blank
Ilustrasi. Foto: Ist

blank

TAHUN 2004, dalam perjalanan pulang dari pelatihan hipnosis di luar kota, ada pejabat menghubungi  saya. Dia minta layanan terapi untuk kedua anaknya. “Wah, lumayan ini, dapat tambahan rezeki,” kata saya dalam hati.

Masuk Semarang, bersama teman melatih saya buka kamar hotel. Yang ada dalam benak kami, pejabat dari sebuah instansi bergengsi, untuk layanan terapi kedua anaknya tentu “amplop’-nya lumayan, pikir saya.

Malamnya, kami menerapi keduanya. Selesai terapi, bayaran yang kami terima itu luar biasa, yaitu “2M” alias “Makasih Mas”. Setelah itu dia  pamit, dan tidak pernah kontak lagi.

Secara materi kami rugi. Namun dari sisi lain, kami untung karena dapat pelajaran berharga, agar lain kali jika ada permintaan serupa,  dibicarakan dulu aturan mainnya. Karena mengerjakan sesuatu yang belum ada kejelasannya itu bikin hati tidak nyaman.

Guru Saya

Yang saya alami itu belum seberapa dibanding yang juga dialami guru saya. Beliau ahli “hipnosis tradisonal” dengan spesialisasi meluluhkan hati orang yang bermasalah. Guru dijemput utusan pejabat dari luar provinsi untuk meluluhkan hati calon pengantin (perempuan) yang  mogok tidak mau dinikahkan.

Karena yang menjemput bawa mobil, Guru bersedia dengan keyakinan pulangnya tentu diantarkan. Sayangnya, setelah calon pengantin perempuan “ditiup” lalu menuruti perintah kedua orangtuanya, gantian guru tidak diurus.

Guru hanya diantar sopir sampai terminal lalu dititipkan bus jurusan Pati. Karena sampai Pati sudah malam, Guru lanjut naik ojek 50 KM ke kediamnnya. Analisa saya, yang memanggil itu pejabat dibidang pengelolaan anggaran. Kalkulasinya tepat. Pas sampai rumah, uang Guru pas habis.

Dalam kehidupan, hal  seperti itu sesekali bisa terjadi. Hidup layaknya keplek (“judi”) terkadang untung, terkadang rugi. Dan kisah macam itu bisa menjadi dongeng anak cucu agar mereka tahu isi dunia itu beragam. Apa yang terjadi dalam kehidupan ini adalah pelajaran berharga agar kita tidak mudah kaget.

blank
Ilustrasi. Foto: Ist
blank
Ilustrasi. Foto: Ist

Rezeki Nomplok

Selain kisah duka, tentu ada kisah suka. Guru pernah dilakukan secara tidak manusiawi  oleh manusia dari arah timur, lain waktu mendapat rezeki nomplok  dari arah barat. Ketika ada pejabat yang ikhtiarnya berhasil, sebagai ucapan terima kasih, guru diberi hadiah uang lebih 100 Juta.

Uang itu disarankan untuk biaya menunaikan ibadah haji berdua, namun guru memilih uang itu untuk membangun rumah ibadah bagi warga, dan sisanya -sekitar 10 persen- untuk kebutuhan pribadinya.

Duka dan Suka

Dalam kehidupan suka duka itu selalu ada. Selain kisah “dikemplang” saat menerapi anak pejabat, lain waktu Tuhan memberi bonus. Suatu hari datang tamu dua mobil dari kota yang jauh. Mereka mengucapkan terima kasih, karena kedua anaknya yang sakit menahun itu sembuh setelah saya obati jarak jauh.

Merasa tidak melakukan apa-apa, saya pilih diam. Ketika mereka  mau pulang, setiap yang datang, mulai anak-anak, remaja dan dewasa memberi amplop (ada isinya). Ketika mereka sudah pulang, saya tanya yang jaga rumah.

Dikatakan, seminggu lalu ada yang telepon minta agar anaknya yang sakit saya obati (jarak jauh). Bahkan yang menerima telepon disuruh menulis nama anaknya  yang  sakit. Mungkin karena ada kesibukan lain, catatan itu nyelip, mungki kesapu hingga dia lupa.

Setelah ketahuan  permasalahannya, saya pilih diam. Ketika mereka pamit pulang, cara salamannya, mulai yang dewasa, remaja hingga anak-anak itu sambil memberikan amplop, ada isinya.

Manajemen Spiritual

Bagaimana fenomena semacam itu bisa terjadi? Apa rahasianya hingga yang sakit tiba-tiba sembuh, -padahal belum atau tidak  didoakan? Ini semata-mata karena kehendak-Nya dalam membagi rezeki.

Dawuh para winasis, rasa tamak itu menutup pintu rezeki, karena itu,  yang terlalu dikalkulasi itu justru sering meleset, sedangkan yang tidak begitu diharapkan, malah bisa datang secara tiba-tiba.

Namun demikian, kita bisa pakai dua pola manajemen, hati dan logika dengan tetap menjaga jangan terlalu berharap mendapat rezeki besar, nanti malah bertambah pusing.

Setiap pribadi memiliki tradisi. Ada terapis patah tulang menggunakan manajemen terbuka. Dia tidak mau menerima uang dalam amplop tertutup. Saat pasien mau pulang, uang harus diberikan terbuka agar antara pemberi dan penerima sama-sama melihat.

Pola ini berdasarkan pengalaman masa lalunya. Ada beberapa keluarga pasien rawat inap saat akan pulang, keluarganya memberi uang dalam amplop, dan ketika dibuka, isinya tak sesuai tenaga dan waktu  merawatnya.

Tentang terapis menerapkan menajemen yang mana, semua kembali pada pribadi masing-masing. Bahkan ada sosok sepepuh  alim, saat ditanya bagaimana seorang terapis atau tabib melayani klien dan menentukan “uang lelahnya” beliau memberi  banyak  opsi, tergantung siapa yang dihadapinya.

Ketika yang bertanya itu orang yang tergolong mampu, dijawab,”Kamu tidak usah cekathangan ngurus rezeki, itu sudah diurus Allah.” Lain kali ada yang tanya hal yang sama, dijawab : ”Orang bodoh mencari nafkah dengan ototnya, orang pintar dengan ilmunya.”

Lain kali ada yang bertanya serupa, dan dijawab,”Asal mulutmu tidak minta, hatimu tidak tamak, diberi berapapun jangan ditolak, karena yang menggerakkan hati manusia itu Allah SWT.”

Masruri praktisi dan konsultan spiritual tinggal di Siarahan, Cluwak, Pati