blank
Banjir nyaris menenggelamkan sebuah sekolah. Ilustrasi

Oleh: Amir Machmud NS

blank
Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS. Foto: wied

SETIAP tahun, banjir selalu mengapungkan narasi-narasi politik para pemimpin. Ada yang bernas dan logis, ada yang bernada panik dan menyalahkan pihak lain, ada pula yang beraroma justifikatif.

Politisasi banjir seolah-olah menjadi ritus rutin yang selalu memberi celah eksploitasi. Ada gubernur yang menjadi bulan-bulanan bullying, ada pejabat yang tidak realistis dengan memberi penjelasan bermuatan permisivitas yang membohongi publik, juga ada ekspresi-ekspresi sikap tidak relevan, serta pertarungan pembentukan opini publik secara brutal oleh para buzzer.

Kecerdasan publik akan mudah memilah, siapa pemimpin yang sungguh-sungguh digelisahkan oleh penderitaan rakyat. Mana pula yang cenderung bersikap sekadar formal. Juga mereka yang tidak menunjukkan sikap berpihak dengan pikiran-pikiran alternatif di tengah kondisi darurat.

Gagasan tentang momentum bencana alam yang dimanfaatkan sebagai medan pencitraan, tak kurang pula disampaikan oleh para pengamat. Pada sisi lain, ketika hal itu membawa manfaat langsung yang dirasakan oleh warga masyarakat, apa salahnya?

Yang terpenting adalah, bagaimana kebijakan adhoc dan pernyataan-pernyataan yang disampaikan itu bergerak konsisten, benar-benar dituangkan menjadi bagian dari mindset kebijakan ke depannya.

Realitas Lapangan

Tidak jarang, ada pejabat yang merupakan bagian dari kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan yang lupa, rakyat akan segera membandingkan pernyataannya dengan realitas di lapangan.

Misalnya, suatu saat dalam wawancara dengan media dia menyatakan, “Sekarang banjir sudah bisa dikendalikan. Kemarin memang banjir besar, tetapi cepat surut, bahkan sekarang sudah kering…”

Klaim itu jelas menimbulkan tanda tanya warga, terutama yang merasakan langsung bahwa genangan air di kawasan tempat tinggalnya masih tinggi. Di banyak titik banjir lainnya air juga belum surut, apalagi kering.

Kesenjangan antara pernyataan politis dengan fakta di lapangan ini boleh jadi adalah produk dari laporan “asal bapak senang”. Mungkin pula sebagai cara untuk mendapat acungan jempol dari pemimpin di atasnya. Dia sama sekali tidak berpikir telah membohongi publik. Tidak pula berempati kepada warga yang masih berkutat menghadapi hari-hari pahit.

Kalau memang dia berani mengklaim banjir surut dan kering, seharusnya disebutkan bagaimana kondisi itu bisa terjadi, dan faktor determinan apa yang menyebabkan. Apakah memang sudah ada bukti penanganan dengan infrastruktur perkotaan yang mendukung banjir cepat surut seperti klaimnya?

Sikap Empatik

Pemimpin dengan sikap empatiklah yang sejatinya dibutuhkan dalam kondisi warga yang mengalami musibah. Sampaikan konsep dan langkah-langkah yang secara adhoc sudah dilakukan. Sampaikan pula sikap empati itu dengan gestur keberpihakan.

Nah, dalam konteks ini, bagaimana kita menilai pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ini? “Saya yang salah. Semua pihak sudah bekerja dengan baik,” tuturnya. Pernyataan itu pun viral, di media massa maupun media sosial.

Kalimat itu, menurut saya bertafsir multidimensi. Pertama, saya merespons cepat, “Ya seperti itulah letupan sikap kasual seorang Ganjar Pranowo”. Orang bisa bilang dan bereaksi apa pun, namun memang seperti itulah gayanya. Dan, pasti ada arah yang tak berhenti sekadar pada ucapan itu.

Kedua, sebagai ungkapan tanggung jawab, yang selama ini nyaris tidak ada dalam sikap para pemimpin. Ganjar memperkuat elan kepemimpinan, bahwa panglimalah yang merupakan pucuk tanggung jawab, mengambil alih lingkup moral jajaran di bawahnya.

Ketiga, dia menjawab realitas bahwa dalam urusan manajemen pengendalian banjir, sejauh ini para pemimpin terjebak dalam sikap saling menyalahkan. Ada kontribusi kiriman air dari daerah hulu dan kawasan sekitar. Ganjar menghindari polemik, menutupnya dengan ungkapan pertanggungjawaban. Seterusnya, medan perdebatannya setelah penderitaan rakyat berakhir.

Keempat, pernyataan itu perlu tindak lanjut sikap manajerial dengan kebijakan-kebijakan yang konseptual. Justru tak berhenti pada “penghentian polemik”, namun menjadi starting point lebih serius: ayo, kita benahi semua sektor, temukan kiat-kiat yang out of the box.

Politisasi

Dari perspektif media, tentulah saya tidak sependapat apabila ruang-ruang pemberitaan yang merupakan representasi ruang publik dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan politik untuk bertarung saling menonjok dengan background banjir.

Bukankah tak sedikit momen banjir Jakarta yang selalu menjadi refleksi pertarungan politik, dan entah disadari atau tidak disadari, media yang kemudian menjadi “ajang”?

Publik sudah cukup cerdas untuk memberikan penilaian. Dan, sebagai autokritik, barang tentu para praktisi media (seharusnya) punya sikap yang lebih kuat untuk mengetengahkan agenda-agenda kemaslahatan sosial.

Termasuk dalam memberikan ruang bagi narasi-narasi para pemimpin di tengah bencana yang tahun ini terasa makin meluas dan memedihkan.

 Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah