blank
Lionel Messi diangkat rekan-rekannya, usai memimpin timnas Argentina menjuarai Copa America usai mengalahkan tuan rumah Brasil. Foto: dok/dm

Oleh: Amir Machmud NS

MARACANA, Rio de Janeiro, 11 Juli 2021. Tangis Lionel Andres Messi pecah, setelah wasit Esteban Ostojich meniup peluit mengakhiri laga final Copa America melawan tuan rumah Brazil. Bola-mania dari seluruh penjuru jagat pastilah merasakan, betapa kebahagiaan meluap dalam momen terbesar sepanjang hidup Sang “Messias” itu. Inilah “hari pembebasan Lionel Messi”.

Di stadion agung yang sama, tujuh tahun silam, dia terpuruk. Pemain terbaik dunia itu berkesempatan melengkapi catatan hebat dengan mengantar tim nasional Argentina meraih trofi juara, namun Jerman menggagalkannya. Gol tunggal Mario Goetze mengubur mimpi Leo Messi.

Kegagalan demi kegagalan membayangi kebersamaan La Pulga dengan tim Albiceleste. Di tengah kemilau prestasi 34 gelar untuk Barcelona dan rekor-rekor individual, dia belum berhasil mengantar timnas di turnamen mayor Piala Dunia atau Copa America. Inilah yang membuat Messi terus diperbandingkan dengan seniornya, Diego Maradona, legenda yang diperlakukan bagai dewa.

Messi memang sukses meraih Piala Dunia U-20 2005 dan medali emas Olimpiade 2008, namun dia gagal di final Copa America 2007, 2015, 2016, dan Piala Dunia 2014. Dia sempat diprediksi tak akan sanggup memberi trofi dalam usianya yang sudah 34. Akan tetapi, bukankah tak ada manusia yang mampu membaca takdir untuk menerka garis hidup? Dalam jodoh, dalam kematian, dan dalam…piala!

Andai “sang dewa senior”, Maradona masih ada, pastilah dia akan ikut merayakan sukses Leo Messi. El Pibe de Oro sempat skeptik, yuniornya yang berkemampuan teknis identik dengan dirinya itu akan sulit memberi tofi untuk Argentina.

Lionel Messi juga telah menjajari Cristiano Ronaldo. Bintang yang dari 2007 terus bersaing dalam perburuan Ballon d’Or itu dipandang punya nilai plus, karena mampu mengantar Portugal menjuarai Euro 2016 dan Europea Nations League 2017. Kini Messi memberi bukti justru dalam usia yang bisa dibilang senja, meskipun dia pasti masih dibutuhkan untuk Piala Dunia 2022 di Qatar.

Kemenangan nasional Negeri Tango itu seolah-olah memusat menjadi sukses seorang Leo Messi. Euforia perayaan, selebrasi, dan ucapan selamat teralamat kepada kapten tim yang pernah disemati predikat “The Next Maradona” itu. Bahkan kini dia telah mendirikan kerajaan sendiri sebagai “The Real Messi”.

Catatlah pernyataan Nery Pumpido, kiper legendaris Argentina beberapa hari sebelum final. Kata peraih Piala Dunia 1986 ini, Messi tidak harus membuktikan apa pun bersama timnas, karena realitasnya dia adalah salah satu pemain terbesar dalam sejarah.

Laga Paling Menegangkan
Sebagai wartawan yang banyak meliput sepak bola sejak 1983, saya mencatat pertandingan-pertandingan menegangkan, termasuk yang punya momen khusus. Dan, jujur saja, laga final paling mencekam yang saya rasakan adalah saat menunggu detik-detik akhir pertarungan di Stadion Maracana.

Saya tidak dapat menutupi keberpihakan sebagai “pembela” Messi. Suara batin saya mengatakan, rasanya tidak adil apabila pemain dengan kompetensi sekomplet La Pulga tidak sempat menikmati gelar bersama timnas negerinya dalam rentang panjang karier sejak 2005.

Maka, detik demi detik pertandingan setelah keunggulan Argentina berkat gol Angel Di Maria terasa betapa panjang. Degup jantung menjadi bertambah cepat setiap kali Neymar Junior dkk melancarkan aksi-aksinya ke pertahanan Argentina.

Inilah laga yang sangat meremas-remas urat syaraf. Apalagi ketika pada tiga menit menjelang berakhirnya waktu normal, Messi gagal menyelesaikan peluang emas di depan gawang Ederson. Kalau sampai akhirnya Brazil mampu menyamakan skor, bukankah kegagalan Messi itu akan diungkit sebagai penyebab?

Detik-detik akhir laga adalah momen menuju sejarah. Akan berhasilkah Messi mengakhiri “kutukan” final? Inikah “hari pembebasan” bagi pemain yang telah enam kali meraih Ballon d’Or itu?

Trofi bersejarah itu menjadi klimaks performa Messi dalam turnamen ini. Dari babak grup hingga fase gugur, peran besarnya sebagai pemimpin dan pembeda betul-betul menginspirasi tim. Sebenarnya sama dengan peran sentral di Piala Dunia 2014, namun dalam partai puncak Argentina gagal menaklukkan Jerman.

Dalam persaingan dengan para bintang yang stabil sepanjang tahun seperti Ronaldo, Lewandowski, N’Golo Kante, Romelu Lukaku, atau Kevin de Bruyne, akankah Ballon d’Or
tahun ini bakal menjadi milik Leo Messi?

– Amir Machmud NS, kolumnis sepak bola, wartawan suarabaru.id –