blank
"Tembang Kegelisahan", buku puisi Amir Machmud NS. Foto: wied

PEMIKIRAN adiluhung dilahirkan dari keheningan paling subtil. Demikian pernah dinubuatkan Thomas A Edison. Pepaknya, dia mengatakan,”The best thinking has been done in solitude. The worst has been done in turmoil“.

blank
Amir Machmud NS, selain sebagai kolumnis bola, dia juga seorang penyair, bahkan penulis cerpen. Foto: wied

Singkatnya, Edison ingin mengatakan, kesunyian, keheningan, sunyi yang menyembunyikan bunyi adalah inti dari pemikiran adi. Mungkin karena itulah, dalam dunia Islam, sholat Tahajud dilakukan di malam sepertiga ketiga, yang dipercaya sebagai rumahnya keheningan.

Tampaknya, semangat itulah yang ada dan terbaca dalam buku Tembang Kegelisahan, Puisi-Puisi Amir Machmud NS, 2020 terbitan Penerbit Mimbar Media Utama.

Buku setebal XII + 108 halaman, ini tidak hanya akan mengajak pembacanya berpakansi ke rumah dan halaman bermain “aku lirik” dan “aku pengarang” yang hanya berjarak sebenang.

Lebih dari itu, pembaca juga dirayu dengan cara paling biru dan syahdu masuk ke dunia kesunyian aku pengarang. Dengan cara gilang-gemilang.

Bahkan dari mula, dalam kata pengantarnya, wartawan senior yang kadung dicitrakan sebagai pengkaji dunia sepak bola, itu mendaku secara terang-benderang; “memaknai puisi sebagai ziarah sunyi. Yang mengalir mencari pembebasan ungkapan. Yang memancar mencari ungkapan-ungkapan pembahasaan perasaan. Menemukan sunyi adalah puisi. Menghayati ketemaraman adalah puisi. Menikmati cahaya adalah juga puisi”. (hal iii).

Meski setelah kita membaca separuh halaman buku saja, sejatinya si empunya nama, sudah ketahuan bukan sembarang persona. Dapat dimasukkan dalam barisan, “manusia yang berupaya untuk selesai dengan dirinya sendiri”. Berikhtiar menjadi suhud dalam bahasa filsafati.

Dengan mengajak kita (?) mengeja alih ba ta kesepian, untuk kemudian membahasakannya dalam puisi yang berisi. Kita dapat berdebat tentang bentuk puisi buku ini. Meski sebagai anak sekolahan (sastra), saya sejatinya malah paling wegah beradu pikiran tentang bentuk.

Karena bentuk adalah nisbi. Saya lebih bergairah dan riang mendongeng tentang isi! (Ini bukan contoh yang ideal). Karena isi mengayakan, mematangkan, menggembleng, untuk kemudian mendalamkan dan memaksa kita menjadi dewasa. Seiring usia.

Saya nukil sepetil saja pendapat Handry TM. Menurut penekun sastra yang teruji, itu 68 puisi di antalogi Tembang Kegelisahan, ini secara bentuk juga apik sekali — semoga pembacaan saya atas catatan mas HTM tidak keliru (cmiaw; correct me if am wrong).

Karena kata, diksi, majas juga Innuiendo (sindiran yang merendahkan) rapi di sana.

Persajakannya tertata, indah. Bahkan beberapa puisi, imajis dan pilu. Akhirnya HTM menabalkan buku ini sebagai epitaph (tulisan di batu nisan) kesunyian. Nanti akan saya tanyakan langsung jika bersiborok nasib dengan mas HTM ihwal maksud batu nisan kesunyian, itu.

Saya menggarami lautan, kalau berbicara tentang bentuk dengan mas HTM. Tidak, tidak. Saya lebih suka masuk ke rumah isi (puisi). Yang membebaskan, melepaskan, mendalamkan dan membuat kita “kenyang”.

