blank
Ilustrasi

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Seorang anggota Kabinet Kerja, – cukup awet beliau sebagai menteri – , di status WhatsApp-nya beliau menulis Empan Papan; dan dalam kesehariannya, memang tampak betapa beliau bersikap sangat hati-hati, ora grusa-grusu, berbicara bila diperlukan saja, ora ngumbar omongan.

Di ujung sana, – berkebalikan, sebutlah begitu – , seorang mantan menteri (bukan di Kabinet Kerja) “ketrucut” omongannya dan memang sangat tidak pas kelakarnya.

Di tengah semua pihak sedang prihatin atas nasib KRI Nanggala 402, ia menganalogikannya dengan kasus korupsi seseorang yang konon dikategorikan “orangnya hilang.”

Meskipun mantan menteri ini lalu gedabigan polahe dalam rangka mau “meluruskan” komentarnya itu; khalayak sudah telanjur menengarai betapa ia memang (sering??) ora utawa kurang empan papan.

Bacalah empan sebagaimana Anda mengatakan “Istriku membeli empal empat kilogram,” atau bisa juga Anda berkata: “Maafkan sesama kita sebanyak enam belas kali enam kali.”

Kata empan ini mengandung tiga makna/arti; yaitu pakan (sesuatu yang dipasang  di ujung kail ketika memancing); bias murup, artinya sesuatu yang mudah terbakar, seperti daun kering, kertas koran; dan cak-cakane, yakni implementasi dari sesuatu.

Misal, sebuah Rukun Tetangga (RT) membuat aturan RT  sebagaimana sering tertulis: “2 x 24 jam, Lapor RT.”. Nah…aturan semacam itu cak-cakane piye, apakah benar-benar ditaati oleh warga RT, ataukah sekedar tulisan belaka meskipun dipasang di berbagai tempat strategis. “Empan apa ora peraturan RT itu?

Empan papan sangat sering dimaknai sebagai perilaku dan pola piker yang sangat mengedepankan sikap rendah hati dengan rambu-rambu tahu porsi diri, tahu posisi diri dan, tahu kondisi.

Meskipun maksud hati sekedar mau melucu misalnya, tetapi karena kondisi prihatinbetul- betul sedang menyelimuti sanubari siapa pun, menganalogikan nasib KRI Nanggala 402 dengan “hilangnya” seseorang berikut kasusnya, memang wajar jika ada komentar: “Wong kok ora nganggo empan papan.

Kurang Peka

Artinya, saat ini, ia dilihat orang kurang peka melihat kondisi kebatinan masyarakat saat ini. Sangat boleh jadi, komentar orang serta merta mremen-mremen, misalnya, kok tidak tahu/sadar posisi dirinya, berikut porsi dirinya (“Sampeyan kuwi sapa, saiki?”). Sekali lagi, itulah makna empan papan sebagaimana secara umum dimengerti dan dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.

Ada kandungan makna lain  atas empan papan ini. Bausastra Jawi menjelaskan empan papan sebagai “dirembug dhisik sapa utama apa kang bakal diajak mutusake rembug.

Baca Juga: Terbitlah Terang bagi “Ingkang Meleng Puja”

Artinya, ada ajaran dan ajakan moral kepada siapa pun, agar ketika akan memutuskan sesuatu sebaiknya berembug dulu, sebutlah minimal konsultasi, kepada orang lain terlebih dahulu.

Empan papan mengajarkan betapa diri kita ini selalu membutuhkan orang lain, apalagi dalam hal penting seperti mau mengambil suatu keputusan (penting), hendaklah minta nasihat orang/pihak lain.

Empan papan juga mengajarkan “dadi wong kuwi aja dumeh,” jangan bersikap mentang-mentang. Kalau pun Anda memang pinter, janganlah mentang-mentang,  – mbok aja dumeh – .  Sekali pun Anda itu (sedang) kaya raya, mbok ya kalau melihat orang miskin atau sengsara tunjukkanlah empatimu atau sekurang-kurangnya bersikap simpatik.

Misalnya Anda saat ini sedang pegang jabatan/posisi penting di negeri ini, aja dumeh-lah ketika mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak. Begitu seterusnya contoh dapat diperpanjang, namun intinya, empan papan mengajarkan  “Ayo, kabeh kudu dirembug kanthi becik apa lan sapane.”

Jadi, nganggo empan papan dalam bersikap dan berpikir, akan menjauhkan diri kita dari perilaku mentang-mentang.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)