blank

Oleh : dr Nurkukuh, M.Kes

Berapapun jumlah tambahan bed dan ruangan isolasi Covid-19  di rumah sakit dan bahkan membangun rumah sakit darurat   sekalipun  akan selalu cepat terisi penuh. Sebab itu hanya akan  menangani dan menyelesaikan   persoalan wabah ini di hilirnya. Bukan persoalan utama yang ada di hulu.

Selama penerapan 5 M berupa perilaku  memakai masker, mencuci tangan, menghindari kerumuan, menghindari kontak langsung dan mengurangi mobiltitas lemah, penularan akan tetap berlangsung terus dan bertambah secara signifikan.

Juga jika yang digenjot hanya 3 T berupa tindakan  testing, trecing dan treatment dan mengabaikan 5 M,   maka akan  banyak tenaga kesehatan yang kemudian tumbang, terpapar oleh virus yang hendak dilawannya.

Apalagi jika kemudian  3 T nya ikut-ikutan melemah dan dilaksanakan tidak profesional, sementara 5 M mengendor bisa diprediksi akan muncul pageblug. Orang Jawa kuna menyebutnya dengan gambaran dalam jagad pewayangan : wong lara esuk sore mati,lara sore esuk mati.

Seharusnya 5M seimbang sama kuatnya dengan 3T, baru putus rantai penularan Covid. Namun jika harus memilih satu yang kuat, maka yang dipilih harus 5M, bukan   3T. Memilih yang kuat hanya 3T, berarti tenaga kesehatan banyak yang akan berjatuhan.

Maka apapun alasannya, 5 M harus diterapkan minimal 70% penduduk yang melakukan. Tidak bisa ditawar. Itu    rumus untuk memutus rantai penularan ditambah minimal 70% yang harus di vaksin. Yang 30 % nya bisa nunut sehat, misalnya sakit jadi ringan

Namun kenyataan 5 M sulit diterapkan. Bahkan rata-rata penerapannya masih kurang dari 35 %. Yang menjadi pertanyaaan, bagaimana kiatnya supaya orang mau melaksanakan perilaku baru, 5 M ?

Bentuk Sabet 5 M

Dahulu orang naik sepeda motor berkerumun di SBPU bila mau beli BBM. Dalam waktu beberapa bulan sepeda motor sudah mau antri urut kebelakang. Mengapa,  karena ada petugas SBPU yang langsung tatap muka mengatur dan menyuruh antri. Tidak hanya  lewat pengeras suara apalagi lewat secarik kertas.

Contoh lain di mini market. Awal masa pandemi, pembeli masuk pada pakai masker,  karena diingatkan petugas. Hanya berlangsung beberapa hari. Sekarang sudah bebas masker. Mengapa tidak diingatkan lagi secara langsung sekarang? Contoh lain lagi bank. Karena ada satpam yang mengingatkan maka 5 M maka relatif tertib.

Jadi prinsipnya ada petugas yang mengingatkan secara langsung dengan tatap muka. Dimana saja kapan saja. Di pasar, di masjid, di pengajian, di hajatan perkawinan, di tempat rekreasi dsb. Sehingga di pasar tradisional  penjual dan pembeli sama-sama bermasker, tidak seperti sekarang.

Petugas tersebut sama fungsinya dengan sabet pada saat pilpet, pilkada, atau pilihan yang yang lain. Kalau sabet pilkada mengajak nyoblos calon yang didukungnya maka sabet 5M tugas utamanya mengajak warga memakai masker, menjaga jarak sehingga tidak berkerumun, dan protokol M yang lainnya.

Tentu butuh jumlah ratusan sabet sekabupaten.  Tergantung lokasinya, bisa dari ASN, satpam instansi/perusahaan,ormas agama, swasta, LSM, polisi dan tentara.

Tentu dibutuhkan anggaran sebab para sabet harus diberi  honor bulanan. Untuk itu diperlukan lembaga sebagai pengelolanya yang pegang komando dari OPD yang ditunjuk dan bertanggung jawab. Lembaga/OPD tersebut bertugas mirip tim sukses pilkada. Dalam hal ini sebagai Tim Sukses 5M.

Sabet 5 M ini bukan hanya mengkampanyekan tentang pelaksanaan 5 M, tetapi juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tetang manfaatnya terlibat dakam gerakan ini. Karena itu sabet ini perlu mendapatkan pelatihan secara singkat mencakup  pengetahuan, strategi dan cara memahamkan masyarakat akan pentingnya 5 M.

Disamping mememberikan pengetahuan dan pemahaman juga sangat penting tindakan untuk mendisplinkan masyarakat dari aparat dan juga keteladanan  disemua jenjang pemangku kepentingan. Tentu dengan melibatkan semua tokoh masyarakat.

Penulis adalah  Ahli Kesehatan Masyarakat, Tinggal di Mlonggo