blank

Oleh : Hadi Priyanto

Raden Ajeng  Kartini  memang telah tiada. Ia telah dipangggil kepangkuan Illahi pada tanggal 17 September 1904 setelah ia mencurahkan seluruh tenaga, pikiran,  cinta dan pengorbananya untuk bangsanya. Karena cinta itu pula ia seringkali gelisah, marah dan bahkan kadang  putus asa tak berdaya melihat ketidakadilan yang  membelenggu bangsanya.

Namun dalam setiap kekalahannya ia kembali dapat  bangkit. Ia terus berjuang dan tak pernah menyerah seperti tekatnya,  “….walaupun langit runtuh akan saya pertahankan dengan bahu saya’”

Dalam ketidak berdayaannya sebagai seorang perempuan bangsawan, ia telah banyak berbuat. Ia telah merintis dan membuka jalan menuju pintu gerbang  peradaban bangsa. Bahkan ia juga menyebarkan titik-titik api pergerakan kebangsaan dan nasionalisme  Indonesia

Ia tahu jalan yang akan dilalui adalah jalan yang penuh onak duri, terjal dan berbatu.Tetapi ia bahagia, jalan itu telah terbuka dan ia ikut membuka jalan itu. Kartini memang tidak menikmati buah perjuangannya hingga akhir hayat. Namun ia telah mempersiapkan tanah dan menggemburkanya, hingga siapapun bisa menamankan buah-buah peradaban bangsa ini.

Tetesan air mata duka yang membasahi  bantal dan gulingnya, bagaikan air yang mengairi tanah – tanah  kering hingga bunga mawar peradaban itu bisa tumbuh, bersemi, dan mekar mewangi.  .

********

Kartini yang sejak kecil batinnya ditempa dengan derita yang uar biasa, tubuh jasmaninya tenyata tidak sekuat jiwanya. Ketika kandunganya berumur lima bulan  ia sering sakit-sakitan. Bahan pada bulan Juli 1904, ia hanya boleh menemui tamu-tamu dari kalangan keluarga. Itupun waktunya dibatasi,  sebab Kartini membutuhkan waktu istirahat yang cukup.

Namun di tengah-tengah kondisinya yang sangat lemah, sesekali Kartini masih mengajar anak-anak di sekolah yang didirikannya. Penderitaan masyarakat yang ada disekelilingnya juga masih saja menjadi pusat perhatian Kartini. Bahkan ia masih sempat menulis  kritik  pedas tentang besarnya pajak yang harus dibayar oleh rakyat Bumiputera. Kritik itu tertuis dalam suratnya kepada Ny Abendanon 10 Agustus 1904. Ini merupakan kritik terakhir Kartini terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda.

Pada akhir surat tersebut, Kartini juga mengisyaratkan bahwa hari-hari terakhirnya kian dekat. “Di negeri ini banyak sekali hal-hal yang tidak adil, yang mengerikan …. Terima lah salam saya Ibu. Boleh jadi, ini surat saya yang terakhir kepada Ibu. Kenanglah kerap kali anak Ibu, yang sangat mencintai Ibu berdua.

Isyarat bahwa ajal akan segera tiba kemudian juga disampaikan  Kartini dalam suratnya kepada Ny Abendanon tanggal 24 Agustus 1904, ketika kandungannya hampir mencapai 9 bulan. Dalam surat pendek itu Kartini menulis, “ Surat yang ibu terima baru-baru ini, bukanlah surat yang terakhir. Sudah saya takutkan, tetapi yang sekarang ini boleh jadi juga sungguh-sungguh surat yang terakhir. Sebab saya merasakan ajal hampir tiba dengan cepatnya,”.

Isyarat tentang kematian itu disampaikan kembali  oleh  Kartini dalam suratnya kepada Ny Abendanon setelah pada  tanggal 6 September 1904 ia mendapatkan kiriman pakaian bayi. Pada tanggal 7 September 1904 Kartini menulis surat balasan.

Kepada Ny Abendanon Kartini mengungkapkan bahwa ia menulis surat secepatnya seperti disarankan oleh suaminya, “Tulislah surat kepada Ibu kalau-kalau nanti terlambat,”.

Pada bagian akhir surat, Kartini juga mengungkapkan hatinya yang sakit karena tidak dapat bertemu dengan Ediie C Abendanon. Dalam surat itu Kartini menulis,  “…..bahwa kesempatan bertemu sekarang sama sekali lenyap,”

Selang beberapa hari, kondisi Kartini semakin lemah. Bahkan pada tanggal 12 September 1904, Joyo Adiningrat memangil dr van Ravesteyn yang bertugas di Pati. Namun baru esuk harinya dokter itu datang dan malam harinya anak Kartini lahir dengan sehat dan diberi nama Raden Mas Singgih.

Saat melahirkan, kondisi Kartini juga baik hingga  dr van Ravesteyn kemudian kembal ke Pati dan berjanji akan datang kembai untuk memeriksa kesehatan Kartini pada tanggal 17 September 1904.

Benar seperti yang disampaikan, dokter itu kemudian datang kembali pada tanggal yang dijanjikan. Dari hasi pemeriksaan yang dilakukan kondisi Kartini baik dan bahkan kemudian mereka merayakan kesehatan Kartini.  Namun tak lama berselang,  setelah dr van Ravesteyn kembali ke Pati, tiba-tiba saja Kartini merasakan sakit yang luar biasa di bagian perut.

Bupati Joyo Adiningrat kemudian memanggil kembali dr van Ravesteyn. Namun ia tidak bisa berbuat banyak. Kondisi Kartini semakin lemah dan 30 menit kemudian ia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan suaminya.

