blank

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// untuk siapakah sepak bola?/ ketika kelengangan lebih berkuasa/ ketika senyap lebih terasa/ ketika tanpa sorak membahana/ lalu serasa hanya hasil/ yang diperjuangkan 22 orang/ bersikutat tanpa iringan tepuk tangan/ dan di bangku cadangan/ para pemain menunggu/ dengan masker yang getir mengurung//

(Sajak “Sepak Bola dalam Pandemi”, 2021)

FOR who?
Untuk siapakah sepak bola?
Hanya untuk kepuasan bermain-main para pemilik klub-kah?
Hanya untuk eksperimen taktik para pelatih?
Agar para pemain tak kehilangan relasi hangat dengan si kulit bundar?
Agar sponsor-sponsor tak sama sekali kehilangan ruang promosi?
Agar publik tetap punya referensi gol-gol indah, momen-momen hebat?

Masa-masa pandemi covid-19 yang sudah berlangsung setahun lebih, membentuk sepak bola menjadi seperti atmosfernya sekarang. Rasanya seperti bukan sepak bola dengan segala ingar bingar yang kukenal selama ini.

Sesunyi itu, selengang itu. Keanehan, yang menurutku terintensi sebagai kondisi yang tidak bisa dihindari.

Bukankah sesekali masih muncul luap kegembiraan dan saling memeluk ketika gol tercipta?

Bukankah sesekali pelatih dan tim teknisnya saling “bersulang” lewat tos telapak tangan?

Bulankah sesekali host tayangan langsung di televisi masih berteriak meletupkan ekspresi mengomentari gol-gol dan adegan menakjubkan?

Tetapi Anda simaklah, luap kegembiraan itu terbatasi oleh ritus protokol kesehatan yang mencegah kerumunan. Dan, batas itu bisa terasakan dari gestur “menjaga jarak”.

Tetapi Anda lihatlah, di bench, para pelatih yang memakai masker tak kuasa memberi tuntas instruksi-instruksi.

Tetapi Anda amatilah, suara para host televisi itu seperti terbatasi oleh sikap “tahu diri” betapa dunia sedang dirundung pandemi.

*   *   *

LIGA-LIGA Eropa yang sedemikian kapitalistis, tampaknya sudah membiasakan diri dengan atmosfer perilaku yang berubah secara ekstrem. Final Liga Champions musim lalu juga mengetengahkan laga yang jauh dari seru, kalau aspeknya adalah pancaran ekosistem sebuah pertandingan puncak.

Bayern Muenchen dan Paris St Germain tetap gagah dengan para jagoannya, namun rasa-rasanya itu bukan laga yang paripurna.

Kau lihat pula, tentu, laga-laga kualifikasi Piala Dunia di berbagai zona, hari-hari ini. Tetap ada ketegangan, sikap-sikap ngotot, dibumbui pula oleh drama-drama. Ada “gol hantu” Cristiano Ronaldo ke gawang Serbia yang tidak disahkan oleh wasit; ada Jerman kalah dari tim medioker Makedonia Utara. Masih ada pula kartu merah-kartu merah dan ekspresi emosional lainnya.

Artinya, sepak bola tetaplah menggetarkan.

Skor-skor besar juga tercatat, yang mewartakan ketidakseimbangan kekuatan dua tim. Atau boleh jadi angka-angka njomplang itu merupakan bagian dari efek kesenyapan sepak bola pada masa-masa yang betul-betul berbeda.

Potret sepak bola pada masa pandemi ini merupakan pantulan wajah kehidupan yang berubah secara total, dan harus beradaptasi dengan bentuk masing-masing. Namun, bahwa the greatest show on earth ini tetap bisa dijalankan dengan protokol yang menepikan sebagian besar kehebohannya, bagaimanapun masih patut disyukuri.

Jadi, bukankah kita tidak sepenuhnya kehilangan sepak bola?

Manusia tidak sama sekali dijauhkan dari imajinasi permainan ini, meskipun ada sesuatu yang terasa menguap, dan aku tak pernah ragu untuk menjawab, “Sepak bola masih ada”.

Secara filosofis, historis, dan perkembangannya, sepak bola berjalan beriring dengan dinamika kehidupan manusia. Terdapat kebergantungan: kita butuh sepak bola, dan olahraga ini memberi warna, seperti dalam ungkapan sangar sesepuh Liverpool Bill Shankly, “lebih dari sekadar hidup dan mati”.

Lalu untuk siapa sepak bola?

Untuk kita, manusia-manusia yang sudah kadung tumbuh, berkembang, dan mengikat diri menjadi elemen ekosistem dan budayanya…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng