blank
Manchester City. Ilustrasi

blank

Oleh: Amir Machmud NS

//mereka sedang membeli sejarah/ kuasa uang membentangkan jalan pintas / piala-piala menjadi muara/ wajah pun mungkin nomor dua/ tetapi akan kau temukan di sebuah lipatan / ada yang merasa tak cukup hanya menang/ kau tahu bukan?/ sepak bola adalah ideologi/ dan kanvas keindahan…// (Sajak “Manchester City”, 2021)

SIAPA PUN Anda, sah-sah saja menyebut klub-klub seperti Manchester City, Paris St Germain, Chelsea, atau dulu Olympique Marseille, dikemas untuk “membeli sejarah”. Gebyar klub bergantung pada kekuatan uang. Bukankah kita melihat “kegilaan” dalam membelanjakan kekayaan atas nama kesenangan, investasi, bahkan kampanye politik?

Sepak bola pun identik dengan jor-joran duit para taipan. Dan, inilah beda antara “tradisi” dengan “pragmatisme”. Tradisi lekat dengan brand seperti Liverpool, Manchester United, Barcelona, Real Madrid, AC Milan, Internazionale Milan, Juventus, Bayern Muenchen, atau Ajax Amsterdam.

Sedangkan sikap instan? Itulah pilihan shortcut untuk mendapatkan hasil lewat jalan pintas. Ideologi pragmatisme mengusung prinsip: “money talk”.

Semifinal Liga Champions 2020-2021 yang tiga hari lalu menyelesaikan leg pertama, menampilkan tiga tim berkategori “non-tradisi” yakni Chelsea, Manchester City, dan Paris St Germain. Satu tim lagi pemilik sejarah besar, Real Madrid. Dari konstelasi hasil leg pertama, bukan tidak mungkin final akan dikuasai oleh para “pembeli sejarah”.

Suka atau tidak suka, bukankah ini realitas? Lalu mengapa “klub tradisi” dan “klub karbit” didikotomikan?

Mantan pemilik Crystal Palace, Simon Jordan mengkritik PSG sebagai “klub buatan” yang tanpa sejarah. Dia menilai dari realitas pencapaian klub Liga Prancis itu dibandingkan dengan Manchester United, Barcerlona, dan Real Madrid sebagai klub besar Eropa. “Hanya indah dilihat dari luar, tetapi para pemainnya tidak bermain dengan hati,” tutur Simon, yang melihat dalam waktu dekat Les Parisien sulit berada di jajaran klub besar Eropa.

Pendapat itu tidak keliru, namun bahwa rivalitas elite membutuhkan topangan investasi besar, pada sisi lain juga merupakan realitas. Mampukah Barca, Madrid, Liverpool, Bayern Muenchen bertahan apabila tidak memperkuat investasinya dengan para pemain mahal?

Hanya mengandalkan pemain akademi? Barca, Madrid, MU, dan Liverpool membangun tim dengan konsep kombinasi. Selain memanfaatkan produk akademi juga merekrut bintang-bintang jadi. Mobilitas, manuver, dan komplikasi transfer antarklub menunjukkan betapa langkah instan juga tidak dihindari oleh klub-klub dengan tradisi sejarah besar.

*   *   *

PENILAIAN terhadap Chelsea, City, dan PSG sama dengan yang pernah terjadi pada era 1990-an, ketika pengusaha Bernard Tapie membuat proyek “dream team” Olympique Marseille. Dia merekrut Direktur Teknik Franz Beckenbauer. Para pemain bintang didatangkan, mulai dari Robert Prosinecki, Jean-Pierre Papin, Alen Boksic, Didier Deschamp, Abedi Pele, Chris Waddle, Klaus Allofs, hingga Basile Boli.

