blank
ilustrasi.

blank

ENERGI keajaiban itu bisa diusahakan dan bisa juga ditabung. Manusia dalam keadaan sempit atau bahaya, dapat melakukan ikhtiar melalui amal baiknya, baik yang bersifat sosial atau ritual, agar disaat dia susah atau bahaya, menyebabkan adanya pertolongan dari Tuhan.

Berkaitan dengan “menabung energi” kebaikan, itu dikisahkan tiga orang yang terkurung dalam goa karena ada batu besar yang menutupnya. Salah satu dari mereka berkata, “Ketahuilah, amal baik yang pernah kita lakukan itu bisa dijadikan perantaraan bermohon kepada-Nya.

Seseorang mendapatkan keajaiban, itu penyebabnya sering kali buah dari perbuatan baik yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Maka, salah satu dari mereka itu lalu berdoa, ”Ya Allah, dulu saya memiliki orang tua, seorang istri dan anak-anak yang saya rawat.”

“Sore hari ketika saya memeras susu sapi, saya mengutamakan susu itu untuk kedua orangtua saya, kemudian baru anak-anak. Suatu ketika, saya berpergian jauh dan baru pulang petang hari. Saya lihat kedua orangtua saya sudah tertidur lelap.”

“Saya lalu memeras  susu sapi seperti biasanya lalu saya bawa. Saya berdiri di dekat mereka, karena tidak ingin mengejutkan mereka, dan saya tidak ingin memberikan susu itu kepada anak-anak sebelum mereka menikmatinya.”

“Jika saya melakukan itu karena-Mu, maka bukalah (mulut gua) itu agar kami dapat keluar.” Allah kemudian membukakan (batu penghalang mulut gua itu) sedikit.

Berikutnya ada yang berdoa, “Ya Allah, dahulu saya punya sepupu perempuan cantik. Saya ingin berzina dengannya, tetapi dia menolak, sehingga saya menjanjikan seratus dinar. Saya lalu bekerja keras dan mendapatkan uang.”

“Di saat saya akan berzina, dia berkata : “Wahai hamba Allah, takutlah kepada-Nya dan jangan berzina.” Akhirnya, saya meninggalkannya. Jika saya melakukan itu karena Engkau, bukalah mulut gua itu”. Dan mulut gua pun terbuka sedikit.

Selanjutnya, orang ketiga berkata, “Ya Allah, dulu saya punya buruh dengan upah beras. Setelah selesai, dia berkata, ‘Berikan hak pada saya.’ Saya menawar upahnya, tetapi dia tidak menghendakinya. Saya lalu memelihara hingga beranak-pinak, dan saat dia datang sapi-sapi itu saya serahkan kepadanya.”

“Jika saya melakukan itu karena Engkau, maka bukalah mulut gua untuk kami. Dan pintu gua itu terbuka. Demikianlah kisah mereka yang melakukan tawasul dengan menyebut amalan-amalan mereka.”

Wasilah “Pulo Gadung”

Saya pernah mencoba berdoa sambil mengingat sesuatu yang mungkin   itu termasuk amal baik yang pernah saya lakukan. Menjelang  lebaran tahun 1983 saya yang saat itu ber-KTP Jakarta sedang mudik melalui  terminal Pulogadung.

Setelah mendapat tiket, saya ke mushala. Usai salat asar, saya diberitahu teman seperjalanan bahwa tadi dia melihat ada bapak sepuh saat mengambil wudu, uangnya dicopet.

Saya tidak ingat apa yang saat itu saya lakukan. Singkatnya, dalam kondisi trance, uang bapak sepuh yang dibungkus plastik itu berhasil saya temukan dalam kotak kayu milik tukang semir kemudian saya serahkan petugas informasi.

Sesaat kemudian informasi ditemukannya uang itu diumumkan melalui pengeras suara oleh petugas terminal. Tak lama kemudian ada pengumuman susulan agar anak muda yang menemukan uang itu diminta datang ke ruang informasi.

Saat masuk ruang informasi, saya berketemu Bapak penjual kopiah keliling yang akan mudik ke Pekalongan. Beliau adalah pemilik uang Rp 450.000 yang saya temukan dalam kotak tukang semir. Sambil matanya berkaca-kaca, dia ingin memberi saya uang.

Barter Amal

Kadang terbersit dalam angan, peristiwa itu saya manfaatkan untuk bertawasul disaat saya menghadapi masalah. Namun saya bertanya, apakah yang saya lakukan itu sudah “laku” dibarter dengan apa yang dulu pernah saya lakukan?

Mungkin, pada tataran kasepuhan (tasawuf) apapun yang kita lakukan itu tidak perlu dikait-kaitkan dengan perbuatan yang layak dibarterkan. Artinya, puasa ya puasa, salat ya salat, menolong ya menolong, dan itu tidak perlu mengaharap pahala atau imbalan.

Kenapa? Andaikan semua ibadah ritual dan sosial kita itu (misalnya) dibarter dengan nikmatnya mata yang bisa melihat, oksigen yang diberikan secara gratis, dan nikmat-nikmat yang lain, rasanya belum sepadan.

Kesimpulannya, kita beramal sesuai kelas kita saja. Pahala ibarat uang, dan dosa ibarat hutang. Uang bisa digunakan di dunia seperti menyingkirkan musibah, memperpanjang umur, menunda kematian, membatalkan atau meringankan musibah yang akan datang dan mendatangkan hajat.

Bagaimanapun, kebaikan yang kecil sekalipun seperti mengangkat jemuran baju yang jatuh itu bisa di barterkan dalam upaya meyakinkan diri bahwa kita perlu pertolongan kepada Yang Maha Kuasa, dilandasi bahwa diri ini makhluk yang lemah hingga perlu menabung kebajikan melalui ibadah ritual maupun sosial.

Menabung Energi

Energi itu bisa ditabung. Dalam hadis At-Timridzi : “Siapa yang ingin ditolong Allah disaat bahaya atau sempit, perbanyaklah berdoa disaat lapang atau aman.” Artinya, ketika kita berdoa saat tidak ada bahaya, itu ibarat sedang mengisi saldo power.

Jika itu dilakukan, dan suatu saat ada bahaya atau kesulitan, insya Allah saldo energi ingat kita itu akan bereaksi memunculkan keajaiban layaknya keajaiban  yang dialami  manusia biasa, para wali dan para Nabi, misalnya kisah selamatnya Nabi Musa AS membelah lautan.

Beda lagi dengan kondisi Firaun yang saat itu juga dalam kondisi terdesak bahaya kemudian baru-buru minta tolong pada Tuhan. Pertolongan itu  tidak datang, karena  perilaku raja itu sombongnya tidak ketulungan, maka matilah kau!

Kenapa? Tabungan amal baiknya limit, maka saat “tombolnya” untuk help me dipencet untuk menghubungi Tuhan, pada layar kaca langit muncul tulisan “Saldo Anda tidak cukup.” Dan Raja yang lalim itu pun ditelan lautan.

Masruri, konsultan dan praktisi metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati