupakan hal yang patut diperhatikan bagi jati diri Indonesia yg merupakan negara hukum. Paling tidak, ungkapan Lord Acton, sejarawan Inggris sangat tepat untuk dijadikan landasan kita dalam pemikiran politik di negara hukum, “Power tends to corrupt, but absolut power tends absolutely”.

Bahwa kekuasaan dalam sebuah negara harus dibatasi dan dicantumkan pada konstitusi yang berlaku, sebab pembatasan kekuasaan dalam sebuah negara merupakan kendali atas perlindungan hak-hak warga negaranya dan melindungi dari upaya penyalahgunaan kekuasaan itu sendiri.

Cermin Demokrasi Kita

Hari-hari belakangan ini kita semakin erat dengan berbagai persoalan yg terjadi antara pemerintah dengan rakyat, maupun sebaliknya. Perdebatan ilmiah hingga debat kusir ala jalanan tak jarang mewarnai persoalan-persoalan yg terjadi. Rakyat sesama rakyat berdebat, sesama pemerintah juga berdebat, dan pemerintah-rakyat juga berdebat.

Fenomena demikian sebenarnya bukan fenomena yang buruk bagi ruh demokrasi negeri kita. Justru demokrasi perlu memiliki ragam sudut pandang dalam menanggapi sebuah persoalan. Karena dari adanya ragam sudut pandang itulah demokrasi tumbuh dan bersemi.

Artinya, ruang perbedaan dalam rumah yagg kita sebut sebagai demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Selama keragaman ada dan dirawat dengan baik, maka selama itulah demokrasi selalu bergulir menemu standar idealnya.

Indonesia memang negara yang memang memiliki kompleksitas keragaman. Tentu sangat tidak mungkin jika tidak memiliki ragam sudut pandang. Sebagaimana diatas, tentu warna keragaman itu sebuah anugerah bagi demokrasi di Indonesia.

Sebab dengan adanya keragaman sudut pandang itu, Indonesia sebagai bangsa maupun negara tidak mandek dalam berupaya tetap berada pada standar ideal demokrasi. Namun belakangan ragam pendapat itu justru mulai keluar dari jalurnya.

Perdebatan-perdebatan yang seharusnya muncul atas dasar menemukan konsensus bersama malah berubah menjadi debat yang berdasar “saya benar, maka anda salah”. Musyawarah yang seharusnya didasarkan pada menemukan mufakat, justru berubah menjadi otoritas diri terhadap kebenaran secara mutlak.

Fenomena ini sudah terjadi dan semakin marak saat hari ini kita berada pada era keterbukaan informasi. Laman media sosial yang tak berdinding akhirnya semakin membawa demokrasi kita pada kegilaan berpikir dan bersikap.

Sekelumit dari hasil diskusi santai kemarin malam bersama seorang sahabat di pelataran rumah, fenomena ini mendasar pada kekacauan kita sebagai bangsa dalam berkomunikasi. Komunikasi kita dengan sesama anak bangsa, dari rakyat ke pemerintah, pemerintah ke rakyat, sesama rakyat, ataupun sesama pemerintah, sama sekali tidak mencerminkan komunikasi yang demokratis.

Bermula dari sana, semua kekacauan ini terjadi. Kebijakan pemerintah yang kadang gagal dipahami oleh rakyat, dan kritik rakyat yang juga gagal dipahami oleh pemerintah, dan terus demikian perputarannya. Alhasil, bukan kebenaran yang berhasil tersampaikan tapi justru pembenaran. Gagal paham kita dalam berkomunikasi inilah adalah hal yang sekiranya perlu untuk segera kita benahi bersama.

Lantas darimana kita benahi? Mulai dari belajar untuk mengakui kesalahan saat kita memang bersalah dan meminta maaf. Ini komunikasi sederhana yg memuat moralitas yang luar biasa. Bahkan tanpa kita sadari, etika dasar ini menjadi pembelajaran pertama dari orang-orang tua kita dulu.

Tatkala kita membuat kesalahan atau menyakiti teman kita, orang tua mengajari kita untuk segera mengakui kesalahan dan meminta maaf. Memang sederhana, tapi karena hal sederhana itulah kita masih bermain bersama dengan teman kita di hari-hari berikutnya. Demikian pula dengan demokrasi kita saat ini.

Dalam merajut hidup bernegara dan berbangsa tentu tak bisa luput dari kesalahan. Siapapun itu, baik pemerintah ataupun rakyat. Tapi kita masih bisa luput dari keretakan dan konflik ketika kita mau mengakui kesalahan dan meminta maaf. Tatkala pemerintah salah bersikap, berbicara, apalagi salah menerapkan kebijakan, maka pemerintah harus dengan keberaniannya mau mengakui kesalahan dan meminta maaf pada rakyat.

Tapi rakyat juga harus berbesar hati menerima maaf, meskipun tidak menghilangkan esensi kritik pada pemerintah. Begitupun sebaliknya, tatkala rakyat yg melakukan kesalahan maka juga harus berani meminta maaf, sementara pemerintah dan elemen rakyat lainnya harus berbesar hati menerima.

Jika demikian, lantas kemana fungsi hukum di negeri ini? Tidak semua kesalahan patut dijerat oleh aturan-aturan tertulis dan sanksi administratif, karena ada kalanya hukum juga berdiri tanpa sandera aturan tertulis dan sanksi administratif tapi tetap memberi pembelajaran kepada pihak yang bersalah.

Justru disitulah supremasi hukum berlaku. Dimana hukum tidak selalu terikat pada undang-undang tertulis, tapi hukum terikat pada penegakan kebenaran dan keadilan. Meskipun demikian, aturan tertulis harus tetap berlaku. Pelanggaran-pelanggaran yang memang harus diganjar oleh aturan tertulis maka harus tetap diberlakukan. Sementara pihak yang bersalah, baik dari pemerintah ataupun rakyat, maka harus dihukum berdasarkan legalitas hukum itu.

Setidaknya kesadaran kita untuk mengakui kesalahan dalam merajut hubungan bernegara dan berbangsa sebagaimana diatas, kemudian akan timbul rasa apresiasi terhadap apa yang benar. Maka siapapun yang benar, ia harus diapresiasi. Sehingga kita mampu menjalin komunikasi secara vertikal dan horisontal secara demokratis.

Dengan demikian, kita berharap penyelenggaraan sistem demokrasi kita dalam berbangsa dan bernegara jauh lebih harmonis, substantif, humanis dan terlepas dari unsur-unsur pembenaran belaka. Sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara integralistik sebagaimana gagasan Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan tokoh-tokoh lain yang sepemikiran pada kurun abad ke-18 hingga 19 M, bahwa negara bukan dimaksudkan untuk kepentingan seseorang ataupun suatu golongan tertentu, melainkan untuk semua kepentingan yang saling erat dari kepentingan masyarakat seluruhnya dengan atas nama persatuan.

Penulis adalah  Ketua  Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik Pengurus Besar PMII