blank
Demonstrasi di Amerika Serikat setelah penetapan Presiden terpilih Joe Bidden. Foto : SB/dok

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

Di negara demokrasi selain AS, jika ada korban jiwa atas nama demokrasi tidak begitu mengherankan.

Tetapi tidak ada yang menyangka kalau Demokrasi di AS yang telah berjalan sejak diproklamirkan kemerdekaannya 4 Juli 1776 itu akan mengucurkan darah dan mencabut nyawa empat orang dan salah satunya penegak hukum atas nama demokrasi itu sendiri.

Sebuah negara yang disanjung tinggi mantra demokrasinya dan hukum yang ditaati. Tiba-tiba sifat negatifnya menyeruak dalam tragedi penetapan kemenangan pilpres Joe Biden, pada Rabo, 6 Januari 2021 lalu.

Empat mantan presiden langsung angkat bicara dengan nada tinggi dan menghujat sang presiden yang lagi berkuasa, Donald Trump. Komentar itu datang dari: 1. Jimmy Carter menyebut peristiwa itu sebagai “Tragedi Nasional”.

2. George W Bush (Republik) mengatakan, “saya syok atas serangan yang telah menginjak-injak institusi kami, tradisi kami dan penegakan hukuman mati. Penyerangan itu tak ubahnya sebagai “Banana Republic”. (AFP).

3. Bill Clinton (Demokrat) menyatakan “hari ini konstitusi dan negara kita menghadapi serangan yang belum pernah terjadi sepanjang hidup AS”. 4. Barack Obama (Demokrat) menyatakan “bahwa peristiwa itu sebagai aib besar bagi AS.”

Ungkapan ini, isyarah bahwa demokrasi masih potensial bisa hidup. Memang, mengharapkan sistem kenegaraan yang sempurna termasuk demokrasi adalah utopi. Akan tetapi sistem selain demokrasi seperti kerajaan monarchi yang sempurna lebih utopi lagi.

Sistem khilafah ar-rasyidin (yang mirip demokrasi iliberal) saja, dari empat khalifah ada 75 persen yang berakhir syahid alias terbunuh. Jadi estafet kepemimpinan negara masih berdarah-darah karena hanya 25 persen yang wafat alamiyah.

Menurut Robert N. Bellah, hal itu karena begitu modernnya sistem negara syuro yang diintroduksi oleh Islam, dan mayoritas muslim belum siap menerapkannya.

Demokrasi Berketuhanan

blank
Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Muchotob Hamzah MM. Foto : SB/Muharno Zarka

Ijtihad para ulama’ tentang estafet kepemimpinan masa itu berganti-ganti metode dari satu khalifah ke khalifah berikutnya, pertanda tidak adanya sistem yang baku dari Nabi, dan bukti juga sebagai pencarian sistem kenegaraan menuju kesempurnaan.

Demikian juga demokrasi di seluruh dunia yang selalu diupayakan penyempurnaannya termasuk di Indonesia. Di AS yang dipandang induk semang demokrasi-pun mengalami pasang surut.

Dari empat puluh lima presiden yang berkuasa, empat presiden AS yang mati ditembak. 1. Abraham Lincoln (16), 2. J.A. Garfield (20), 3. William McKinley (25) dan J.F. Kennedy (35).

Bahkan slogan demokrasi from people, for people, by people dikritik oleh sementara orang dengan kata-kata: from capitalist, for capitalist, by capitalist. Di Indonesia, slogan Vox populi Vox Dei, ternyata menjadi suara rakyat via suara uang.

Gus Dur berseloroh, Ketuhanan YME digantikan oleh Keuangan yang maha kuasa. Di Hungaria, presiden Octav Urban yang berbekal anti-agama tiba-tiba menjadi populis menggandeng Kristen untuk dapat dipilih berkali-kali atas nama demokrasi pula.

Akan tetapi demokrasi khususnya yang berketuhanan bila dijalankan sesuai hukum, tetap memiliki kelebihan sebagai berikut ;

Pertama, terbukti kepuasan warga lebih tinggi daripada negara otoriter karena warga merasa memiliki dan terlibat dalam arah dan tujuan bernegara.

Kedua, terbukti lebih rendah tingkat berperangnya dengan negara lain karena kebijakan berperang diputuskan secara berlapis eksekutif dan legislatif.

Ketiga, lebih tinggi tingkat kesejahteraannya sesuai milikan SDM dan SDA-nya, karena anggaran negara bisa diawasi secara berlapis pula, di samping polititisi yang gagal bisa langsung dihukum rakyat dengan tidak nemilihnya kembali.
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!

Magelang, 13 Januari 2021

Penulis KH Dr Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng Wonosobo