blank
Ahmad Fajar Inhadl, Lc

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc

JEPARA (SUARABARU.ID)-Kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat membuat kita rentan termakan berbagai isu hoaks. Kecerdasan gawai yang semakin hari menawarkan banyak fitur menawan, tidak diimbangi dengan kecerdasan “user”. Sehingga, teknologi yang seharusnya memudahkan, justru membawa petaka di era pandemi.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mencatat bahwa sejak tahun 2019 hingga 2020 terjadi peningkatan hoaks yang sangat tinggi. Jika di tahun 2019 ada 1011 isu hoaks yang di “take down” oleh MAFINDO. Maka di tahun 2020, ada 2360 konten hoaks yang ditangani, atau meningkat 133 %.

Banyaknya konsumsi masyarakat terhadap hoaks merupakan salah satu faktor yang menjadikan rangking kesopanan warganet Indonesia terjerembab. Berdasarkan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 yang dirilis oleh Microsoft, Indonesia berada di urutan 29 dari 32 negara.

Lalu, di platform digital apa saja hoaks tumbuh subur?

Dalam survei yang dilakukan KOMINFO pada tahun 2020, tentang status literasi digital Indonesia. Disebutkan bahwa Facebook berada diurutan tertinggi dengan 69.40 %. Disusul kemudian aplikasi WhatsApp diurutan 2 dengan 51.40 %. Kemudian Instagram dengan 38.00 %. Sedangkan isu hoaks di era pendemi yang sering dibicarakan adalah politik, kesehatan, agama, kerusuhan dan lingkungan.

Bahaya hoaks kesehatan juga disampaikan oleh Sekjen WHO Tedros Adhanom bahwa “Kita tidak hanya bertarung dengan pandemi. Tetapi juga bertarung dengan infodemi”.

Masing-masing kita, terutama yang menggunakan gawai dan mengkases media sosial, rentan sekali terkena dampak negatif infodemi. Hal ini setidaknya bisa kita temukan di WAG-WAG yang kita ikuti. Seringkali berita hoaks seputar pandemi, terutama yang terkait kesehatan, begitu mudah menyebar dan acapkali diyakini sebagai kebenaran tanpa dicek faktanya terlebih dahulu.

Padahal agama kita mengajarkan banyak sekali kaidah-kaidah agar terhindar dari hoaks. Sebut saja disiplin ilmu “Mustholah Al-Hadits” yang mengajarkan kepada kita untuk menilai kualitas matan (konten berita) dan sanad  sebuah hadis (jalur informasi).

Ada juga “Al-Jarh wa At-Ta’dil” atau yang hiasa dikenal dengan ilmu kritik hadis. Merupakan ilmu untuk mengetahui kredibilitas rawi atau orang yang meriwayatkan sebuah hadis. Dalam konteks pandemi, kita bisa menggunakan ilmu ini untuk menilai kredibilitas penyampai berita. Apakah dia kompeten atau tidak dalam menyampaikan sebuah konten.

Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW juga banyak sekali memuat ajakan hingga perintah untuk tidak mentah-mentah menelan berita yang sampai kepada kita. Sebuah fakta yang seharusnya menyadarkan kita bahwa tidak seharusnya umat Islam menjadi pemain aktif dalam peredaran hoaks kesehatan.

Ada sebuah penelitian menarik tentang “Alasan Meneruskan Berita Heboh” yang dirilis oleh Masyarakat Telematika Indonesia pada tahun 2019. Disebutkan bahwa alasan terkuat seseorang meneruskan berita heboh adalah karena memperoleh informasi dari orang yang dapat dipercaya (43.50%).

Artinya bahwa ketika ada seseorang yang dipercaya, seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, tokoh agama dan sejenisnya. Menyampaikan sebuah informasi, maka kecenderungan masyarakat adalah menerima informasi itu sebagai sebuah fakta. Sehingga kemudian masyarakat dengan tanpa rasa bersalah meneruskan berita yang belum terverifikasi kebenarannya.

Apa jadinya, bila yang terpercaya, yang dijadikan panutan, tidak mampu membedakan fakta dan hoaks kesehatan?.

Hoaks kesehatan adalah penghambat upaya penanganan pandemi. Itulah kenapa kita perlu bijaksana dalam menggunakan media sosial. Bila ragu dengan keabsahan sebuah berita, tahan diri dan jangan sebarkan. Kemudian bertanyalah kepada “Ahlu Az-Zikr” atau orang-orang yang berkompeten, punya kapasitas keilmuan tentang bidang kesehatan.

Ini bukan tentang monopoli ilmu pengetahuan. Tetapi ini adalah menyerahkan suatu urusan kepada ahlinya. Semoga bermanfaat.

(Penulis adalah Komite Syari’ah RSI Sultan Hadlirin Jepara dan  tinggal di Jepara).