blank
Webinar Kidungan dalam Keyakinan dan Tradisi Masyarakat Banyumas, digelar KKLP, Pelindungan Bahasa dan Sastra, serta Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) secara daring melalui Zoom Meeting, Kamis (15/7/2021). Foto: dok/ist

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Kidung dalam sastra lisan diartikan sebagai nyanyian. Kidung ini dalam kebudayaan Banyumas, disebut dengan lelagon Banyumasan, yang ditampilkan sebagai performing art dengan iringan gamelan.

Hal itu seperti yang disampaikan Prof Dr Sugeng Priyadi, saat menjadi narasumber dalam acara webinar Kidungan dalam Keyakinan dan Tradisi Masyarakat Banyumas, yang digelar Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Pelindungan Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) secara daring, melalui Zoom Meeting, Kamis (15/7/2021).

”Kidung merupakan sastra puisi yang dilisankan. Kidung ini dikenal sejak zaman Majapahit akhir. Namun oleh orang-orang Bali, kidung dianggap tidak seindah kakawin,” kata Prof Sugeng.

BACA JUGA: Mahasiswa PGSD Unissula KKL ke SDIT Mutiara Insan dan MC Edupark Cepu

Dalam acara yang dipandu Naratungga Indit Prahasita itu, Sugeng menambahkan, lelagon Banyumasan menggunakan bahasa dialek Banyumas, dan bersifat legendaris.

”Yang legendaris itu antara lain, Kembang Glepang, Ilogondang Banyumasan, Uthuluwuk. Dawet Ayu itu masih baru. Lalu yang terkenal lagi Gudril, Eling-eling, ricik-ricik, Waru Dhoyong, Uler Kembang, Glaha glehe, dan Randha Nunut,” tutur dia lagi.

Guru besar bidang Ilmu Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu menjelaskan, orang Banyumasan selalu nembang dengan cara memelesetkan. Misalnya tembang randa nunut. Tembang yang dinyanyikan para sinden itu, dipelesetkan oleh para niyaga atau para pengendang.

BACA JUGA: Ranperda Dana Cadangan Pilkada Disepakati Ditetapkan Tahun Ini

”Anak-anak Banyumas juga banyak punya nyanyian tembang. Saya sering mendengarkan kreativitas tembang Banyumasan itu saat pertunjukan. Sayangnya, para pelaku seni itu sudah sangat jarang,” ungkapnya.

Sugeng pun mengajak masyarakat, untuk merawat ingatan akan budaya yang dimiliki bangsa. Pada masa Kerajaan Majapahit, lahir karya-karya berbentuk kidung. Namun karena saat itu Kerajaan Majapahit runtuh, sastra kidung dengan kakawin dibawa ke Bali.

”Sastra Jawa tidak boleh mati. Ronggo Warsito bukanlah sastrawan penutup bagi sastra Jawa. Oleh karena itu, harus dihadirkan sastrawan-sastrwan Jawa dikemudian hari,” tandasnya.

BACA JUGA: MUI Ajak Umat Islam Shalat Idul Adha di Rumah  

Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jateng, Dr Ganjar Harimansyah menyatakan, dalam sebuah sastra lisan ada beberapa yang sudah terlupakan. Balai Bahasa Provinsi Jateng sendiri memiliki konsentrasi pekerjaan berupa konservasi sastra lisan.

”Terdapat lima program perlindungan bahasa dan sastra daerah yang dilakukan Balai Bahasa. Dalam lima program itu Balai Bahasa juga akan mengukur daya hidup bahasa, serta bagaimana konservasi sastra lisannya,” tukas dia.

Riyan