******

Kartini memang  telah wafat 117 tahun lalu dan jasadnya dimakamkan di Bulu Rembang. Karena jasanya, pada pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Ir Sukarno menerbitkan Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964 tentang Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional kepada RA Kartini. Penyerahan Surat Keputusan Presiden tersebut dilakukan di Semarang pada tanggal 3 Agustus 1964 di Semarang.

Penyerahan piagam dilakukan oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah Soejono Atmo  atas nama Pemerintah Pusat kepada keluarga RA Kartini yang diwakili oleh cucunya, R.M. Budhy Setia Soesalit, didampingi oleh adik RA Kartini, R.A.A.A. Kardinah Reksonegoro.

Karena itu semangat dan gagasannya tidak boleh mati. Sebab Kartini  bukan saja  pahlawan yang harus dikenang kebesaran namanya dan dirayakan kelahirannya, namun yang terpenting adalah terus mengidupkan  semangat dan gagasannya agar tidak mati dan dilupakan.

Semangat dan gagasan Kartini itu pulalah yang kemudian membangkitkan keberanian para pelajar yang ada di STOVIA untuk berani mengengembangkan semangat nasionalisme dan gerakan untuk mengobarkan semangat kebangsaannya hingga  mencapai tiga  momentum penting dalam sejarah Indonesia.  Kelahiran Budi Utomo, Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Oleh  kalangan pemuda terpelajar yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan pergerakan kemerdekaan ini, Kartini disebut sebagai Ayunda.  “Mereka bersorak-sorak bersama kami. Mereka menamakan saya Ayunda. Saya menjadi kakak mereka, pada siapa setiap waktu mereka dapat datang, kalau mereka butuh bantuan atau pelipur hati,” tulis Kartini kepada Ny. Ovink Soer tahun 1903.

Sementara di Negeri Belanda, para mahasiswa Hindia Belanda yang tergabung dalam organisasi Indische Vereeniging yang kagum akan semangat, pemikiran dan gagasan Kartini, menjadikannya sebagai richtnoer atau pedoman resmi organisasi. Para pemuda yang berada di Indische Vereeniging ini, kelak ketika kembali ketanah air akan menjadi tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sementara dr Cipto Mangunkusomo pada tanggal 24 Mei 1912  di surat kabar De Express milik Douwes Dekker menulis, “… tiap halaman surat Kartini tertuang keinginan, harapan da perjuangan untuk mengajak bangsanya bangun dari tidurnya yang panjang yang telah beratus-ratus tahun,”.

Bukan hanya itu, dr Cipto Mangunkusumo pada taggal 3 September 1912  di Surabaya juga mendirikan kelompok diskusi Raden Ajeng  Kartini Club yang kemudian menjadi tempat untuk mendiskusikan gagasan nasionalisme Kartini. Juga  sebagai wadah diskusi yang bertujuan untuk menyatukan kaum terpelajar dalam mencapai kesetaraan  berbangsa.

Nama Kartini dipakai oleh dr Cipto Mengunkusumo, karena pemikiran Kartini  yang mendobrak tradisionalisme Jawa telah melahirkan nasionalisme.Konsep tentang nasionalisme dan penghapusan kolonialisme ini yang kemudian dibawa dr Cipto Mangunkusumo saat mendirikan Indische Partij.

Pandangan ini juga dibawa dr Cipto Mengunkusumo  saat mendirikan kelompok diskusi Algemene Studi Club  di Bandung bersama Sukarno, Abdul Muis, Ishaq Tjokrohadisoerjo dan Anwari pada tahun 1925. Melalui kelompok diskusi ini dr Cipto meramu kembali nasionalisme yang semula didiskusikan di Kartini Club dan dijadikan tesis gerakan anti kolonialisme.

Sekolah gadis yang didirikan Kartini di Jepara dan Rembang juga menjadi inspirasi bagi berdirinya sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada taggal 27 Juni 1913 di Belanda, Mr C. Th. Van Deventer mendirikan Komite Dana Kartini. Tujuannya untuk mendirikan sekolah seperti yang dicita-citakan Kartini. Hanya dalam waktu empat bulan, sekolah ini berhasil didirikan di Semarang dengan murid sebanyak 70 orang.

Sementara di Batavia pada tahun 1913 didirikan juga Kartini Vereeniging atau Perkump[ulan Kartini. Berkat dana yang dikumpulkan ini dapat dibangun sekolah perempuan  di Batavia, Bogor, Rembang,  Madiun, Malang, Pekalongan, Cirebon dan Indramayu.

Kartini memang telah kembali kepangkuan Illahi 117 tahun lalu   dalam usia yang masih sangat muda. Namun dalam keterbatasannya sebagai seorang putri bangsawan Jawa, ia telah memercikkan api pergerakan  kebangsaan dan nasionalisme diseluruh pelosok tanah air.

Sekarang api itu telah menyala  di tengah-tengah bangsa ini. Akankah api itu surut dan padam ?. Atau akankah api itu tetap hidup menjadi energi yang menghidupkan semangat kebangsaan dan nasionalisme bangsa ini. Jawabnya tentu ada di tangan kita,  para pewaris.

Apakah kita bersedia  dengan setia mewarisi semangat dan gagasan Kartini yang dengan ikhlas memenuhi  panggilan jaman, mempersembahkan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara yang dicintainya. Atau justru kita tidak setia dan perlahan meninggalkannya.

Penulis adalah Ketua Yayasan Kartini Indonesia