blank
Josep Guardiola, Juergen Klopp, Ole Gunnar Solskjaer. Foto: dok/ist

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// siapakah yang bakal bertahan// berdiri paling akhir// lewat pilihan jalan paling benar// : dalam kekuatan// dalam kecepatan// dalam kecerdasan// dia jadi penanda// manusia yang tepat memilih waktu// saat dia datang// saat dia menantang// saat dia mempertahankan// saat dia menaklukkan.
(Sajak ‘The Last Team Standing‘, 2021)

TARIK urat leher antara Zlatan Ibrahimovic dan Romelu Lukaku dalam Derby Milano dua pekan lalu, sejatinya memberi gambaran, betapa sengit rivalitas menuju scudetto di Liga Seri A. Insiden itu berlanjut ke dugaan isu rasisme.

Dari “tridente” AC Milan, Internazionale Milan, dan Juventus, tak satu pun yang sudah berhak mengklaim punya kans paling besar. Bahkan di atas Juventus — sebagai langganan juara dalam satu dasawarsa terakhir –, bercokol “kuda hitam” AS Roma yang unggul lima poin.

Komposisi itu sama dan sebangun dengan atmosfer Liga Primer. Saling menyalip antara juara bertahan Liverpool, penantang paling solid Manchester City, dan Manchester United makin sengit pada pekan-pekan kemarin. Setan Merah melewati Leicester City, lalu mengambil alih kepemimpinan klasemen dari Liverpool; tak lama kemudian giliran City merebut pole position, dan memantapkan posisi sebagai kandidat juara terkuat.

Jarak poin di antara tim-tim itu hanya seurat tipis, yang bukan tidak mungkin perpacuan menegangkan ini akan berlangsung hingga ujung kompetisi.

The Reds yang stabil di awal musim, mulai diganggu instabilitas antara lain karena cedera pemain dan realitas kekurangimbangan para pelapis. Setelah kekalahan dari Burnley pekan kemarin, pelatih Juergen Klopp mengklaim para pemainnya mengalami kelelahan yang mempengaruhi penampilan teknis, fisik dan psikis. Kini bahkan Jordan Henderson dkk terlempar ke urutan keempat di bawah Leicester City.

Sementara itu, Red Devils masih juga diganggu inkonsistensi performa: kadang luar biasa, bisa pula tiba-tiba mejan. Sedangkan The Citizens menunjukkan konsistensi kinerja, dengan memenangi 13 laga terakhir lewat produktivitas tinggi.

Seperti saling “gas pol” di Seri A, trisula Inggris juga tancap gas mengakselerasi penampilan untuk berebut posisi teratas. Rongrongan datang dari Leicester City yang mengintip peluang, diramaikan “gangguan” West Ham United dan Tottenham Hotspur. Kuda pacunya tetap Manchester Biru dan Manchester Merah.

Dalam satu dasawarsa terakhir, boleh jadi inilah persaingan bertensi paling tinggi. Kondisi ini menggambarkan, kompetisi pada masa pandemi covid-19, yang tanpa kehadiran penonton sebagai atmosfer pemanas, tetap punya kegairahan tersendiri.

Kalau pada 2019-2020 Liverpool meraih juara di masa yang penuh ketidakpastian karena kompetisi sempat dihentikan lantaran pandemi, musim ini sedari awal liga sudah berjalan dengan aturan ketat protokol kesehatan. Siapa yang nanti akan menjadi The Last Team Standing, merupakan produk dari realitas persaingan yang sangat sengit.

* * *

SEGALA kemungkinan bisa terjadi. Konsolidasi pada pekan-pekan penentu akan menjadi kunci siapa di antara empat tim teratas Liga Primer itu yang keluar sebagai pemenang trofi. Siapa yang lebih konsisten hingga akhir, merekalah pemenangnya.

Sejauh ini, dari lika-liku awal musim hingga memasuki separuh periode, Manchester City menunjukkan up-tren impresif. Sang arsitek Pep Guardiola kembali menemukan racikan mematikan, setelah sebelumnya kehilangan bomber andalan Sergio Aguero dan pengatur serangan Kevin de Bruyne yang dililit cedera.

Ryad Mahrez tampil stabil, Phil Foden makin dipercaya sebagai gelandang serang, dan Ferran Torres Garcia menciptakan kombinasi dahsyat bersama Raheem Sterling yang pada semester pertama musim ini terasa melempem. Dalam beberapa laga, City memperlihatkan dominasi dengan penampilan yang seolah-olah tidak memberi ruang berkreasi bagi lawan. Selain deposit satu laga, The Citizens punya keunggulan akumulasi gol jauh di atas lawan-lawannya.

Sementara itu, Liverpool yang semula tampak mulai keluar dari lingkaran mengerikan, kembali lagi ke kondisi buruk. Impresivitas gegenpressing-nya tak terlihat. Trio penyerang yang biasanya mematikan — Roberto Firmino, Mohamed Salah, dan Sadio Mane — seperti kehilangan magi di depan gawang lawan.

Mengalahkan West Ham United pada pekan lalu, sempat mengangkat rasa percaya diri anak-anak Juergen Klopp. Namun di tengah pekan kemarin kembali melempem di hadapan Burnley.

Soliditas pertahanan Si Merah seperti berlubang, seiring absen panjang “sang komandan” Virgil van Dijk. Penumpulan trio penyerang diperparah oleh cedera Diogo Jota, yang seharusnya bisa menjadi opsi lain. Takumi Minamino, “samurai” asal Jepang yang sulit mendapat tempat reguler, akhirnya dipinjamkan ke Southampton.

Lini tengah juga tidak berimbang. Thiago Alcantara yang diharapkan memberi sentuhan seni tersendiri, tampak belum betul-betul tune in dengan irama Liga Primer.

Manchester United yang melesat naik dan sempat memimpin klasemen, kini menempati urutan kedua di bawah City. Pasukan Theater of Dream dikuntit Leicester yang penampilannya sulit diduga. Hanya konsistensi yang bakal menolong MU untuk memelihara asa juara, tentu dengan menunggu keterpelesetan City dan Liverpool.

Rabu lalu, Setan Merah secara fantastis mengalahkan Southampton 9-0 di Old Trafford, sebagai rekor kemenangan terbesar Liga Primer musim ini. Deposit besar gol itu menjadi penting, apabila peraih titel di pengujung kompetisi nanti harus ditentukan oleh produktivitas.

Rivalitas empat besar ini bagai air mendidih di dalam kuali. Selain adu kecerdikan para pelatih dalam mengkreasi skema untuk tiap setiap penampilan, ujian bagi kekuatan manajerial Juergen Klopp, Pep Guardiola, Ole Gunnar Solskjaer, dan Brendan Rodgers, adalah visi rotasi pemain. Bukankah sebagian di antara mereka harus berbagi fokus di ajang Piala FA, Piala Liga, dan Liga Champions?

Manajemen rotasi dan ketersediaan stok pelapis akan menjadi syarat pengawalan sebuah tim dari keniscayaan alamiah kelelahan pemain, psikologi fokus, dan kerentanan cedera.

Ya, “gas pol” dalam mengakselerasi performa, bagaimanapun harus imbang dengan kemampuan mengelola fisik, teknik, dan mental.

Lalu siapa di antara empat hingga lima tokoh itu yang akan menjadi The Last Man Standing?

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng