blank

Optimalisasi Pidana Denda di Masa Pandemi Covid-19:Upaya Rekonstruksi Pidana Denda Berbasis Nilai-nilai Islam

Oleh: Ira Alia Maerani, Eko Soponyono, Nuridin 

PIDANA DENDA merupakan salah satu dari jenis pidana (straf soort). Jenis pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Kelima pidana pokok seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terdiri dari: pidana mati; pidana penjara; pidana kurungan; pidana denda; dan pidana tutupan. Sementara pidana tambahan terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang-barang tertentu; dan pengumuman putusan hakim.

Regulasi yang mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana tidak terdapat dalam satu produk hukum seperti layaknya KUHP yang mengatur tentang hukum pidana materiil dan KUHAP yang mengatur tentang hukum pidana formil. Akan tetapi aturan yang mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana (hukum penitensier) ini terfragmentaris dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pidana mati diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 jo  UU No. 5 Tahun 1969 jo Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksaaan Pidana Mati yakni dengan cara ditembak sampai mati  oleh satu regu penembak.

Demikian pula dengan pidana penjara yang diatur dengan UU N0. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pidana Kurungan dan Pidana Denda  diatur dalam KUHP beserta produk hukum yang menambah dan merubah KUHP, termasuk Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP.  Sementara pidana tutupan diatur dalam UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.

Terkait pidana denda yang menjadi fokus dalam tulisan ini menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam di balik berkecamuknya wabah Covid-19. Optimalisasi pidana denda menjadi salah satu langkah strategis memutus mata rantai penyebaran virus corona. Terlebih ketika media melaporkan warga binaan pemasyarakatan (WBP) atau kerap dikenal dengan istilah narapidana di beberapa lembaga pemasyarakatan terpapar virus corona. Seperti ratusan WBP di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Krobokan, Bali terpapar virus corona. Termasuk Lapas di Pekanbaru, Kendari, Bekasi, Blitar, Porong Sidoarjo, Cipinang Jakarta, Cibinong, Tasik Malaya, dan lainnya. Dana yang dipersiapkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)  guna mencegah penyebaran virus corona pun tak sedikit.

Upaya untuk mengantisipasi penyebaran covid-19 ini maka beberapa langkah berikut dilakukan:  Pertama, membebaskan ribuan  narapidana di lembaga pemasyarakatan yang tersebar di seluruh  nusantara. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Adapun ketentuan pengeluara narapidana dan anak melalui asimilasi yakni narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; Anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020. Ketentuan bagi narapidana dan anak di atas bukan bagi Warga Negara Asing dan tidak terikat sedang menjalani subsidair terkait PP No. 9 Tahun 2012.

Kedua, langkah selanjutnya guna meredam berkecamuknya virus corona di lapas yakni Kemenkumham menyiapkan anggaran hingga Rp 600 Miliar di tahun 2021 ini. Anggaran dipersiapkan guna menjaga kesehatan pegawai Kemenkumham,  kesehatan narapidana, dan pencegahan di dalam Rumah Tahaan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Ketiga, optimalisasi putusan pidana denda dibanding pidana penjara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat kapasitas penjara yang sudah melampaui batas (overload); besarnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk membiayai hidup para narapidana; dan mengingat tujuan pemidanaan akan fungsi pidana penjara ini apakah sudah sesuai dengan harapan atau belum.

Sejatinya, tujuan pemidanaan seperti  diatur dalam 51 RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Tahun 2019 yaitu:

  1. Mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat;
  2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
  3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
  4. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Proyeksi RKUHP 2019 terhadap penjatuhan pidana menunjukkan sudah mengakomodir nilai-nilai bangsa Indonesia. Dimana hakim wajib mempertimbangkan banyak faktor dalam memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Ayat (1) RKUHP Tahun 2019. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya pemaafan dari korban dan/atau keluarganya. Konsep pemaafan ini tidak diatur dalam KUHP yang merupakan produk hukum peninggalan penjajah kolonial Belanda. Tentu saja norma dalam W.v.S. (Wetboek van Strafrecht) yang berisi nilai-nilai bangsa Belanda dan Perancis yang merupakan tempat asal W.v.S., berbeda dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.

Ide pemaaafan menjadi sangat kental mengambil dari nilai Pancasila sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang beragama Islam, ALLOH perintahkan di dalam Al Qur’an surat Al Imron Ayat 159 untuk saling memaafkan. Ayat dalam surat ini mengatur 6 perintah ALLOH yakni: perintah untuk bersikap lemah lembut; tidak bersikap keras dan berhati kasar; memaafkan; memohon ampun untuk mereka; bermusyawarahlah; bertawakal pada ALLOH SWT.  Tentu saja mengamalkan perintah ALLOH dalam ayat ini juga mengamalkan sila-sila Pancasila. Taat pada perintah ALLOH dan bertawakal pada ALLOH sebagaimana sila pertama; bersikap penuh kelembutan,tidak bersikap keras lagi kasar,  memaafkan, memohon ampun untuk pihak yang telah menyakiti merupakan implementasi sila Pancasila kedua. Perintah untuk bermusyawarahlah merupakan bentuk pelaksanaan dari sila keempat Pancasila.

Selengkapnya bunyi Pasal 54 Ayat (1) RKUHP 2019 dimana  hakim wajib memperhatikan dan mempertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim yaitu:

  1. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
  2. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
  3. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
  4. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
  5. cara melakukan Tindak Pidana;
  6. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
  7. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana;
  8. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
  9. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
  10. pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau
  11. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 71 Ayat (2) RKUHP 2019  menjelaskan hal penting yang perlu diperhatikan hakim adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada keterangan di atas hanya dapat dapat diterapkan jika: tanpa korban; korban tidak mempermasalahkan; bukan pengulangan tindak pidana.

Dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional terutama terkait pidana denda  dapat dilakukan melalui studi perbandingan (studi komparatif) dengan mempelajari konsep diyat dalam Hukum Pidana Islam. Konsep diyat dalam Hukum Pidana Islam dinilai  memberikan keadilan yang seutuhnya baik kepada pelaku, korban, dan juga masyarakat. Diyat diberikan kepada korban yang telah diambil haknya oleh pelaku. Korban dan atau wali korban mempunyai hak bagaimana bentuk keadilan terhadap mereka. Masyarakat pun terlindungi di balik tegasnya sanksi ini. Termasuk dalam ketentuan diyat baik dalam kasus tindak pidana pembunuhan, dan penganiayaan dimana sasaran dari tindak pidana ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Dalam hukum pidana modern dikenal dengan kejahatan (tindak pidana) terhadap manusia. (Dr. Ira Alia Maerani, M.H. & Prof. Dr. Eko Soponyono, M.Hum.,  Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA); Dr. Nuridin,  S.Ag., M.Pd., Dosen  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNISSULA).

Suarabaru.id