blank
Peserta Bimtek ukir di Desa Tahunan yang diselenggarakan Disperindag Kabupaten Jepara.

JEPARA (SUARABARU.ID)- Desa Tahunan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, merupakan jantung kota Jepara sebagai centra kerajinan seni ukir. Namun dalam perkembangannya, profesi mengukir yang pernah menjadi penggerak perekonomian warga, banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari kegiatan Bimtek mengukir yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperidag) Kabupaten Jepara.

blank
Salah satu pengukir wanita di Desa Tahunan yang masih bertahan dengan profesinya. (Foto: Bayu)

Bekerjasama dengan Pemdes Tahunan, Disperindag menggelar pelatihan ukir selama tiga hari, 9-11 Februari 2021 yang bertempat di Pendapa Balai Desa Tahunan. Dari 20 peserta pelatihan, terdapat tiga peserta perempuan yang mengikuti pelatihan tersebut. Ketika suarabaru.id ikut menghadiri acara pelatihan tersebut, terungkap bahwa surutnya seni ukir di Jepara, khususnya desa Tahunan, salah satu faktornya adalah rendahnya harga tenaga pengukir di Jepara.

Banyak pengukir di Jepara beralih profesi, diantaranya adalah sebagai tukang batu, pekerja pabrik, dan pekerja lepas. Karena penghasilannya lebih menjanjikan. Pak Junoto, salah satu pengukir di Desa Tahunan mengeluhkan rendahnya harga pengukir, “Dalam sehari, penghasilan mengukir 75 ribu, maksimal 100 ribu. Jika dibandingkan dengan tenaga kasar, para pengukir penghasilannya lebih rendah”, ujarnya.

Di sela-sela kegiatan, kami mencoba mewancarai salah satu pemateri dari pihak Disperindag Kabupaten Jepara yang diwakili oleh Sugiyanto, Spd. Sst. Mpd, atau akrab disapa Pak Gi’. Kepala SMK Karimun Jawa, yang juga seorang praktisi ukir, sekaligus penulis buku tentang seni ukir Jepara. Ia mengatakan, surutnya seni ukir di Jepara terdapat banyak faktor, bukan hanya soal rendahnya harga jual seni ukir.

“Mungkin rendahnya harga jasa dari seorang pengukir menjadi salah satu faktor, tapi itu bukan yang utama. Nilai kepercayaan atau trust  dalam keluarga harus dibangun. Kita harus merubah image bahwa seorang pekerja seni ukir bukan buruh, tapi seniman. Atau istilah saya adalah sebagai Art Worker”, ujar Pak Gi.

“Setelah nilai kepercayaan dalam masyarakat terbangun, selanjutnya adalah membuat asosiasi atau paguyuban. Asosiasi akan meningkatkan nilai atau posisi tawar dari para pekerja seni ukir itu sendiri. Kita tidak bisa bergerak sendiri-sendiri. Dengan adanya asosiasi, secara otomatis terbangun jaringan atau net working. Hal ini penting untuk marketing”, lanjut Pak Gi’.

Pak Gi juga mengungkapkan, masyarakat Jepara kaya akan tinggalan seni ukir sebagai budaya. Telah disediakan beragam motif dan ornamen ukiran yang digelar di tembok masjid Mantingan. “Secara budaya, masyarakat Jepara sudah terlahir sebagai pekerja seni ukir. Tinggal bagaimana masyarakat menjaganya. Jangan lupa dengan keberadaan kampus Universitas Nahdlatul Ulama’ (UNISNU). Pemdes Tahunan harus bisa memanfaatkan untuk membangun jaringan, terang Pak Gi yang juga aktif sebagai pengajar di Kampus UNISNU tersebut.

Dalam acara pelatihan ukir di desa Tahunan tersebut, terbentuklah asosiasi pekerja seni ukir Desa Tahunan yang diketuai oleh Hariyanto, salah satu peserta pelatihan. Sebagai awal untuk menggerakan kembali seni ukir di Jepara, khususnya di Desa Tahunan.

Hadepe / ua