blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 Hampir tiga minggu berada di pulau Batam, provinsi Kepulauan Riau (Kepri), -itulah mengapa tidak nongol dalam tulisan selama tiga Senin- , ada hal yang gawe gregel, di samping ada banyak  hal yang memberikan sukacita luarbiasa karena membersamai cucu secara offline. Apa itu yang membuat gregel?

Jawaban singkatnya, di kota Batam, pada tanggal 1 Oktober, tidak ada greget (semangat) apa pun terkait pengibaran bendera merah putih  sehubungan hari Kesaktian Pancasila. Dari sudut Batu Aji sampai Jodo, dari Barelang sampai Batam center, baik gedung-gedung dan kantor resmi maupun rumah tinggal; tidak ada greget ngerek gendera merah putih itu.  Gregel ing ati.

 Bacalah gregel seperti Anda mengatakan greget (semangat),  atau gremet (merayap),  atau ngebet (ingin sekali); dan makna gregel ialah hati ini terasa (ada) yang ganjel (mengganjal di hati), tidak puas bahkan juga kecewa; namun gregel juga menyiratkan dongkol.

Rasa itu muncul, -dalam contoh 1 Oktober di Batam sana- , sehubungan dengan lemahnya implementasi suatu keputusan atau kebijakan di tingkat (paling) bawah, yaitu di tataran kehidupan sehari-hari.

Ketika saya bertanya kepada seorang satpam di sebuah perumahan, apakah ada surat edaran dari keliurahan atau kecamatan perihal pengibaran bendera merah putih di hari Kesaktian Pancasila, satpam itu balik bertanya: “Apa pula itu?”

Memang ada makna gregel lainnya, yaitu terasa telah banyak menggunakan/mengeluarkan uang. Seperti pergi ke mall, awalnya sekedar mau cuci mata, tetapi karena di sana tertulis diskon 20%, ada juga “beli tiga gratis satu” tergodalah untuk membelinya, dan ……….begitu di depan kasir tertera jumlah rupiah yang harus dikeluarkannya, mak gregel rasanya.

“Ngene wae jebul entek 600 ewu,” gumamnya berhubung harus bayar Rp 600.000 lewat gesek ATM berhubung di dompet hanya tersedia Rp 400.000.

22 Gubernur

Judul tulisan ini GREGEL: 22 dari 34. Mengapa? Baru-baru ini, Ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) memberitakan bahwa selama ini telah ada 22 gubernur, -dari jumlah gubernur se Indonesia yang berjumlah 34- , terjerat kasus korupsi.

Dua puluh dua dari tiga puluh empat itu artinya 65%; tegasnya, selama ini (secara kumulatif tentunya) sebanyak 65% gubernur di negeri kita ini terjerat korupsi. Karena hal ini menjadi laporan KPK, artinya 65% pejabat itu telah menjadi “urusan KPK.” Makna lebih dalam lagi, kuwi sing konangan, yakni mereka itu ketahuan (ketangkap?) KPK: Lha sing ora (amit-amit,  durung?) konangan?

Baca Juga: Sapa Ngira?

Sapa sing ora gregel atas angka “22 dari 34” ini? Adakah pihak-pihak  yang tidak prihatin menyaksikan angka kumulatif sebanyak itu?  Dan lebih dari sekedar prihatin, tentu kita pantas berpikir serta bertanya-tanya: Mereka itu secara sosial dan politik adalah orang-orang terpilih, orang-orang yang pasti memiliki kelebihan di atas rata-rata; namun pada sisi yang lain jebule ada kelemahan sistemik berkaitan dengan tindak korupsi.

Dan jika dirunut sampai ke hulu nan hulunya, tidaklah salah kalau sumber utamanya ada pada ungkapan ini: “Biaya politik itu ternyata sangat tinggi.”

Gregel adalah perasaan individual berhubung melihat “ada masalah” di ranah kehidupan sehari-hari. Tentu secara individual lalu bertanya-tanya: “Aku (individu) dapat berbuat apa menghadapi masalah sosial semacam ini?”

Tidak mampukah individu-individu  berbuat sesuatu agar masalah sosial semacam itu tidak terjadi lagi, atau sekurang-kurangnya berkurang? Jawabannya, seharusnya dapat, bahkan lebih optimis lagi “Aku dapat.”

Bila semangat seperti ini telah muncul, maka berbagai rasa gregel selayaknya akan berkurang karena tidak lagi berhenti mung tekan gregel thok, melainkan telah bertransformasi menjadi semangat baru untuk melakukan sesuatu.

Selamat berjumpa lagi.

(JC Tukiman TarunasayogaPengamat Kemasyarakatan)

 

.