blank
Sejumlah Buruh/Pekerja yang mengikuti aksi turun ke jalan, untuk menyampaikan protes menolak UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja di depan Kantor Gubernuran, Jalan Pahlawan Kota Semarang beberapa waktu lalu Foto : Dok Absa

SEMARANG (SUARABARU.ID) Aksi turun ke jalan atau unjuk rasa menjadi pilihan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah dalam menyampaikan protes keberatan atas kebijakan upah buruh/pekerja yang diambil oleh pemerintah.

Hal itu karena mekanisme penetapan upah buruh/pekerja berbeda dengan tahun sebelumnya, karena penetapan upah minimum buruh tahun 2022 mendatang menggunakan UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 dan turunannya di PP No 36 tahun 2021, yang mengubah PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Padahal, harusnya UU tersebut belum bisa digunakan sepenuhnya dalam penetapan upah buruh, sebab UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 yang digunakan sebagai acuan, masih dalam proses gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Dan pemerintah terkesan memaksakan pemberlakukan UU tersebut, karena digunakan sebagai acuan dalam penetapan upah.

blank
Aulia Hakim, SH, Sekjen KSPI Jawa Tengah.

Seperti disampaikan oleh Aulia Hakim, SH, Sekjen KSPI Jawa Tengah melalui pesan suara kepada SUARABARU.ID, saat dimintai pendapat terkait mekanisme kenaikan upah buruh/pekerja tahun 2022 mendatang, yang akan di sahkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah.

“Kami menyayangkan pernyataan Kemenaker yang dimuat di sebuah media, yang tetap menggunakan PP 36/2021 tentang peraturan atau penetapan upah walaupun ditolak oleh sejumlah buruh di Indonesia,” sesalnya.

Dalam aturan PP 36, lanjut Aulia Hakim, upah minimum hanya didasarkan melalui inflasi atau pertumbuhan ekonomi ditambah dengan rata-rata konsumsi penduduk perkapita per bulan, dikalikan dengan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dibagi dengan rata-rata banyaknya rumah tangga yang bekerja.

“Dimana, angka-angka itu ditentukan oleh BPS secara nasional dan terkesan tertutup tidak bisa diakses oleh buruh maupun serikat pekerja/serikat buruh. Berbeda dengan tahun sebelumnya, yang menggunakan inflasi tanpa pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Selain itu, imbuh Aulia Hakim, dengan mengacu pada PP 36/2021, tim perundingan penetapan upah yang dulu disebut Dewan Pengupahan sudah tidak ada lagi.

“Dibeberapa negara di dunia, untuk penetapan upah selalu dirundingkan. Beda dengan Indonesia yang menghilangkan hak berunding kami (buruh),” tandasnya.

Oleh sebab itu, disampaikan pula oleh Sekjen KSPI Jateng ini, dengan kondisi tersebut, maka untuk mengantisipasi hal itu, maka KSPI Jateng melakukan survey di lapangan dengan mengacu sesuai dengan aturan Kehidupan Hidup Layak (KHL) sejak awal tahun 2021 lalu.

“Dari hasil survey yang kita lakukan awal tahun, muncullah angka rata-rata dari hasil survey, yaitu 10 persen lebih dari gaji sebelumnya, belum juga termasuk tambahan nilai dari dampak pandemi. Seperti hand sanitizer, kuota belajar anak akibat sistem pembelajaran daring dan lain-lain,” ungkap Aulia Hakim.

Berharap Gubernur Ganjar Pranowo

Oleh sebab itu, KSPI Jateng berharap kepada Gubernur Ganjar Pranowo, untuk melihat kebutuhan buruh secara nurani. Karena nilai upah di Jawa Tengah sudah ketinggalan dengan provinsi lain di Indonesia. Dan diharapkan, dengan kenaikan upah buruh, secara otomatis daya beli akan meningkat juga.

Dan diingatkan pula oleh Aulia Hakim terkait dampak dari penetapan upah, nantinya jangan sampai karena kesenjangan ekonomi, akibatnya di buruh dapat memunculkan gejolak yang harusnya tidak perlu terjadi, sehingga bisa mempengaruhi investasi yang sedang dibangun Provinsi Jawa Tengah.

“Kami tidak menolak investasi yang digagas oleh pemerintah. Namun harusnya kan, berbanding lurus dengan kesejahteraan buruh dong. Karena dengan meningkatnya investasi harus nya kesejahteraan buruh juga harus ikut naik,” tegasnya.

Absa