Saya tidak akan menimbang mas Amir sebagai penyair yang sedang bermain dengan bahasa via penggunaan metafora, simile, dan purwakanti, misalnya. Juga menelisiknya dengan perangkat sastra apa pun yang digunakan, seperti aliterasi dan asonansi, yang membantunya memahat bahasa puisi. Juga pisau analisis kiwari lainnya.

Juga metode yang digunakan penyair galibnya dalam membuat mahakaryanya. Dari Berima (teknik puisi yang paling jelas digunakan). Pengulangan (melibatkan pengulangan baris atau kata beberapa kali dalam puisi), onomatopoeia, aliterasi, assonance, dan masih banyak lagi.

Meski sayangnya, atas nama unggah ungguh, ketidakpercayaan diri, atau apa pun namanya, mas Amir malah pagi-pagi sekali dengan kerendahan hati mengatakan, buku puisinya ini bukan karya sastrawi. “Saya tidak berani mengklaimnya sebagai karya sastra, melainkan tafsir belaka”. (hall iv).

Tidak mengapa. Jagoan memang begitu, tidak senang mendaku-daku. Penilaian dari liyan. Lakon mah tenang-tenang aja. Meminjam bahasa bang Tardji ( Sutardji Calzoum Bachri), seseorang menjadi penyair jika seseorang lainnya menyebutnya penyair. Sesederhana itu saja. Bahwa syairnya memenuhi kaidah sastra atau belum. Itu dua hal yang berbeda.  Intinya, mas Amir, via buku puisinya ini, ingin mengajak kita (?) menyelami puisinya. Yang ngga mau diajak berenang untuk kemudian menyelami puisi, juga tidak mengapa. Sekedar keceh, untuk kemudian ciprat-cipratan puisi juga tak mengapa. Yang penting happy dan sentosa.

Karena sepemahaman saya yang tidak seberapa ini. Manusia adalah inti dari puisi. Hakikat manusia berada dalam puisi. Dalam puisi kita mengungkapkan sesuatu yang substansial milik diri kita sendiri, dan kita menemukan kembali sesuatu yang substansial dari diri kita sendiri.

Jadi, sekali lagi saya tidak akan berbicara tentang bentuk puisi. Dengan imagery-nya, aliterasinya,

dan perangkat puitisnya. Serta ini, yang dipercaya menjadi kunci utama puisi, yaitu ritme dan penekanan baris berdasarkan ketukan suku kata. Serta penggunaan diksi yang tepat dan ekonomis, misalnya.

Saya memilih mendatangi, dan kalau dan diperkanan masuk ke rumahnya,     malah akan membebaskan puisi dengan segala perkara bentuknya. Tidak harus mengikuti struktur formal. Apalagi harus bersetia dengan blok bangunan dasar puisi, yaitu syair yang dikenal sebagai stanza.

Karena sekeyakinan saya. Sebagaimana jodoh dalam segala hal. Puisi adalah perkara cocok-cocokan. Terkadang saya merasa berjodoh dengan puisi Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, juga Wiji Thukul.

Tapi dalam banyak puisi lain, puisi sejumlah nama kanon di atas, seperti memunggungi saya. Saya mencoba menyapa untuk kali kedua, ketiga dan seterusnya, “ngga kena” juga. Tidak ada klik. Jadi, ya sudah, belum berjodoh kita. Tapi sangat bisa jadi, berjodoh dengan kawan kita lainnya.

Fenomena di atas adalah hal yang lumrah. Cantik menurut kita belum tentu apik menurut kawan sepersajakan kita. Demikian sebaliknya. Vice Versa.

Demikian halnya dengan sejumlah puisi mas Amir. Dalam beberapa sajak saya mendapatkan kedalaman, juga persamaan frekwensi. Seperti dalam puisi berjudul Kutoreh Puisi Lalu Kulepas Sukma Untuk Terbang Menemukan-Mu; //pun andai Kau beri keniscayaan untuk menemui haribaan itu puisiku menggurit keyakinan betapa takkan mampu takkan ada kekuatan apa pun bagiku untuk berani selancang itu menatap

Mu…//. (8).

