blank
Provokasi "liar" Asnawi (merah), kepada eksekutor gagal Singapura, Faris Ramli. Foto: dok/affsuzukicup.com

Oleh: Amir Machmud NS

blankPASTILAH Anda merasakan, betapa ketegangan adalah bagian dari penghayatan dalam menikmati pertandingan sepak bola.

Maka cobalah simak, bukankah laga yang “memproses” kepastian Indonesia meraih tiket final Piala AFF 2020 berlangsung penuh drama? Skor 4-2 (2-2, perpanjangan waktu) adalah realitas akhir dari rentetan perjuangan Asnawi Mangkualam dkk, dari unggul 1-0, disamakan 1-1, berbalik tertinggal 1-2, menyamakan skor 2-2, dan… menutup laga dengan 4-2!

Anak-anak Garuda meraih final keenam Piala AFF, setelah lima final 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016, yang semuanya belum menghasilkan trofi juara.

Drama demi drama bukan hanya tersaji dari empat gol Indonesia dan dua gol Singapura. Pun ada momen tiga kartu merah untuk tiga pemain Singapura, atau keputusan-keputusan wasit Qasim Matar Ali Al-Hatimi dari Oman yang dipertanyakan. Kita simak pula provokasi “liar” Asnawi kepada eksekutor gagal Singapura Faris Ramli, lalu penyelamatan-penyelamatan heroik kiper Tim Singa Hassan Sunny.

Dan, bagi Indonesia, tentu drama yang sangat menguras rasa, namun meledakkan kebahagiaan adalah ketika Nadeo Argawinata mampu mementahkan eksekusi penalti lawan, setelah sebelumnya dia gagal membendung luncuran free kick kelas dunia Shahdan Sulaiman.

Ketika Rabu 29 Desember nanti anak-anak Garuda bertarung di partai puncak Piala AFF, saya yakin Anda mencatat perjuangan mereka di semifinal akhir pekan kemarin sebagai laga yang sangat menguras rasa.

Semifinal lewat perpanjangan waktu itu menyuguhkan ketegangan demi ketegangan, momen demi momen yang meremas perasaan, cekaman kekhawatiran, diseling letup-letup kegembiraan. Namun dalam catatan perjalanan “keterlibatan” saya sebagai penikmat sepak bola, termasuk sebagai wartawan sejak 1983 hingga sekarang, laga semifinal di Stadion Nasional Singapura itu bukan yang paling menegangkan.

Pengalaman Batin
Boleh jadi, “pengalaman batin” Anda berbeda dari saya. Setiap orang bisa tidak sama dalam menghayati kesan terhadap sebuah pertandingan, dalam “keberpihakan” dan “sikap rasa”.

Semasa SMA, saya menikmati (dengan penuh ketegangan) pertemuan Indonesia dengan Malaysia di Pra-Piala Dunia 1977 — Junaidi Abdillah dkk versus Santokh Singh cs — yang berakhir 0-0, lalu semifinal SEA Games 1977 yang berakhir ricuh dengan pemogokan Iswadi Idris dkk, karena kepemimpinan buruk wasit Othman Omar.

Saya juga menyaksikan langsung dan mengenang performa Tim Merah Putih, ketika mengalahkan Thailand dalam final SEA Games Manila 1991. Itulah medali emas terakhir sepak bola kita dari arena SEA Games setelah 1987. Pasukan Anatoly Polosin memenangi adu penalti yang menguras urat saraf, setelah proses serupa juga dilalui di semifinal melawan Singapura.

Kemenangan 2-1 Ponaryo Astaman dkk atas Qatar di babak grup Piala Asia 2004 di Beijing, juga mengetengahkan laga yang menegangkan. Selanjutnya, pada 2018 penampilan Stefano Lilipally dkk asuhan Luis Milla di Asian Games Jakarta, saya rasakan sangat fenomenal. Walaupun kalah dari Uni Emirat Arab, namun permainan posesif ala tiki-taka Barcelona yang diusung coach Milla memberi kesan tak terlupakan.

Semifinal leg kedua Piala AFF 2004 di Stadion Bukit Jalil, dalam catatan saya, merupakan salah satu penampilan terbaik timnas. Pertandingan itu sangat menguras ketegangan. Charis Yulianto cs menang 4-1 atas Malaysia, setelah sempat tertinggal 0-1. Bagai deja vu, kesan yang sama terasa ketika menyaksikan Evan Dimas dkk mengalahkan Harimau Malaya di babak grup Piala AFF 2020 ini. Skornya pun persis sama.

“Berpihak” ke Messi
Pertandingan-pertandingan yang “menyedot sukma” tak hanya saya rasakan terkait dengan timnas kita.

Dalam referensi perasaan, duel kelas dunia yang membuat “jantungan” adalah ketika Lionel Messi memastikan meraih gelar mayor bersama timnas Argentina. Tim Tango menundukkan tuan rumah Brazil 1-0, dalam final Copa America di Stadion Maracana, 11 Juli 2021. Secara khusus saya menulis artikel “Hari Pembebasan Lionel Messi” menyambut momen tersebut. Sejarah terukir, karena Messi dicap bakal sulit meraih trofi untuk negerinya.

Pecah tangis La Pulga saat wasit meniup peluit akhir menjadi “pembebasan” pula bagi saya. Sebagai wartawan, saya tidak bisa lepas dari perasaan sebagai “manusia” yang menjadi pengagum seorang pemain bintang. Messi berhak meraih pelengkap dari karier cemerlangnya bersama Barcelona, dalam rentang 20 tahun.

Empat puluh tiga tahun sebelumnya, duel Argentina vs Belanda dalam final Piala Dunia 1978 di Buenos Aires, masuk dalam catatan atmosfer laga menegangkan bagi saya. Walaupun hati “berpihak” kepada Belanda, namun saya mengidolai Osvaldo Ardilles, gelandang kreatif Argentina.

Italia vs Brazil di perempatfinal Piala Dunia 1982, menjadi laga elite berikut yang menyedot perasaan. Saya mengagumi skill Zico dan “tim jogo bonito” Tele Santana, tetapi penampilan Paolo Rossi yang selalu “tepat tempat dan waktu” sungguh sedap tersuguhkan.

Dari Piala Dunia Meksiko 1986, penampilan “Singa Atlas” Maroko yang impresif membuat saya mengidolai kiper Badou E-Zakki. Pertemuan dengan Jerman Barat di perdelapanfinal, menjadi laga favorit saya. Maroko hanya takluk oleh gol Lothar Mattaeus di menit-menit menentukan.

Dan, yang paling saya kenang dari arena puncak sepak bola itu adalah ketika Kamerun menyulitkan Inggris di perempatfinal Piala Dunia 1990. Roger Milla cs nyaris melangkah ke semifinal, namun ketajaman Gary Lineker menghentikan impresivitas “Singa-Singa Perkasa”.

Ketegangan dari laga itu, menurut saya, setara dengan kemenangan Korea Selatan atas Italia di perdelapanfinal Piala Dunia 2002. Tandukan Ahn Jung-hwan merobek gawang Gianluigi Buffon!

Selebihnya, dari berbagai momen liga-liga Eropa, Liga Champions, Euro, dan Piala Dunia, sejumlah pertandingan tercatat menguras rasa. Sebagai penggemar Manchester United, final Liga Champions 1999 melawan Bayern Muenchen dengan dua gol pembalikan dalam injury time, adalah momen yang sangat menegangkan.

Saya mengidolai permainan indah Barcelona. Lalu bagaimana ketika klub Catalan itu bertemu dengan MU? Dalam final Liga Champions 2009 dan 2011 yang dua-duanya dimenangi oleh Barca, tak bisa dipungkiri: fokus hati saya terbelah.

“Menyeret” Perasaan
Bagaimanapun, cekaman ketegangan adalah salah satu sumber keindahan sepak bola.

Sepak bola menuangkan ruap-ruap rasa sebagai bagian dari elemen magnitude-nya sportivitas, aturan main, dan kepatuhan kepada “norma” adalah sikap sejati dunia olahraga. Namun di balik semua itu, “drama” dan “kisah-kisah penyerta” adalah warna.

Dan, sejatinya, inilah refleksi budaya pop, ketika media mengolah elemen-elemen ketegangan untuk memperindah sepak bola. Dan sebaliknya keindahan disajikan untuk makin memperkuat cekaman rasa dalam setiap laga.

Dari wilayah personal penikmat dan wartawan, tentu kita bisa mereferensikan sederet penampilan Timnas Garuda yang “menyeret” perasaan, idolatrika pemain yang menumbuhkan keberpihakan hati, juga keterikatan hati untuk “fanatik” terhadap sebuah klub. “Keterlibatan hati” tak terelakkan menjadi elemen rasa dalam menyikapi sebuah pertandingan.

Dedup jantung, ungkapan amarah, dan letupan bahagia mengaduk-aduk jiwa, meluapkan sejuta rasa…

— Amir Machmud NS, wartawan dan kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —