blank
Foto kenang-kenangan saat penulis "sowan" ke kediaman Mbah Liem. Foto: Dok Masruri

blank

TAHUN 1995 saat saat sowan sekaligus mewawancarai pinesepuh untuk penulisan di sebuah penerbitan, oleh beliau yang saya sowani, saya ditanya berapa anak saya? Ketika saya jawab dua, beliau berkata, “Kok hanya dua? Kenapa tidak sembilan?”

Saya jawab, “Banyak anak, repot Mbah Liem.” Yang saya maksud Mbah Liem adalah ulama karismatik, KH Muslim Rifai Imam Puro, Klaten, yang juga guru sipritual Gus Dur.

Apa jawab beliau? “Kamu itu seperti orang kurang beriman, belum-belum sudah su’udzon sama Gusti Allah, khawatir tidak kebagian rezeki. Tidak boleh begitu… jadi orang itu harus yang optimis, siapa tahu nanti sembilan anak-anakmu menjadi Jendral semua.”

Optimis BBM

Lain kali saat saya sowan lagi yang bertepatan dengan “ribut-ribut” soal kenaikan BBM. Ketika saya mengutarakan apa-apa nanti bakal menjadi mahal, apa nasihat beliau kepada saya dan kawan-kawan?   “Tenang saja. Kamu itu kok seperti orang kurang beriman. Kalau harga BBM naik 10 persen, kamu jangan mau kalah. Minta sama Gusti Allah agar rezekimu naik 50 atau bahkan 100 persen.”

Menjelang pamit pulang, saya bertanya bagaimana caranya belajar ikhlas? Jawaban beliau sederhana, dan dalam sekali, “Rajinlah salat tahajud, dan setelah itu perbanyak berdoa, jika perlu sambil menangis di tengah kegelapan malam. Jangan hanya pintar akting menangis kalau sedang disorot televisi.”

Saya dan kawan-kawan pun tersenyum mendengar nasihat yang sederhana dan sekaligus nancep di hati itu walau dikemas dengan bahasa bercanda orang-orang khos yang luar biasa. “Nasihat itu disampaikan dengan tidak terlalu formal, namun menancap pada yang dinasihati, dan siapa yang mendengarkan atau membacanya.

Mbah Liem

Sesepuh tersebut wafat pada Kamis, 24 Mei 2012. Kiai yang dikenal dekat dengan almarhum Gus Dur itu meninggal pada usia 91 tahun, meninggalkan satu istri dan delapan putra dan satu putri.

Logika mengatakan, jika pada suatu tempat ada satu warung, kemudian  di sebelahnya berdiri warung baru, maka omzet warung yang pertama menyusut karena dibagi dua. Benarkah demikian?

Ternyata tidak! Analoginya, kata Mbah Liem, di Jepara, hampir setiap rumah bergerak di bidang mebel dan ukiran. Namun semuanya kebagian rezeki. Kondisi “berjubel” itu justru menarik orang dari berbagai kota bahkan negara untuk belanja ke Jepara.

Tentang Ilmu

Begitu halnya yang bersifat ilmu. Dulu, waktu saya mulai menulis buku, ada beberapa pihak yang mengingatkan, “Mas, jangan begitu mudah membuka ‘rahasia perusahaan’, habis nanti ilmu kamu.” Ternyata? Tidak juga.

Justru karena keterbukaan saya itulah, banyak para senior datang dan mengajak barter “rahasia”. Ibarat semula pengetahuan saya hanya lima, ketika kemudian kedatangan 10 tamu, yang mengajak tukar kawruh (berbagi pengetahuan),  pengetahuan saya bertambah menjadi 15 atau bahkan lebih.

Karena berbagi itu (justru) menambah. Tidak percaya, cobalah! Sumur jangan terlalu ditutup rapat-rapat. Karena sumur kalau tidak pernah  ditimba, itu maka  airnya ya segitu-itu saja. Ilmu itu seperti kumis, semakin sering dicukur justru semakin bertambah subur.

Kunci Pelarisan

Ilmu untuk pelarisan dalam berjualan, bagaimana mempelajarinya? Menurut para guru, ada dua kuncinya! Yaitu banyak senyum, kemudian secara spiritual lalukan dua hal “keseimbangan” yaitu ritual dengan sosial.

Secara sosial? Perbanyak istighfar dan salawat, kemudian secara sosial murah senyum dan bersedekah. Berapa kali yang amalan itu  mewiridnya? Tidak perlu terlalu dihitung, nanti malah lebih fokus pada jumlah hitungannya dan bukan pada fokus salawat dan istighfarnya.

Kunci keberhasilan dalam rezeki itu selain kerja harus disertai dengan doa, salawat dan sedekah. Amalan itu ibarat surat, sedangkan sedekah adalah perangkonya. Karena itu, pesan para ulama maupun hukama, jika ingin punya anak yang berprestasi secara duniawi maupun spiritual,  orang tua terutama Ibu, -syukur Ayah ikut pun- menjalani tirakat juga bagi buah hatinya.

Cara menirakati anak-anak itu yang paling utama, saat ibu sedang mengandung, kedua orang tua benar-benar bisa menjaga makanan. Upayakan keduanya menjaga agar anak-anak tidak kemasukan makanan yang subhat, apalagi yang haram.

Kemudian pada hari kelahiran anak-anak, ibu (terutama) termasuk ayahnya pun sebaiknya melakukan puasa bagi anak-anaknya. Jika ayahnya disibukkan dengan aktivitas bisnis, puasa bisa dijalankan ibu. Namun jika keduanya mampu melakukan puasa, hasilnya tentu lebih baik.

Anak yang ditirakati kedua orang tuanya insya Allah selamat dari “korban zaman”. Puasa untuk kejayaan dan keberkahan anak itu bisa dilakukan hanya pada hari kelahirannya saja. Misalnya, Senin Pahing. Namun jika dilakukan tiga hari atau yang disebut apit weton insya Allah hasilnya akan lebih baik.

Untuk lebih jelasnya, jika anak lahir pada hari Senin Pahing, maka orang tuanya, atau salah satunya menjalankan puasa tiga hari : Ahad Legi, Senin Pahing dan Selasa Pon. Kemudian pada saat sudah tidur (malam) ibu dan atau ayah membacakan Basmalallah, Shalawat dan Surat Lailatul Qadar, kemudian ditiupkan pada ubun-ubun anaknya.

Insya Allah anak-anak yang dididik secara fisik maupun metafisik (spiritual) kelak menjadi anak yang dikaruniai kecerdasan. Saleh sosial, dan saleh ritual pula. Amin.

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati