blank
Ilustrasi, kabar24
blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Menyusul persetujuan DPR-RI atasusul Presiden (Pemerintah) tentang penggabungan Kemendikbud dan Kemenristek, serta akan adanya kementerian baru yakni Kementerian Investasi; yang pasti ramai diwacanakan sekarang ialah reshuffle kabinet.

Siapa pun selalu bilang reshuffle itu hak prerogative Presiden; tetapi nyatanya ada saja, – entah “lembaga” entah pula organisasi, bahkan dapat juga perorangan – ,mulai (maaf) kasak-kusuk tentang figur yang “sebaiknya dicopot” lalu mengusulkan nama-nama baru.

Cara yang ditempuh pun bermacam-macam, ada yang (sebentar lagi kali) menggunakan survey atau mungkin juga polling; ada juga yang menempuhnya lewat orang yang dipandang dekat dengan Presiden; dan entah lewat apa lagi.

Berbagai cara untuk “memengaruhi” semacam itu, dalam idiom sangat bagus oleh nenek moyang Jawa kita, yaitu Nyawat ambalang wohe. Hendaknya kata wohe Anda baca sepeti mengucapkan oke, dan kata wohe berasal dari woh yang artinya buah.

Arti lurus dari nyawat ambalang wohe, ialah melempari buah; tentu dengan harapan ada yang kena dan buah itu jatuh, lalu untuk berebut orang-orang yang sudah menunggu di bawah pohon. Nyawat itu artinya melemparkan (batu misalnya), tetapi juga dapat berarti melempari.

Contohnya, nyawat pelem, artinya seseorang melemparkan sesuatu ke arah buah mangga. Nyawat dan mbalang itu searti, meski ada nuansa “sedikit” berbeda, karena mbalang itu dapat berupa nyawat berulangkali. Tegasnya, kalau nyawat itu hanya sekali saja melemparkan/melempari sesuatu; sedang mbalang itu beberapa kali.

Idiom nyawat ambalang wohe bermakna duwe pengarah nganggo jaluk tulung sedulure sing diarah; dan contoh hiruk-pikuknya orang membahas reshuffle tadi sangatlah pas. Maksudnya, siapa pun punya keinginan tertentu (pengarah) terkait dengan reshuffle ini; padahal sudah sangat jelas hak prerogatifnya ada pada diri Presiden.

Orang tidak kehilangan akal, maka mulailah dekat-dekat dan jaluk tulung sedulure sing diarah (presiden). Dalam konteks bernegara, arti sedulure itu menjadi sangat luas.

Punya Keinginan Tertentu

Jadi intinya, apa pun bentuk kasak-kusuk yang dilontarkan, orang yang melemparkan isu itu pasti punya keinginan tertentu. Tidak mungkin tidak ada keinginan tertentu; bahkan semakin gencar balangi (ora mung nyawat), nah…akan kelihatanlah keinginannya.

Ada sejumlah nama anggota kabinet yang telah “disawat” malah ada satu atau dua nama yang telah “dibalangi,” dan kalau saya dimintai pendapat terkait orang-orang yang suka nyawat atau balangi seperti itu, jawabaan saya singkat saja: “Kamu mau seandainya disawat apalagi dibalangi semacam itu?” Jambu kale….

Segagal apa pun seorang anggota kabinet dalam pekerjaannya – padahal tidak ada yang gagal kan? – rasanya tidaklah etis kalau namanya disebut-sebut untuk diusulkan diresuffle oleh Presiden.
Anda yang kenceng misalnya, menyebut nama “si Badu gagal” sebagai menteri, belum tentu Anda hebat dan pasti akan berhasil ketika dipasrahi tanggung jawab itu. Jadi intinya, hindari menyebut nama seseorang, cukup kriterianya saja.

Nyawat ambalang wohe sebenarnya juga mengandung sindiran bagi orang yang suka curi-curi atau ‘nglimpe’, yakni menunggu si empunya tidak lihat atau tidak ada, baru beraksi. Culaskah orang semacam ini?

Entahlah, tetapi yang jelas patut diperntanyakan bila memang melakukannya secara nglimpe: Mengapa begitu? Mengapa tidak berani berterus terang?

Lagi-lagi, isu reshuffle pasti akan terasa makin ramai. Mari kita ramaikan secara terbuka, jujur; dan tidak perlu ditempuh model nyawati apalagi balangi. Bukankah ini menyangkut kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesatria saja cara yang terbaik untuk dilakukannya.

Selamat bersiap-siap menjadi menteri bagi mereka yang jan…kepingin banget! Siapkan baju putih sebanyaknya.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)