blank
Masjid Nuru Huda di Desa Rowo, Kecamatan Mirit, di Kebumen selatan.(Fotoa:SB/Ist)

KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Desa Rowo merupakan  desa paling timur di Kebumen selatan. Masuk Kecamatan Mirit. Wilayahnya unik karena di ujung sisi timur Kabupaten Kebumen, berbatasan dengan Kabupaten Purworejo.

Lokasinya di tepi muara Sungai Rowo menuju Pantai Selatan. Sampai dengan akhir 1991, sebelum dibangun Jembatan Rowo di Jalan Daendels, Desa Rowo dan wilayah Purworejo masuk Kecamatan Grabag harus menyeberangi sungai dengan perahu.

Menurut penelurusan pecinta sejarah dan budaya di Kebumen KRT Arif Priyantoro Rekso Budoyo dan RT Hargo Yohanes Budoyo Dipuro, konon pertama kali yang babad alas Desa Rowo sesepuh bernama R Rowoyudo.

Masyarakat mempercayai Masjid Nurul Huda sebagai masjid tiban yang dibangun pada tahun 1880. Ini sesuai dengan angka tahun yang ada di papan kayu di bawah makutha masjid yang ditulis dengan menggunakan huruf Jawa.

Mengutip penjelasan Kaum Kodirun, salah satu sesepuh Desa Rowo, disebut masjid tiban karena makutha masjid tersebut tiban atau tiba-tiba ada. Hingga kini Makutha Masjid Nurul Huda masih asli dan terawat dengan baik.

Setiap Jumat Kliwon di bulan Sura, makutha diturunkan dan warga mengadakan jamasan. Setelah prosesi membersihkan makutha selesai, kubah masjid itu dipasang kembali.

blank
Masyarakat Desa Rowo melakukan tradisi jamasan Makutha Masjid Nurul Huda.(Foto:SB/Ist)

Masyarakat sekitar masjid juga masih memiliki tradisi Pudhunan, yaitu komunitas masyarakat nelayan di Desa Rowo membuat tumpeng kemudian di larung di muara Sungai Rowo setelah acara doa selesai. Acara Pudhunan dilaksanakan setiap tanggal 1 Syawal, dengan menggunakan hitungan tahun Aboge.

Ki Arif Priyantor memaparkan, Aboge akronim dari Alip-Rebo-Wage, yang merupakan jenis perhitungan kalender Jawa menggunakan sistem satu windu (delapan tahun) untuk menyelesaikan satu periode waktu.

Menurut penganut Aboge, satu windu terdiri dari tahun Alip, He, Jim Awal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir. Dalam konsep trikotomi Clifford Geertz, Aboge bisa masuk pada kaum Abangan, di samping kelompok Santri dan Priyayi.

Lingga dan Yoni

Di kompleks Masjid Nurul Huda ada beberapa makam yang letaknya di belakang pengimaman.Di antaranya adalah makam Mbah Kiai Grubug alias Mbah Bongsoyudo, beliau adalah putra dari R Rowoyudo sesepuh Desa Rowo.

Masih ada beberapa makam lainnya, salah satunya adalah makam R Mangkudidjoyo beliau adalah glondong (lurah) tahun 1952.

blank
Lingga dan Yoni di kompleks Masjid Nurul Huda Desa Rowo, Mirit,Kebumen, masih terawat baik.(Foto:SB/Ist)

Yang menarik, di samping beberapa makam di kompleks Masjid Nurul Huda ini juga terdapat Lingga Yoni. Dua benda ini sangat sakral dan memiliki filosofi mendalam bagi sebagian orang. Terutama pemeluk agama Hindu. Ya, konsep Lingga dan Yoni diajarkan dalam agama Hindu yang berasal dari India.

“Hal ini cukup menarik bagi kami, karena ada jejak peradaban Hindu di area kompleks masjid. Butuh pendalaman data lebih lanjut, agar terungkap asal usul dari Lingga Yoni, dan kaitan Lingga Yoni dengan Desa Rowo serta Masjid Tiban,”papar Arif.

Menurut kedua pecinta sejarah budaya itu, pendataan tersebut masih membutuhkan kerja sama dengan masyarakat luas dan akademisi serta Pemkab. Hal itu agar terkumpul kembali jejak data-data baru sehingga lebih terbuka tentang sejarah Masjid Tiban Nurul Huda Desa Rowo.

Paling tidak, dengan menelurusi sejarah lisan Masjid Tiban Nurul Huda di Desa Rowo ini semakin memperkuat bukti adanya interaksi budaya dan sinkretisme Hindu, Jawa dan Islam di Nusantara. Meski tentu saja ini masih perlu dikaji lebih mendalam.

Bukankah sejarah adalah peristiwa penting masa lalu yang bertalian dengan masa kini dan terbuka untuk selalu diperbaharui. Maka mempelajari sejarah, termasuk jejak Masjid Tiban Nurul Huda Desa Rowo sejatinya untuk memahami masa kini dan masa depan.

Semoga, rintisan Ki Arif dan Ki Hargo menelusuri Masjid Tiban Nurul Huda bermanfaat untuk melengkapi khasanah dan pernik sejarah lokal. Bahkan juga menyasar pada sejarah sosial budaya, sistem kepercayaan serta Islamisasi di Kebumen.

Komper Wardopo