Marseille dua kali lolos ke final Liga Champions (ketika itu masih Piala Champions). Pada 1990-1991 kalah dari Red Star Belgrade, dan pada 1992-1993 mengalahkan AC Milan. Ambisi Tapie, yang berkampanye untuk menjadi Wali Kota Paris, tercapai. Namun belakangan terungkap Marseille terlibat pengaturan pertandingan, sehingga dilarang tampil di kompetisi Eropa. Mereka juga didegradasi di Ligue 1.

Proyek Marseille merupakan contoh politik “membeli sejarah” yang tidak memberi fondasi kuat pembinaan tim.

Chelsea pun dikritik punya mindset serupa ketika diambil alih Roman Abramovic pada 2003. Selain mendatangkan Jose Mourinho dari FC Porto, dia membeli sejumlah bintang. The Blues menjelma sebagai kekuatan Liga Primer. Sudah 16 trofi direngkuh, termasuk Liga Champions 2012 lewat Roberto Di Matteo, Liga Europa 2013 di bawah Rafael Benitez, dan 2019 bersama Maurizio Sarri.

Dengan perkiraan aset Rp 235 triliun, Abramovich leluasa membawa Chelsea ke percaturan klub elite dunia. Di bawah pelatih Thomas Tuchel, tinggal selangkah lagi Chelsea mengulang final 2008 dan 2012 apabila mampu menaklukkan Madrid pada leg kedua pekan ini.

Sekarang kita lihat beda antara PSG dan Manchester City.

PSG, di bawah Nasser Al-Khelaifi dari Qatar Investment Authority yang beraset Rp 132 triliun, musim lalu mencetak sejarah lolos ke final Liga Champions. Neymar Junior dkk hanya kalah dari raksasa Jerman, Bayern Muenchen.

Klub yang diarsiteki Mauricio Pochettino ini menguasai League 1 dengan para bintang sekelas Neymar, Kylian Mbappe, Angel di Maria, Mauro Iccardi, Keylor Navaz, juga Marco Veratti; namun dari sisi permainan, deret pelatih yang menukangi hingga era Pochettino sekarang belum menghasilkan “ideologi” yang khas PSG. Rasanya benar pendapat Simon Jordan bahwa para pemainnya “belum bermain dengan hati”.

Bedanya, The Citizens mendatangkan Pep Guardiola pada 2016 untuk sebuah proyek revolusi. Seperti ketika mengarsiteki Barcelona (2008-2012), dan Bayern Muenchen (2013-2016), pria Spanyol itu benar-benar mentransformasikan ideologi sepak bolanya.

City disulap menjadi tim ofensif dengan ball possession tinggi. Belum seelok tiki-taka Barcelona, namun Manchester Biru memberi wajah berbeda di Liga Primer. Bagi Pep, kemenangan harus didapat dengan permainan indah.

Maka simaklah aksi-aksi Phil Foden, Ryad Mahrez, Raheem Sterling, Kevin de Bruyne, Bernardo Silva, Ferran Torres yang terus bergerak, menguasai bola dengan umpan-umpan pendek, mem-pressure lawan dengan kecepatan dan presisi tiktak yang elok.

Sheikh Mansour tak sekadar membelanjakan uang dari kekayaan Rp 429,5 triliun untuk The City Football Group-nya. Pria flamboyan Abu Dhabi ini memilih menikmati sepak bola sebagai seni yang menghibur.

Dia telah menderetkan pelatih seperti Roberto Manchini dan Manuel Pellegrini yang juga membawa City berprestasi, akan tetapi pada akhirnya dia memilih Pep demi target revolusi menguasai Eropa. Produk sentuhan Pep setimpal dengan kucuran dana, yang pada masa depan pasti akan terus meningkat seiring dengan kebutuhan ekspresi ideologi permainan City.

Perahan-lahan, City bergerak ke maqam elite sepak bola. Boleh jadi ada pragmatisme di sana, namun suguhan panggung sepak bola Pep jelas menjadi pembeda.

Dan, Sheikh Mansour tidak sedang hanya “membeli sejarah”…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng