blank
Jesse Lingard. Foto: Ist
  • blankOleh: Amir Machmud NS

// tak percayakah kau tentang cakra kehidupan?/ : bentangan jalan nasib manusia/ dengan episode-episode tak ternyana/ maka kita sering bertamsil tentang roda/ ada saatnya di atas/ ada pula saat di bawah/ di antara itu tersisa ruang/ untuk dikelola sebagai impian/ dan pasti tak seorang pun mengingini/ cakramu berputar di bawah…// (Sajak “Cakra Manggilingan”, 2021)

INI bukan hanya soal Jesse Lingard. Contoh pusaran kehidupan itu dialami oleh banyak manusia, termasuk pemain bola. Bukankah kau menyimak perjalanan nasib Eden Hazard? Bintang yang dulu secemerlang itu, kini lebih banyak berkutat dengan derita cedera, padahal dia pernah didaulat sebagai kandidat Pangeran Madrid saat ingar-bingar kedatangannya dari Chelsea.

Tentu kau ingat pula kisah Philippe Coutinho. “Penyihir Kecil” yang moncer bersama Liverpool itu tergoda iming-iming gaji tinggi Barcelona. Akan tetapi apa yang didapat pemain asal Brazil itu? Entah lantaran skema taktik atau karakter permainannya, dia tak kunjung “nyetel” dengan Lionel Messi dan Luis Suarez. Potensinya meredup, dan dia pun dipinjamkan ke Bayern Muenchen.

Cou sempat menemukan performa asli di Bundesliga, akan tetapi ketika balik ke Camp Nou, dia menyandang lagi status sebagai “pesakitan”. Dia jarang masuk dalam skema pelatih Ronald Koeman, bahkan untuk sekadar menghuni bangku cadangan.

Atau catatlah juga “pelampiasan” Romelu Lukaku, striker Internazionale Milan yang kini menjadi “raja” dengan gol-gol menentukan di San Siro. Sebelumnya, penyerang gempal asal Belgia itu menjadi sosok terpinggirkan di Manchester United.

MU pula yang menyandingkan kisah serupa pada Jesse Lingard. Pemain yang pernah digadang-gadang sebagai calon bintang penuh visi itu, perlahan tapi pasti tersisih dari persaingan skuad Ole Gunnar Solskjaer sejak musim 2019-2020. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Setelah dipinjamkan ke West Ham United, The Lord Lingard malah melejit menjadi pahlawan yang mengantar The Hammers masuk ke percaturan empat besar Liga Primer.

Lingard betul-betul menjadi Lord yang menguasai Stadion London. Pelatih Timnas Tiga Singa, Gareth Southgate pun tak ragu-ragu kembali memanggilnya.

Yang luar biasa, menjelang bursa transfer musim panas ini, pemain berusia 28 itu masuk dalam radar rekrutmen klub-klub raksasa: Paris St Germain, Real Madrid, dan Internazionale Milan. West Ham berniat mempermanenkan statusnya, sedangkan MU membanderolnya dengan harga mendekati Rp 1 triliun!

Lingard membuktikan peran pentingnya untuk West Ham dengan torehan delapan gol dan empat assist dari sembilan laga. Catatan ini menyamai raihannya pada musim 2017-2018 dalam 33 pertandingan bersama MU.

Pujian Derclan Rice di akun twitter, menggambarkan Lingard sejatinya punya potensi. “Tak terhentikan,” tulis Rice yang merupakan rekan dekat Lingard.

*   *   *

APA yang sebenarnya terjadi dengan anak ini?

Rene Meulensteen, mantan asisten pelatih MU menilai Lingard punya kualitas seperti legenda Spanyol Andres Iniesta. Alumni Akademi MU itu hanya membutuhkan fokus dan pemulihan kepercayaan diri.

Ketika dipromosikan oleh Louis van Gaal bersama Marcus Rashford dari tim junior, Lingard memang pernah memberi ekspektasi tinggi kepada fans Red Devils. Beberapa aksi dalam momen penting MU dia catat, tetapi dalam perkembangannya Lingard dipandang sebagai pemain yang bertipe “PHP” atau pemberi harapan palsu. Tampak cemerlang, tapi tidak paralel dengan unjuk performanya.

Di era Jose Mourinho yang berlanjut ke era Solskjaer dia benar-benar menjadi sosok yang termarginalkan. Solksjaer masih memberinya kesempatan sebagai starter, tetapi setiap kali pula tak sampai 90 menit sudah ditarik keluar. Banyak yang mengkritik, mengapa pemain yang inkonsisten itu tetap diberi kepercayaan?

Dimitar Berbatov dan Michael Owen sempat menyarankan agar Lingard mencari pelabuhan baru, bisa jadi di klub yang selevel di bawah Manchester Merah. Dan, pandangan dua legenda MU itu terbukti tepat. Sebagai pemain pinjaman di West Ham, dia kembali menemukan kepercayaan diri dan aura kegembiraan bermain di bawah pelatih David Moyes.

Fans MU tidak bereaksi ketika dia dipinjamkan ke West Ham, dan itu membuktikan Jesse Lingard sudah tidak lagi “dianggap” di Old Trafford. Bahkan saat dia membuktikan diri “masih ada”, manajemen Setan Merah juga tidak terkesan tergerak menariknya kembali. Pada saat yang sama, The Lord makin bergairah menemukan kembali nasib sepak bolanya.

Apakah dia memang menyia-nyiakan kepercayaan Solskjaer? Atau ada faktor keterpurukan moral karena harus bersaing dengan Bruno Fernandes? Sejak didatangkan pertengahan musim silam, gelandang asal Portugal itu total mengambil alih peran Lingard, yang rasanya sulit mendapatkan kembali tempatnya tanpa jaminan “performa yang berbeda”.

“Kemampuan pembeda” itu rupanya sudah didapatkan lagi di West Ham United. Tentu Lingard harus mengambil keputusan tepat, kembali ke Old Trafford, atau menerima pinangan salah satu klub besar yang meminati. Atau dia memilih bertahan di West Ham, habitat tepat untuk benar-benar menjadi “tuan”. Tentu apabila tercapai kesepakatan dalam negosiasi harga dengan MU.

Jatuh-bangun Jesse Lingard menggambarkan, betapa pusaran hidup dalam falfasah Cakra Manggilingan betul-betul berlangsung dalam perjalanan sepak bola anak muda ini…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah