blank
Sampul buku "Percakapan dengan Candi". Insert foto: Amir Machmud, penulis buku berisi 53 puisi tersebut. Foto: Ist

Catatan: Handrya Utama

blankDalam waktu dekat ini, antologi puisi Percakapan dengan Candi karya wartawan-penyair Amir Machmud NS akan diterbitkan. Berikut catatan Handrya Utama, sastrawan yang juga Ketua Dewan Kesenian Semarang yang akan menjadi prolog antologi tersebut.

Buku ini merupakan antologi tunggal kedua Amir Machmud NS, setelah pada 2020 menerbitkan Tembang Kegelisahan.

PADA masanya, suatu peristiwa akan diceritakan lebih mendalam dan berkesan indah melalui karya sastra. Sejarah hidup para pahlawan dapat diolah oleh karya sastra melalui prosa biopik dalam bentuk memoar dan novel panjang. Sedangkan puisi menyumbangkan narasi masa silam dengan penafsiran yang halus, bagi para pembacanya.

Buku antologi Percakapan dengan Candi merupakan poetry from ancient story (puisi yang dihimpun dari kisah lama. Kejadian itu terkisah pada pahatan candi yang sudah dikenal, kemudian ditulis kembali dengan puitika personal. Antologi ini menjadi karya yang saling menyusul setelah terbitnya antologi penyair Amir Machmud NS terdahulu, Tembang Kegelisahan (Penerbit Mimbar Media Utama, 2020). Percakapan dengan Candi memilih gaya persajakan lebih tegas dengan cover depan lebih gagah.

Amir Machmud adalah penulis sastra yang karyanya sudah dikenal sejak 1990-an. Jurnalisme sastra sebagai pilihannya, melatarbelakangi tulisan-tulisan penyair ini lebih sublim dan detail. Sebagai pekerja media (kini Ketua PWI Jawa Tengah 2015-2020, 2020-2025), penyair ini berkesempatan mengunjungi berbagai negara. Beberapa negara memiliki candi terkenal serupa Angkor Wat di Kamboja, Wat Phra Kaew (Thailand), dan Khajuraho (India). Selain tentu saja meminati kisah masa silam candi-candi besar di Nusantara seperti Borobudur, Prambanan, Dieng (Jawa Tengah) atau Singasari, Penataran (Jawa Timur).

Di antara spiritualisme yang menjelajah, lahirlah tafsir indah pada ke-53 puisinya dalam buku ini. Kejelian memilih tema candi merupakan kecerdasan yang layak dipuji. Sang penyair meyakini, puisi-puisi bertema candi akan lebih diperbincangkan. Ia membagi serakan puisi itu ke dalam empat bagian tema. Masing-masing, (1). Narasi Elok Candi, serupa syair-syair ketakjuban mengenai bentuk dan kesejarahan, (2). Ziarah Mahakarya, tentang impresionisme dan empirisme kebesaran candi, (3). Bumi Sambarabudara, lebih masuk pada makna-makna yang tersirat, serta (4). Teladan Cinta Pikatan-Pramodya.

Anatomi Purba

Antologi Percakapan dengan Candi ditata dalam kronologi pemahaman yang rapi. Anatominya tersusun mulai dari pengenalan candi-candi, yang diwakili oleh puisi – puisi seperti Dari Syiwagrha ke Manjusrigrha, Bulan di Atas Candi Sewu, hingga Dalam Bayangan  Pembandingan. Penyair ingin memperkenalkan behind the temple, mengenai asal usul, kandungan ceritera, dan filosofi. Ditulis dalam liris indah dan berkisah, penggunaan kata-katanya terjaga, seperti pada salah satu bait di bawah ini:

//pucuk-pucuk candi membelai langit/ di persada penyatuan suci/ dari ujung ke ujung bercitra darma cinta/ dari Syiwagrha hingga Manjusrigrha/ kutemukan kehangatan / yang tak mudah terbahasakan// (Dari Syiwagrha ke Manjusrigrha, bait ke-3).

Berikutnya ada,  //katakan pula/ sejarah kita jauh di depan/ prasasti mencatat penegasan waktu// (Dalam Bayangan  Pembandingan, bait ke-3).

Kemudian, // pucuk-pucuk stupa/ meraih tangan rembulan/ mengabarkan syahdu malam/ yang sudah terasa / tanpa menunggu embun / menyimak syair-syair nirwana// (Bulan di Atas Candi Sewu, bait 4).

Keseluruhan puisi ditulis antara tahun 2020-2021. Hal ini menunjukkan betapa sang penyair mempersiapkan kumpulan puisinya dengan penuh kegairahan. Saya sangat yakin, puisi-puisi ini ditulis berdasarkan catatan pikiran yang sudah lama tersimpan. Bab berikutnya, kita temukan ziarah gagasan yang pernah ia lihat pada sebuah candi. Romantisme regresif di masa kecil, membentur hasrat kecintaannya akan karya adiluhung sejarah. Ia melahirkan judul-judul yang tersublim halus, misalnya puisi Di Keteduhan Mendut, Pesan Kebijaksanaan di Candi Sojiwan, Kisah Tiga Lingga, dan Suara-suara dari Bukit Baka.

Pembaca diajak berkelana ke masa purba, memasuki lorong waktu (time tunnel) yang kerap diceriterakan para pendahulu. Tema yang berikut mengisahkan betapa candi-candi membawa pesan peradaban yang tiada tara. Salah satu puisi ditulis seperti ini, // garis-garis relief mengisahkan manusia/ antara nafsu dan kearifan/ antara dorongan dan kendali akal/ binatang justru jadi perlambang/ dongeng-dongeng tentang kebijaksanaan// (Dari Garis-garis Peradaban, bait terakhir).

