blank

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// di balik bundar bola/ tersimpan rasa tak terhingga/ memukim langkah yang terhambat/ membentang jalan yang tersumbat/ mengadang batas yang belum terkuak/ membentur tradisi-tradisi/ terkadang reputasi tak menuntaskan/ dan, rasa penasaran pun terus bertahan//
(Sajak “Di Balik Bundar Bola”, 2021)

SELALU tersaji laga akbar sebelum tiba pertandingan puncak. Media sering menyebutnya sebagai “final kepagian”, lalu terpaparlah realitas bakal ada tim favorit layak juara yang harus tersisih “sebelum waktunya”.

Seperti itulah hakikat kompetisi. Ada percampuran antara sistem yang telah disepakati, dengan faktor nasib yang seolah-olah harus dihadapi oleh kontestan tertentu. Dan, itu merupakan kenyataan, yang hasilnya harus diterima sebagai produk objektif kompetisi. Demikianlah antara lain sportmanship membentangkan maknanya.

Tak pelak lagi, laga besar yang akan tersaji dalam perempatfinal Liga Champions 2021-2021 pada pekan pertama April adalah Real Madrid versus Liverpool. Tentu kita tandai pula ulangan final musim lalu, Bayern Muenchen vs Paris St Germain.

Dari konstelasi “8 besar” itu, yang diam-diam menyita perhatian khusus dalam sisa kompetisi yang terus mengerucut adalah, perpacuan antara PSG dan Manchester City. Kedua klub terkondisi untuk menjawab rasa penasaran mereka selama ini.

Sama-sama mendapat dana jor-joran dari sang pemilik, dua klub tersebut belum mampu mewujudkan mimpi meraih kejayaan Eropa. PSG yang mayoritas sahamnya dikantungi oleh taipan Nasser Al-Khelaifi dari Qatar Sports Investments, mampu menembus partai pamungkas pada 2019-2020. Namun Neymar Junior dkk takluk 0-1 dari Bayern Muenchen yang punya tradisi Eropa lebih kuat. Secara materi lini per lini, PSG tak di bawah lawan. Hanya faktor jam terbang (tradisi) yang terkadang menjadi pembeda.

Sementara itu, Manchester City meraih hasil terbaik sebagai semifinalis pada 2015-2016, di era kepelatihan Manuel Pellegrini. Sama seperti PSG, City juga bermodal anggaran tak terbatas dari Sheikh Mansour Suleyman Al-Nahyan dari Dubai. Apabila The Citizens ingin menyamai capaian tim Pellegrini, harus mampu melewati Borussia Dortmund.

Perempatfinal lainnya mempertemukan FC Porto vs Chelsea, yang sama-sama punya sejarah juara. Di balik perhatian bola mania pada partai-partai big match, laga yang tidak terlalu menyita perhatian ini bukan tidak mungkin malah diam-diam bakal menjadi rute calon juara.

* * *

RASA penasaran PSG dan City, selain merupakan ungkapan geregetan investornya, juga menjadi pertaruhan reputasi kedua arsitek. Mauricio Pochettino, yang pernah mengantar Tottenham Hotspur melaju ke final 2018-2019 (kalah dari Liverpool), kini punya peluang untuk menebus kekecewaan lewat “mainan barunya”. Hanya, sebelum berpikir tentang final, pelatih asal Argentina itu harus mampu melewati Bayern yang merupakan klub paling stabil di Eropa saat ini.

Pep Guardiola tak kalah penasaran. Sejauh ini, bersama City dia bahkan belum berhasil menembus semifinal. Padahal dia punya reputasi hebat bersama Barcelona, dua kali meraih trofi Liga Champions pada 2008-2009 dan 2010-2011. Ketika menukangi Bayern Muenchen, hanya gelar-gelar lokal yang dia persembahkan, sama dengan pencapaiannya di Etihad.

Seperti Pochettino, untuk berbicara tentang gelar, Pep harus melewati tantangan Borussia Dortmund di perempatfinal. Die Borussen juga bukan lawan enteng. Sebagai kekuatan penting Bundesliga, tim asuhan Edin Terzic — yang menggantikan Lucien Favre — ini, memiliki keseimbangan materi pemain kelas satu.

Klub yang sering menjadi sandungan Bayern Muenchen ini terkenal sebagai “kawah candradimuka”-nya calon-calon bintang besar. Kita mengenal antara lain Mario Goetze, Matts Hummels, Robert Lewandowski, dan Shinji Kagawa, sebagai alumni Dortmund.

Kini, nama-nama Erling Burt Haaland, Jadon Sancho, Thomas Meunier, Marco Reus, atau Emre Can, merupakan sebagian dari jaminan soliditas juara 1996-1997 dan finalis 2012-2013 itu. Tradisi Dortmund di pentas ini jauh lebih baik ketimbang City.

Artinya, Pep Guardiola mesti fokus terlebih dahulu meladeni Dortmund sebelum memikirkan penuntasan rasa penasarannya. Setelah itu baru memikirkan menyamai capaian Pellegrini, lalu melewatinya, kemudian “menyelesaian urusan” kegagalan meraih trofi Eropa pasca-kesuksesan bersama Barca.

Pelatih Everton Carlo Ancelotti menyebut, dengan kekuatan di semua lini dan variasi taktiknya, City merupakan klub terbaik dunia saat ini. Penilaian ini menggambarkan realitas performa Pasukan Etihad, yang selain di Liga Champions, juga masih bertahan sebagai calon juara Liga Primer, Piala FA, dan Piala Liga.

Pada bagian lain, laga Liverpool kontra Real Madrid menyajikan gengsi kecerdasan Juergen Klopp vs Zinedine Zidane. Kedua klub sama-sama sedang mencari pelampiasan terhadap performa di panggung liga. Madrid masih lebih baik, bersaing di urutan ketiga klasemen La Liga, ketimbang Liverpool yang tertatih-tatih mengamankan zona Liga Champions.

Pertarungan di era kesenyapan sepak bola lantaran beradaptasi dengan protokol kesehatan pandemi covid-19 ini, rasa-rasanya tetap menghadirkan atmosfer panas. Ada target-target, pertaruhan reputasi, ikhtiar mendobrak rasa penasaran, hingga menaklukkan rekor dan sejarah…