blank

Oleh : Ahmad Saefudin, M.Pd.I

Dalam tulisan ini, saya sengaja membubuhkan kata “dalam Islam” untuk mengulas hikmah ibadah kurban. Sebab saya sadar, di  luar ajaran  Islam, terdapat perspektif lain mengenai ritual pengurbanan.

Bahkan dalam catatan Maria-Zoe Petropoulou, fenomena kurban hewan sudah terjadi sejak satu abad sebelum Masehi oleh penganut agama Yunani kuno. Sesudah itu ditradisikan oleh agama-agama Abrahamik, Yudaisme dan Kekristenan (Petropoulou, 2008). Demikian juga Islam.

Perspektif Islam, salah satu hikmah berkurban ialah merefleksikan kisah dua bersaudara yang sarat makna, yakni figur Habil yang tulus dan sosok Qabil yang ambisius. Sebagai seorang penggembala, keikhlasan Habil dari awal sudah tampak dari cara ia memilih hewan yang akan dijadikan persembahan kepada Allah Swt.

Dengan kalkulasi yang matang, ia sengaja menyortir piaraannya dan menjatuhkan preferensi kepada kambing yang gemuk, sehat,  dan paling super. Sedangkan Qabil, saudara tuanya, sebagai pekebun ia justru menyiapkan tanaman yang buruk. Terang saja, pemberian Habil lah yang diterima Tuhan.

Proses selalu berbanding lurus dengan hasil akhir. Itulah pesan moral pertama yang bisa kita ambil. Pula, Allah Mahatahu, hati siapa yang pamrih atau ikhlas dalam mengerjakan sesuatu. Ganjaran dari-Nya mustahil keliru.

Lagi-lagi karena ambisius, Qabil sulit menerima kenyataan. Buahnya adalah dengki. Melalui gertakan intimidatif, ia mengancam akan menghabisi saudara mudanya. Habil tetap teguh pada pendirian. Melihat gelagat kakaknya yang mulai kalap, ia justru mengingatkan dengan penuh kesantunan, “Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertaqwa.”

Kita patut waspada terhadap orang-orang obsesif, setidaknya ini amanat berharga selanjutnya yang kita petik dari peristiwa di atas. Sebab, ambisi yang sudah bercampur dengki, ternyata membuat manusia gelap mata. Sehingga logika gagal bekerja.

Buktinya, alih-alih menerima nasihat baik. Qabil malah nekat membalas keramahan Habil dengan kemarahan. Walhasil, untuk pertama kalinya bumi dihuni oleh seorang pembunuh.

Singkat cerita, Qabil dilanda penyesalan yang amat sangat. Di samping menginsafi kekejamannya, ia juga bingung: bagaimana harus memperlakukan mayat adiknya.

Untungnya, Allah Mahapengasih. Kendati terhadap pendosa sekalipun, rahmat-Nya tak pernah menjauh. Ia kirim burung gagak sebagai guru, sekaligus menjadi hikmah syariat. Hingga akhirnya, sekarang kita mafhum mengenai tata-etika penguburan jenazah.

Penyesalan selalu datang terlambat. Begitulah etiket esensial berikutnya yang dapat kita tuai. Jangan sampai karena ambisi, juga dengki, sisa usia kita dihantui oleh rasa kecewa yang tak ada habisnya. Apabila terlanjur berbuat hina, ganti dengan ragam perilaku mulia. Sembari tak putus asa, karena kasih-Nya melebihi luas samudera.

Selamat berkurban! Kita sembelih hasrat ambisi dan  putus nadi dengki yang ada dihati.

Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah  dan Ilmu Keguruan  (FTIK) Unisnu Jepara

blank