krasikan
Mbah Mardiyah (59) warga warga Dusun Bumen, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang mempertahankan penggilingan batu untuk menggiling beras ketan yang menjadi bahan baku krasikan. Foto: Yon

KOTA MUNGKID (SUARABARU.ID)- Selain dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Kabupaten Magelang juga dikenal sebagai wilayah yang mempunyai aneka makanan yang  oleh-oleh.

Selain wajik, gethuk, jenang dan lainnya, makanan lainnya  yang  cukup terkenal yakni krasikan. Penganan yang berbahan dasar beras ketan ini hampir sama dengan jenang.

Namun, ada sedikit yang membedakannya, yakni tektur krasikan lebih kasar daripada jenang.

Mardiyah (59)  warga warga Dusun Bumen, Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang ini merupakan salah satu perajin krasikan yang hingga  saat ini masih mempertahankannya.

Dengan pengolahan secara tradisional, hampir setiap hari ia menerima pesanan untuk membuat makanan legendaris itu, baik dari tetangga maupun orang dari luar

Mbah Mardiyah menjelaskan,  makanan  tradisional yang dibuatnya tersebut  resep turun-temurun kakek- neneknya. Bahkan, salah satu peralatan yang digunakan untuk menggiling beras ketan tersebut juga  dari kakek-neneknya.

Mardiyah menuturkan, dirinya menjalankan usaha tersebut sejak 30 tahun lalu dan resep tersebut didapatkan dari adiknya yang dulunya berjualan krasikan.

“Resep krasikan ini saya dapatkan  dari adik yang dulunya sempat berjualan krasikan. Lalu  diteruskan ke saya dengan resep yang sama,” ujarnya.

Untuk proses pembuatan krasikan tersebut seluruhnya dilakukan sendiri dan dilakukan  secara tradisional alias manual tanpa bantuan mesin. Yakni, menggunakan batu penggilingan yang merupakan peninggalan kakek-neneknya.

Mardiyah mengaku, meskipun harus mengeluarkan tenaga eksrta untuk memutar batu penggilingan , dirinya tetap mempertahankan. Karena, jika menggunakan mesin penggiling berbahan bakar solar atau bensin juga tenaga listrik.

Selain menambah biaya produksi, juga penggunaan mesin penggiling berbahan bakar bensin atau solar, dikhawatirkan merubah bau beras ketan tersebut.

Selain itu, untuk menyangrai beras ketan tersebut, dirinya tetap menggunakan tungku dan berbahan bakar kayu bakar.

Adapun alasan mempertahankan  penggunaan kayu bakar  dalam proses penyangraian, tidak lain untuk memberikan aroma khusus yakni wangi bagi beras ketan yang disangrai.

“ Saya tetap mempertahankan kayu bakar untuk menyangrai agar wanginya beras ketan lebih mantap keluarnya,” jelasnya.

Untuk pembuatan krasikan tersebut tidak serumit pembuatan jenang, meskipun penganan tersebut hampir mirip dengan jenang.

Yakni, beras ketan yang telah di pesusi( dicuci), kemudian disangrai dengan menggunakan wajan di atas bara api kayu bakar  yang ada di dalam tungku.

Proses penyangraian ini dilakukan untuk mengurangi kadar air yang ada di beras ketan. Sekitar  10 menit kemudian, beras ketan tersebut dimasukkan ke dalam batu penggilingan yang digerakkan dengan kedua tangannya.

Proses pembuatan selanjutnya, setelah beras ketan menjadi tepung beras agak kasar, dicampurkan  dengan gula merah dan santan kepala yang sebelumnya sudah dimasak ke dalam wajan.

“Jika adonan  gula merah dan santan kelapa sudah gemrambut ( agak mengental), tepun beras ketan dimasukkan dan sambil diaduk hingga padat.lalu dimasukkan ke dalam tampah untuk dicetak dan didinginkan,” jelasnya.

Ia mengaku, pesanan krasikan tersebut banyak dipesan  saat musim hajatan  dan memasuki  bulan Ramadan tiba. Sedangkan hari-hari biasa pesanan krasikan bisa mencapau sekitar 10 kilogram per harinya.

Dirinya mematok harga untuk krasikan yang dibuatnya sebesar Rp 50 ribu per kilogramnya. Selain itu, ia juga melayani pembuatan krasikan dan bahan bakunya dari pemesan,

Untuk ongkos ndandake ( bahan baku dari pemesan dan perajin hanya membuatkan ,red), ia memasang harga Rp 30000 perkilogramnya.

“Saya juga menerima pesanan yang ndandake, dengan harga Rp 30000 per kilogramnya,” imbuhnya.  Yon