Juga pada puisi berjudul Taubat; // Kaupikir mudah menyalin gelisah/menjadi maqam istiqamah//.

Lalu juga pada sejumlah puisi berisi lainnya, seperti Tembang Kegelisahan, Dalam Juz Demi Juz, dan Cahaya Tak Berarti Terang.

Mohon izin saya kutipkan petikan puisi Cahaya Tak Berarti Terang; //tanda-tanda pasti ada/isyarat yang meminta kau baca/agar mata menjadi matahati/agar telinga menjadi nurani/agar tatapan memancarkan kearifan/ agar kata-kata kau kemas menjadi kebajikan//. (12).

Atau di puisi berjudul Yang Meminggir; //tak guna kau memutar takdir/ yang tak mungkin dipaksa menyingkir//. (17).

Serta ini, puisi yang menurut subyektifitas saya semangatnya serupa Ahasveros. Petualang sejati, yang dikutuk untuk hidup dan tinggal di perjalanan, selamanya, berjudul Dia Nyalakan Api Sesal; // Lelaki itu telah menyalakan api sesal/ dan tak akan memadamkannya/ di sepanjang sesal sisa hidupnya//. (21).

Baru membaca separuh halaman buku puisi ini saja, jika tilikannya pada isi, sudah sangat mengenyangkan saya. Kalau saya teruskan, malah bisa mabok saya dibuatnya. Maka, sebagaimana makan, membaca puisi juga secukupnya. Berhentilah sebelum kenyang. Karena akan membuat Anda tuan dan puan, terlalu menjadi bijaksana, nantinya. Jika terlalu banyak bergaul dengan puisi seperti ini. Semua yang terlalu, menurut para tetua, tidak baik. Meski tidak melanggar apapun.

Karenanya, saya berani menyarankan buku puisi ini, sebagai bahagian dari koleksi buku puisi di rak buku Anda wahai tuan dan puan.

Karena di buku puisi ini, puisi tidak berhenti pada maqom sebagai satu bentuk ekspresi, saja. Lebih dari itu, via kedalamannya, penerimaannya, juga kebesaran jiwanya, buku puisi ini memungkinkan dirinya mengeluarkan perasaan dan pikiran aku pengarang tentang suatu subjek.

Dengan membacanya, niscaya akan   mendorong kita (?) untuk terhubung dan menemukan makna dalam pengalaman aku pengarang. Benar. Di tangan mas Amir, Puisi dapat berdampak positif pada pembelajaran sosial dan emosional. Meski, belum atau tidak menawarkan cara baru dalam mendekati puisi. Same all story.

Sebelum saya sudahi, simaklah bagaimana dengan tersiratnya puisi berjudul Yang Membedakan Hanya… bernarasi. Yang sejatinya liriknya menohok rezim mana yang ditimbang aku pengarang, mulai berjalan di luar trek semestinya;

//yang membedakan hanya karena kau takut hilang kemewahan sesungguhnya kita sama: manusia/ yang membedakan hanya karena kau tak mau membayangkan akhirat sesunggunya kita sama: hamba/ yang membedakan hanya karena kau tega memenggal hak sesama sesungguhnya kita sama: bangsa/yang membedakan hanya karena kau reIa menepikan nurani sesungguhnya kita sama: hidup/ yang membedakan hanya karena kau punya kuasa sesungguhnya kita sama: Iemah/ lalu mengapa mati-matian unjuk kuasa/ Ialu mengapa enteng menafikan hak mereka/ lalu mengapa mudah memerkarakan sesama/ laIu mengapa seoIah-olah kau bakal berjaya selamanya?/ yang membedakan karena kau berhak menafsirkan dan kami hanya menjadi objek tafsiryang tak berhak melawan//. (24). Demikian. (G20).

Benny Benke