blank
Amir Machmud NS dan Uchik Fuadhiay berbincang tentang buku puisi mereka dipandu Aditya Armitrianto. Foto: Widiyartono R.

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Tak banyak yang tahu bahwa tanggal 21 Maret kemarin adlah Hari Puisi Sedunia. Maka Dewan Kesenian Semarang (DeKaSe) bekerja sama dengan Guyub TBRS menggelar acara peringatan itu di Sekretariat DeKaSe Kompleks Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Minggu malam (21/3/2021).

Aditya Arminiyanto sebagai panitia mengatakan, acara ini juga didukung tiga penyair dari Malaysia Api Husein, Sarina Aziz, dan Sydrah M yang mengirim video pembacaan puisi mereka untuk ditayangkan dalam acara tersebut.

Sedangkan penyair Semarang yang hadir adalah Amir Machmud NS yang juga Ketua PWI Jateng, Bhaktamurti, Bintang Al Huda, Budi Maryono ‘Bapak Nakal’, Widyo Babahe Leksono, pembaca puisi cilik Kirana Wiryamanta, Uchik Fuadhiyah, Aditya Armitrianto, dan banyak yang lain.

blank
Yang juga tampil malam tadi, Widyo Babahe Leksono, Budi Maryono, dan Widiyartono R. Foto: Dok wied

Hadir juga pemain musik Latree Manohara yang menyanyikan memusikalisasi puisi bersama putrinya, Ibit. Ada juga yang dibajak secara mendadak oleh Widyo Babahe untuk membaca puisi seperti Widiyartono R dan Azhar.

Percakapan dengan Candi

blank
Amir Machmud NS sedang membaca puisinya. Foto: Widiyartono R

Dalam acara tersebut juga berlangsung perbincangan tentang puisi bersama Amir Machmud NS dan Uchik Fuadhiyah yang dipandu Aditya Armitrianto. Amir Machmud NS selain membaca puisi, juga berbicara tentang antologi terbarunya, Percakapan dengan Candi.

Ketika Aditya bertanya, “Kenapa Candi?”, Amir Machmud menjawab, “Karena candi itu candu. Saya kutip ungkapan ini dari pernyataan Ramon Damora, penyair asal Riau yang memberikan endorsement di buku saya.”

Ide mengumpulkan puisi bertema candi ini, kata Amir Machmud, sejak tahun 2007. “Saat itu saya berkunjung ke Siem Reap Kamboja, saya mengunjungi candi-candi di antaranya Angkor Wat. Sejak saat itu saya terpikir untuk mengumpulkan puisi-puisi bertema candi,” kata Amir.

Amir menyebut, belum banyak penyair yang memberi perhatian khusus pada candi. Ad beberapa penyair yang mengumpulkan puisi-puisinya tentang candi dalam sebuah buku. “Tetapi yang secara khusus seorang penyair menulis satu buku puisi tentang candi agaknya belum ada,” kata Pemimpin Umum suarabaru.id ini.

Sejak muncul idepada tahun 2007 itu, Air kemudian mengumpulkan puisi-puisi tentang candi, dan akhirnya terkumpul 53 judul, yang terangkum dalam Perbincangan dengan Candi itu. Sebelum buku ini terbit, dia sudah menerbitkan kumpulan puisi Tembang Kegelisahan.

“Saya sudah menyiapkan antologi berikutnya tentang candi yang akan saya beri judul Ziarah Candid an kelanjutlan Tembang Kegelisahan dengan judul Api dari Kuburku,” kata Amir.

Dalam kesempatan itu Amir Machmud membaca puisinya berjudul Candi Sewu dan Percakapan Hati Pramodya Wardani. Puisi yang terakhir ini berkisah tentang Pramodya Wardani yang dinikahi Rakai Pikatan, meskipun mereka beda keyakinan. Satu Hindu yang lain Budha.

“Ini tentang kisah cinta beda agama. Pramodya tidak berpikir tentang apakah ini perkawinan politik atau yang lain, tetapi dia hanya merasakan bahwa perkawinan itu adalah wujud cinta yang tulus dari dalam hatinya,” kata Amir.

Gendari Marang Dhestrarastra

blank
Penyair dan dosen Unnes Uchik Fuadhiyah dalam perbincangan tentang puisi dan geguritannya. Foto: widiyartono R

Sedangkan Uchik Fuadhiyah menceritakan bagaimana dia berkarya. Uchik yang dosen program studi Bahasa Jawa di Fakultas bahasa dan Seni Unnes ini memang banyak menulis geguritan atau puisi Jawa. “Tetapi saya juga menulis puisi dengan bahasa Indonesia. Ya, mana yang muncul duluan, kalau yang muncul saat mood bahasa Jawa jadilah geguritan. Kalau yang muncul bahasa Indonesia ya jadilah puisi,” kataUchik.

Mulanya, secara tak sengaja dia bongkar-bongkar file di laptop. “Saat ini kan banyak mengajar secara daring, jadi banyak waktu untuk berhadapan dengan laptop. Ternyata saat membongkar folder-folder saya temuka ada puisi, geguritan, cerpen, dan drama. Maka saya kumpulkanlah itu dan menjadi buku,” kata dia.

Buku geguritannya berjudul Gendari Marang Dhestrarastra yang disertai pengantar oleh George Quinn, pemerhati bahasa dan sastra Jawa dari Australia. “Tidak usah ditanya kenapa saya memilih itu, saya tidak akan menjawab. Baca saja buku saya,” kata Uchik.

blank
Latree Manohara dan putrinya Ibit, bermusikalisasi puisi. Foto: widiyartono R.

Bila ada yang menanyakan, mana yang dipilih antara geguritan atau puisi, Uchik mengatakn kedua-duanya dia menikmati. Dia kini juga sedang mempersiapkan kumpulan puisi berjudul Suara Sibuk kepada yang Mahasesuatu.

Dan, Uchik pun bersedia membacakan sebuah puisi yang akan dimasukkan daam kumpulan terbarunya itu. “Sebagian dari buku ini adalah kisa-kisah selama masa pandemi,” kata Uchik.

Cukup banyak penampil malam tadi, sehingga acara berakhir tengah malam. Sebuah kegiatan Dewan Kesenian Semarang yang direncanakan akan rutin setiap bulan.

Widiyartono R.