Relief candi telah melahirkan fragmen kemanusiaan serta laku binatang. Kesemuanya memuarakan kearifan hidup di segenap alam semesta. Peradaban pada galibnya mencahayakan kebijaksanaan abadi di sekitar manusia. Demikianlah puisi menuliskan perjalanannya dengan kekuatan kata. Puisi juga melahirkan ruh yang tidak mudah kita raba. Antologi ini menawarkan hakikat tinggi bagi pembacanya. Dan, itu adalah darma karya yang tiada terkata.

Bagian akhir buku ini tak henti-henti mengingatkan arti kekuatan cinta. Cinta yang tumbuh pada masa silam, dengan benturan sejarah bertubi-tubi. Kita juga mendapatkan pengertian toleransi pada kebijaksanaan hati Smaratungga yang memerintah Kerajaan Medang Mataram antara tahun 792 – 835. Ketika itu, ia harus menerima agama Hindu berkeluarga dengan Budha yang dianutnya. Kita merasakan percik cinta tak terduga, yang tertulis pada puisi berdaya pikat susastra tinggi.

Ancient Story

Puisi dengan kisah besar biasanya memiliki daya pikat tinggi, sekaligus membawa risiko studi yang panjang. Seperti sastrawan Yudhistira ANM Massardi yang menulis novel Arjuna Mencari Cinta (1977), atau Sindhunata ketika menuliskan prosa liris Anak Bajang Menggiring Angin (1983), keduanya mengaktualisasikan tokoh wayang jagat dalam kehidupan nyata. Yudhis dan Sindhu tidak kehilangan akal dalam menampilkan kandungan kewayangannya.

Demikian pula Amir Machmud NS dengan puisi Simpang Bijak Empu Manuku:  // dalam lingkar kuasa Wangsa Syailendra/ dia tunjukkan kepada Samaratungga/ tulus pengabdian untuk sang mertua/ meneruskan kerja Rakai Panangkaran/ dalam citra kejayaan Budha// (bait 3). Sebuah mitologi sejarah yang sangat dahysat. Kisah tersebut semakin indah, ketika dibarengi tafsir sang penyair yang terasah. Ada kebesaran jiwa, konflik zaman yang besar, juga pertentangan yang tak terlerai secara mudah.

Puisi tidak sekadar mendayu-syahdu dan ber-embun rindu. Puisi menjadi garang ketika kesejarahan tampil menjadi latar:  // kalian simaklah dari udara/ dari arah mata angin yang berbeda-beda/ siapa tak berkerut pikir/ : seanggun itu candi dianggit/ bagaimana bebatu raksasa dipahat/ berpadu padan rumit/ menjadi puzzle seelok itu/ seunggul visi arsitektur mengimajinasi// (Mahakarya Gunadarma, bait ke-3). Liris dan heroik, berkisah dan berajar.

Kita seperti mendapatkan sensasi dalam sastra. Kedalaman (depth) tak sekadar karena pergulatan jiwa pada imanusia masa kini. Kita mendapatkan atmosfer lain yang jauh dari zaman kita sekarang. Sejarah mencatat segala perubahan dari zaman ke zaman, lebih utama lagi tentang kemanusiaan. Biasanya sejarah ditulis tersusun dan sistematis, namun pada puisi bisa secara mozaik — namun bergairah.

Bagaimana romansa masa silam kisah candi-candi itu, kesuraman, kepahitan, bahkan gelora asmara raja-raja. Dalam salah satu ruas Candi Borobudur terukir kisah cinta Ratu Kinari dan Sasa Jataka, pada Candi Plataran ada kisah Raden Panji dan Candrakirana, Kisah-kisah semacam dapat kita lihat pada Bagian 4 buku ini (Teladan Cinta Pikatan-Pramodya).

Dalam puisi Percakapan Hari Samaratungga, sang raja digambarkan harus melepas putri mahkotanya, Pramodyawardhani untuk dipersunting Rakai Pikatan Empu Manuku. Kecamuk hati Samaratungga memuncak karena keduanya berbeda wangsa (kedinastian). Putrinya berwangsa Syailendra yang memeluk agama Budha, sedangkan Rakai Pikatan berwangsa Sanjaya yang menganut Hindu: // kubiarkan pula dia mendirikan Syiwagrha/ memuliakan kepercayaannya/ aku menerima utuh sebagai manusia/ (bait ke-2).

Dalam konsep kejiwaan Jawa, hal tersebut sejalan dengan pemahaman mulur-mungkret dan ajur-ajer. Sebagaimana pula yang dikembangkan oleh putra ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII bernama Ki Ageng Suryomentaram mengenai pupus jiwa yang selalu menang namun juga mengalah. Idealitas tidak berbanding lurus dengan keinginan, ikhlas terhadap keinginan tidak terjangkau, menang karena rela mungkret (proses mengecil).

Dalam konteks pembelajaran kawruh rasa dan jiwa, banyak puisi Amir Machmud NS menawarkan pitutur. Idiom yang mengemuka tidak abstratif , namun ditulis lebih sederhana. Yang lebih menarik, dalam puisi-puisinya, saya meyakini ia memiliki pandangan luas tentang kebudayaan. Ketika ia mengatakan bahwa antologi ini benar-benar dipertaruhkan, saya pun harus membacanya sungguh-sungguh. Terjawab sudah bahwa Amir Machmud adalah sastrawan berkualitas bagi masa depan.

Handrya Utama adalah penulis antologi puisi Eventide dan Pemenang  Utama Lomba Puisi Esai Asia Tenggara 2019 yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa dan Sastra Negeri Sabah, Malaysia. Ia tinggal di Semarang.