blank
Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (Perdahukki) Cabang Jawa Tengah, dr. Hansen, SKed, dr, SH, MH. Foto: Dok/ist

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Rumah Sakit Hermina dan Rumah Sakit Telogorejo Kota Semarang sempat menjadi terlapor atas dugaan malapraktik yang menyebabkan pasien meninggal dunia dan berbuntut laporan di Polda Jateng.

Apakah benar tindakan seorang dokter yang mengakibatkan cacat atau kematian adalah bentuk tindakan malapraktik.

Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Hukum Kesehatan dan Kedokteran Indonesia (Perdahukki) Cabang Jawa Tengah, dr. Hansen, SKed, dr, SH, MH, menjelaskan, Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) dapat terjadi karena adanya peristiwa yang diakibatkan suatu kelalaian medis dan suatu resiko medis.

“Resiko medis dibagi dalam dua kelompok. Pertama resiko medis yang dapat diduga (foreseen). Contoh faktor komorbid antara lain HT, hiperglikemia, hipoglikemia, kelainan kongenital yang telah diketahui sebelumnya,” kata dr Hansen di Semarang, Minggu (14/3/2021).

Kedua, resiko medis yang tidak dapat diduga (Unforeseen), namun tetap dapat diupayakan dengan kehati-hatian sebagai upaya penyelamatan. Ia mencontohkan, alergi obat-obatan tertentu yang tidak diketahui sebelumnya, atau memberikan obat-obatan tertentu yang diketahui bahwa obat yang diberikan sudah sesuai jenis dan takaran dosisnya, namun ketika isinya masuk faktanya berbeda.

“Berdasarkan fakta yang ditemukan isi yang masuk berbeda, bisa diduga karena faktor lemah atau kurang ketelitian dan kehati-hatiannya QC saat memproduksi. Kejadian ini juga pernah terjadi terhadap produsen obat X,” ungkap dr. Hansen yang juga anggota IDI Jawa Tengah itu.

Untuk menanggulangi masalah itu, menurut dr Hansen, perlu mengetahui informed yang artinya diinformasikan, dan consent yang artinya menyetujui. Langkah itu merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien yang cakap hukum.

“Informed Consent akan menjadi suatu bentuk perjanjian dalam dunia kedokteran (perjanjian terapeutik), yang pada prinsipnya mengikuti ketentuan yang ada dalam perjanjian pada umumnya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata,” jelasnya.

Menurut founder Kantor Hukum Cs & Partners itu, bahwa semua masalah bertujuan memberikan upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan guna penyembuhan.

Hal itu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, sebagai bentuk perikatan upaya penyembuhan, bukan perikatan untuk memberikan jaminan kesembuhan.

“Memang tidak semua tindakan medis berisiko tinggi memerlukan Informed Consent. Khususnya dalam kondisi yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kecacatan, maka Informed Consent dapat diabaikan,” sambungnya.

Dirinya meminta dokter maupun rumah sakit memberikan informasi detail dan jelas serta memiliki dasar dan dipahami oleh pasien atau keluarganya. Baik itu secara penjelasan lisan maupun melalui dokumentasi di Rekam Medis sebagai syarat sahnya suatu perjanjian dan Rekam Medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti di persidangan.

“Ingat selalu ketentuan Pasal 6 PMK Nomor 290 Tahun 2008, tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,” tandasnya.

Ning