blank
Pedagang kecil di Wonosobo menggelar dagangan di Pasar Wisata Minggu. Foto : SB/Muharno Zarka

oleh Idham Cholid

“Bagi saya, PKL adalah Pedagang Kreatif Lapangan.” Demikian Walikota Jambi Dr. Syarif Fasha. Dia sampaikan itu saat menerima pengharagaan dari APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia), 2019 lalu, atas jasa dan dedikasinya dalam menata PKL.

Menarik. Istilah itu, bagi saya, adalah sebuah kreativitas tersendiri yang lahir karena cara pandang yang beda di dalam melihat PKL. Selain di Jambi, kita bisa temukan juga di beberapa daerah, bagaimana penataan PKL justru menjadi “nilai tambah” (added value) tersendiri di sektor pariwisata. Seperti di Bandung atau Yogyakarta misalnya. Kalau Bali, jangan ditanya lagi.

Disinilah perlunya cara pandang baru. Karena sudah sangat umum selama ini, PKL hanya dianggap sumber masalah. Keberadaannya selalu dilihat sebagai persoalan yang mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Pandangan konservatif itu justru akan semakin mematikan kreativitas masyarakat. Lebih-lebih dalam situasi pandemi seperti saat ini, praktis, mereka semakin tak berdaya lagi.

Salah Kaprah

blank
Idham Cholid (Ketua Umum Jayanusa),. Foto: SB/dok

Sebenarnya istilah PKL (Pedagang Kaki Lima) untuk menyebut pedagang kecil yang berjualan di trotoar atau pinggir jalan raya adalah istilah yang salah kaprah.

Kita lihat saja sejarahnya. Istilah PKL itu sendiri baru populer sejak 1980-an. Disebut “kaki lima” karena cara berjualannya dengan gerobak yang berkaki tiga. Ketika ditambah dengan dua kaki pedagangnya, maka berjumlah lima. Disebutlah kemudian Pedagang Kaki Lima.

Meski istilah itu menjadi versi paling populer, namun tak cukup kuat untuk menjelaskan tentang keberadaan mereka yang sebenarnya.

Karena pada realitasnya, pada tahun-tahun sebelum itu kita sudah mengenal bakul gendong atau pikul misalnya, yang sampai saat ini juga masih ada, justru menjadi moda berjualan khas pedagang kecil nusantara.

Jika PKL dimaksudkan untuk menyebut mereka yang berjualan di trotoar atau pinggir jalan, sejarahya bisa dikulik dari sejak awal abad 19 ketika Sir Thomas Stamford Raffles menjabat Letnan Gubernur Jawa, berkedudukan di Buitenzorg (Bogor).

Negarawan asal Inggris itulah yang menulis karya penting, yaitu The History of Java. Dia juga yang mendirikan Kota Singapura, awalnya merupakan pos perdagangan bebas di Semenanjung Malaka, pada 29 Januari 1819.

Saat memerintah Jawa, kebijakannya sangat tegas. Dia perintahkan setiap pemilik gedung di jalan utama Batavia agar menyediakan ruas khusus bagi para pejalan kaki (pedestrian) yang lebarnya lima kaki, atau satu setengah meter. Oleh Raffles, kebijakannya itu disebut Five Foot Way. Ketika para pedagang kemudian menggunakannya sebagai tempat mangkal untuk berjualan, disebutlah Five Foot Way Trader.

Disitulah masalahnya. Ketika dialihbahasakan, lalu menjadi pedagang kali lima. Justru “pedagang lima kaki” adalah terjemahan yang lebih tepat sebenarnya. Namun begitulah kenyataannya, istilah Pedagang Kaki Lima –disingkat PKL– sudah kadung diterima. Maka sekali lagi saya tegaskan, ini istilah yang salah kaprah!

Ketika Walikota Jambi menamainya dengan Pedagang Kreatif Lapangan, untuk menyebut PKL, saya katakan itu sebagai kreativitas tersendiri. Inilah cara pandang yang tepat, terlebih dia juga bisa mengambil kebijakan dan langkah yang tepat pula.

Pedagang Kecil Lillah

blank
Pengurus Komunitas Pedagang Kecil (Kompak) Wonosobo siap meramaikan Pasar Wisata Minggu. Foto : SB/Muharno Zarka

Saya punya istilah sendiri. Menurut saya, PKL adalah Pedagang Kecil Lillah. Secara faktual, itu lebih tepat untuk melihat realitas dan kondisi obyektifnya saat ini. Mereka tiada lain para pedagang kecil yang menjajakan makanan, gorengan, sayuran, dlsb.

Tidak hanya di trotoar atau pinggir jalan, mereka adalah para pedagang kecil yang bisa kita temukan di mana saja. Di pasar, di stasiun, terminal, bahkan yang keliling kampung, dari satu daerah ke daerah lainnya. Yang terakhir ini disebut juga pedagang keliling.

Mereka semua adalah pedagang kecil. Cakupannya mesti diperluas lagi. Termasuk mereka yang membuka warung kopi, penjual bakso, soto, pempek, nasi pecel, megono, jajanan khas kampung –seperti lupis, cenil, tiwul, dawet, dsb; atau yang buka toko kelontong di rumah-rumah. Mereka semua, sekali lagi, para pedagang kecil dengan modal hanya ratusan ribu sampai puluhan juta. Tak lebih dari itu. Atau yang nyaris tanpa modal, tapi hanya perlu operasional –seperti penjual koran, asongan, atau makelaran yang hanya perlu keterampilan “berdiplomasi” saja.

Adakah mereka selama ini “disentuh” pemerintah? Saya katakan, mereka semua “Lillah,” bergantung hanya dan karena Allah semata. Tak ada pamrih lain. Tekadnya sangat kuat untuk “menghidupi” keluarga, cukup untuk kebutuhan pokok sehari-hari, tanpa merepotkan yang lainnya.

Meski nyaris tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, tapi mereka tetap mandiri. Itulah kekuatan mereka.

Kita lihat saja, program dan kebijakan apa yang dipersembahkan kepada mereka? Jangankan program kebijakan, apakah aktivitas mereka masuk kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang digalakkan pemerintah itu?

UU No. 20 tahun 2008, misalnya, menetapkan bahwa kriteria Usaha Mikro adalah yang memiliki kekayaan bersih Rp.50 juta –tidak termasuk bangunan, tanah tempat usaha; dan hasil penjualan setiap tahunnya maksimal Rp.300 juta.

Sedang Usaha Kecil, kriterianya memiliki kekayaan bersih Rp.50 juta, dengan maksimal yang dibutuhkannya mencapai Rp.500 juta, dan hasil penjualan setiap tahunnya antara Rp.300 juta sampai Rp.2,5 miliar.

Adapun Usaha Menengah sering dikategorikan sebagai bisnis besar dengan kriteria kekayaan bersihnya mencapai lebih dari Rp.500 juta sampai Rp.10 miliar, tidak termasuk bangunan dan tempat usaha. Hasil penjualan tahunannya mencapai Rp.2,5 miliar sampai Rp.50 miliar.

Nah, dimanakah sebenarnya para pedagang kecil berada? Mereka tak masuk dalam kriteria itu semua.

Jika modal mereka hanya tekad dan semangat, tanpa jelasnya sumber dana, bagaimana seharusnya menjadi berdaya?

Kebijakan yang Berpihak

Pedagang kecil harus diberdayakan dengan pemihakan yang jelas dan tegas. Disini sudah tidak saatnya lagi pemerintah tampil sebagai “motivator” yang hanya menyemangati mereka. Mereka pekerja keras yang mandiri, kurang semangat apa lagi?

Sekali lagi, stop menjadi motivator. Itu tugasnya da’i atau rohaniawan pada umumnya untuk menyuntikkan nilai-nilai spiritualitas agar laku hidup semakin “berkualitas,” jujur dan ikhlas.

Tugas pemerintah, tiada lain, menjadi eksekutor. Maka rumuskanlah kebijakan yang berpihak, kemudian eksekusi kebijakan itu secara detail dan tuntas!

Bisakah hal itu diwujudkan, kenapa tidak? Saya ambil contoh sederhana, apa yang pernah dilakukan Jokowi saat menjadi Walikota.

Peristiwa itu sudah lama, tepatnya 2006 yang lalu. Saat itu Walikota Jokowi merelokasi para pedagang kecil dari daerah Banjarsari ke daerah Semanggi (Selir, Solo). Dari Banjarsari yang kumuh dan sewaktu-waktu bisa digusur, dipindahkan ke tempat baru yang elok, menjadi Pasar Klithikan Notoharjo.

Sesuai namanya, Notoharjo, kini para pedagang kecil itu benar-benar tertata. Tidak saja tempat usahanya, tapi derajat hidup mereka juga menjadi lebih baik lagi. Dari pedagang kecil, sekarang sudah banyak yang menjadi saudagar kaya. Itulah keberpihakan namanya.

Jadi, sekali lagi, harus dengan kebijakan yang berpihak.

Selama ini pemerintah bukan tidak berpihak. Tapi keberpihakannya, menurut saya, masih bersifat karitatif dan seremonial. Sekadar untuk kepentingan pemberitaan bahwa pemerintah sudah hadir memberikan bantuan.

Kebijakan yang berpihak itu haruslah transformatif, bagaimana melakukan perubahan secara mendasar.

Untuk di daerah misalnya, bisa dimulai dengan merumuskan Perda yang benar-benar bisa memberikan perlindungan kepada para pedagang kecil. Bagaimana mereka ditempatkan yang layak, dimudahkan segala akses sumber dana, ditingkatkan kapasitas dan profesionalismenya dll, adalah menjadi bagian yang penting dalam Perda tersebut.

Beberapa waktu lalu, pada 30 April 2020, saat membuka Musrenbangnas 2020 dan Penyusunan RKP 2021, Kementerian PPN/Bappenas, Presiden Jokowi sudah memberikan arahan yang jelas dan tegas agar Pemda memperhatikan masyarakat kecil dari sektor informal.

Pedagang kecil sebagaimana yang saya jelaskan di atas adalah sektor informal yang dimaksud Presiden Jokowi. Memperhatikan, artinya memberdayakan mereka!

Jadi, sudah sangat jelas sekali. Terus, mau apa lagi?

Kalisuren, 14 Januari 2021

Idham Cholid
Ketua GMPK Wonosobo;
Pembina Komunitas Pedagang Kecil (Kompak) Wonosobo.