blank

Oleh Sandra Junita

INDONESIA merupakan negara yang menerapkan sistem demokrasi. Sistem inilah yang menjadi fondasi bagi kehidupan media massa. Sebaliknya, media juga hidup dengan kekuatan idealisme karena berada dalam sistem yang demokratis.

Media massa adalah sarana yang digunakan dalam proses komunikasi massa. Jaminan akses menjadi salah satu indikator bagi sebuah media yang demokratis (Iswadi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment, 2013).

Menurut sumber Tempo, Ketua Komisi Pemberdayaan Dewan Pers Asep Setiawan, media massa memiliki peran penting sebagai sarana edukasi dan pembelajaran, terutama bagi kaum difabel.

Hal ini sesuai dengan fungsi pers nasional dan sudah menjadi tantangan bagi pers untuk menyediakan fasilitas yang memadai untuk pemenuhan kebutuhan informasi bagi penyandang disabilitas.

Akses akan informasi sejatinya merupakan hak semua warga negara Indonesia, tidak memandang ernis, suku, ras, agama, maupun fisik. Semua orang mempunyai hak dan difasilitasi untuk mendapatkan informasi yang layak, termasuk para penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas atau difabel merupakan suatu keadaan seseorang mengalami keterbatan fisik, intelektual, mental, dan/ atau sensorik dalam jangka waktu lama. Berdasarkan UU 8/ 2016 Pasal 8, dijelaskan bahwa para penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan dalam memperoleh aksesibilitas.

Dalam penerapannya di Indonesia, aksesibilitas informasi bagi penyandang disabilitas tergolong cukup rendah. Hal ini dapat dibuktikan dari data Dewan Pers, bahwa Indeks Kemerdekaan Pers (IPK) masih di sekitar angka 18-20 pada 2019.

Melansir Antara, rangka Sosialisasi Indeks Kemerdekaan Pers 2019 sudah menunjukkan peningkatan sebesar 4,71 persen dari tahun sebelumnya dengan kategori sedang atau agak bebas ke kategori baik atau cukup bebas.

Kepedulian terhadap isu disabilitas mulai terlihat pada beberapa media penyiaran nasional yang sudah menyertakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam pemberitaan media, tetapi berbeda dari media-media pemberitaan daerah yang sangat minim fasilitas tersebut.

Narasi Kesedihan Media juga sebenarnya sudah mulai banyak memberitakan mengenai penyandang disabilitas, tetapi masih menggunakan perspektif yang sempit.

Banyak media yang masih mengetengahkan narasi kesedihan, menarik simpati dan justru menunjukkan ketidakberdayaan para difabel. Sangat jarang kita temui konten berita yang memberi ruang kepada mereka untuk bersuara, memberikan kritik kepada pemerintah dan lainnya.

Tampilan media yang seperti itu akhirnya malah menimbulkan stigma sosial bagi kaum difabel. Sudah seharusnya media memberikan ruang yang lebih luas bagi mereka untuk mengekspresikan aspirasinya. Misalnya pencapaian-pencapaian akademik, prestasi dalkam berbagai bidang, serta inspirasi-inspirasi dari para difabel.

Pada masa sekarang, di tengah kondisi pandemi Covid-19, seharusnya media lebih gencar dan memprioritaskan edukasi kepada kaum difabel.

Tanpa kita sadari, media cenderung bersikap seakan-akan melupakan keberadaan mereka, padahal kaum difabel ini paling rentan terpapar Covid-19 sebagaimana juga anak-anak, orang tua, dan perempuan yang sedang mengandung.

Pada masa pandemi, media merupakan sarana utama dalam mengedukasi masyarakat. Informasi terbaru dan terkini juga disebarkan pertama kali lewat media massa. Apabila dalam praktik media tidak ramah kepada kaum difabel, mereka akan semakin terpuruk dan tidak tahu apa-apa.

Jika menilik lebih jauh lagi, ada alasan mengapa kaum difabel ini cenderung pasif dalam berpendapat atau menyampaikan aspirasi di ruang publik. Tingkat aksesibilitas tidak hanya terpatok pada media.

Bagi kemudahan akses edukasi, pemerintah masih kurang memberikan fasilitas bagi mereka untuk mengakses pengetahuan, seperti perpustakaan yang ramah bagi kaum difabel.

Mereka biasa bergantung pada sekolah atau komunitas-komunitas tertentu, padahal proses belajar tidak hanya dari sana. Pemerintah belum optimal menyediakan fasilitas seperti buku-buku pengetahuan yang dicetak braille untuk tuna netra, dan lainnya yang mendukung.

Hal inilah yang membuat banyak dari kaum difabel kurang terlibat bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya.

Bagi kaum difabel, berkah kemerdekaan pers masih sangat rendah. Seharusnya, peningkatan Indeks Kemerdekaan Pers berbanding lurus dengan peningkatan fasilitas bagi mereka dalam pemenuhan akses informasi.

Jika pemerintah belum bisa mewujudkan, bisa dikatakan kemerdekaan pers masih belum mencapai semua lapisan masyarakat.

Sandra Junita, mahasiswa Fiskom UKSW, Salatiga.