blank
Para "Avengers" sepak bola. Foto: istimewa

blankOleh: Amir Machmud NS

//… itukah hidup yang menghidupi sepak bola?// takdir yang saling menggenapkan// dari sepak bola mereka ada// mereka ada maka ada sepak bola// inikah hidup dengan berkah berlimpah?// bakat, intelegensia, dan intelektualitas// tak semudah itu manusia memburunya// katakan, sepak bola itu karunia// (Sajak “Manusia Langka Sepak Bola”, 2020)

MANUSIA-manusia langka mewarnai perjalanan olahraga sepak bola. Mereka meraih mahkota keagungan lewat persembahan piala untuk klub dan tim nasional negaranya. Sebagian merengkuh puncak-puncak pengakuan individual berupa trofi; tak sedikit pula yang bertabur mitos dalam karier dan jalan hidup mereka.

Para sepakbolawan hebat hadir dengan kemampuan eksepsional, menciptakan superioritas aksi-aksi, yang di antaranya bahkan melewati kelaziman batas-batas teknis anak manusia. Lionel Messi misalnya, sering digambarkan sebagai alien, makhluk angkasa luar yang kemampuannya tidak bisa dibandingkan dengan manusia biasa.

Berbagai karakter, gaya, dan capaian memosisikan para “soccer superhero” itu dengan maqam masing-masing. Diego Maradona yang dijuluki El Pibe de Oro (Anak Ajaib) dielu-elukan sebagai “dewa” di Napoli. Di Argentina bahkan muncul histeria sebuah “sekte” keagamaan yang secara khusus berkiblat memuja Maradona.

Anda pasti mencatat pula betapa Edson Arantes do Nascimento alias Pele dijuluki “Raja”, Franz Beckenbauer mendapat pengakuan sebagai “Kaisar”, atau Ronaldo Luis Nazario Lima dengan predikat “Sang Fenomenal”. Cristiano Ronaldo menginspirasi anak-anak muda di seluruh dunia untuk mengikuti jejak cemerlangnya.

Dengan predikat-predikat semacam itu, apakah mereka merupakan penguasa yang tak tergantikan di masing-masing posisi bermain sepanjang masa?

Begitu banyak manusia sepak bola terbaik pada eranya, atau yang punya keistimewaan tak tertandingi, dan kelahiran bintang itu berlangsung susul menyusul pada tiap masa. Dan, tiap era bintang pastilah punya tingkat tantangan yang berbeda.

Bayangkanlah pula, bagaimana tingkat rivalitasnya, andai dibentuk tim sepanjang masa? Atau yang paling moderat kita menganut aksioma “versi”, yakni terbaik versi A, ala B, menurut C, dan seterusnya. Kalau kita membuat strata tim utama, tim cadangan, lalu tim cadangan kedua, pastilah terkesan subjektif dan diskrimatif, mengingat para “avenger” itu memiliki keutamaan masing-masing.

*   *   *

MAJALAH penggagas trofi Ballon d’Or pada era 1960-an, France Football belum lama ini membuat jajak pendapat tentang penyusunan “dream team” starting eleven: siapa saja pemain yang layak masuk dalam formasi tim terbaik sepanjang sejarah?

Dan, inilah hasil jajak pendapat itu.

Kiper: Lev Yashin (Uni Soviet). Bek: Cafu (Brazil), Paolo Maldini (Italia), dan Franz Beckenbauer (Jerman). Gelandang: Lothar Matthaeus (Jerman), Xavi Hernandez (Spanyol), Diego Maradona (Argentina). Penyerang: Pele (Brazil), Lionel Messi (Argentina), Cristiano Ronaldo (Portugal), dan Ronaldo Luis Nazario Lima (Brazil).

Skema lain bisa kita akses dari versi majalah terkemuka World Soccer yang menggelar formasi 4-4-2. Kiper: Lev Yashin. Bek: Cafu, Franz Beckenbauer, Bobby Moore (Inggris), Paolo Maldini. Gelandang: Alfredo Di Stefano (Spanyol), Johan Cruyff (Belanda), Diego Maradona, Ziedine Zidane (Prancis). Penyerang: Pele, dan Lionel Messi.

Sedangkan versi terbaik sepanjang masa dalam Piala Dunia menghasilkan skema kiper: Lev Yashin. Bek: Cafu, Nelson Santos (Brazil), Franz Beckenbauer, Bobby Moore. Gelandang: Lothar Matthaeus, Zinedine Zidane, Garrincha (Brazil), Diego Maradona. Penyerang: Pele, Gerd Mueller (Jerman).

Dari tiga versi itu, nama yang selalu muncul adalah Yashin, Cafu, Beckenbauer, Moore, Maradona, dan Pele. Yang muncul di dua versi: Maldini, Mattaheus, dan Messi. Sedangkan Garrincha, Nelson Santos, Xavi, Cristiano, Di Stefano, Cruyff, Mueller, Zidane, dan Ronaldo Nazario muncul dalam satu versi.

Hanya ada 11 slot pada tiap versi. Padahal sejarah melahirkan banyak mahabintang di tiap posisi, sehingga tidak setiap bintang bisa memperoleh tempat. Anda tentu mempertanyakan, di mana memosisikan para pemain sehebat Rivelino, Zico, Kaka, George Best, Ruud Gullit, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Dejan Savisevic, George Weah, George Best, Michael Platini, Thomas N’Kono, Eric Cantona, Zlatan Ibrahimovic, Samuel Eto’o, Ronaldinho, Luka Modric, bahkan Son Heung-min?

Padahal pula, masih banyak “avenger” lain yang terlewat.

Kini, penyerang subur Bayern Muenchen Robert Lewandowski juga meneguhkan pengakuan dalam deret sejarah pemain besar sebagai Pemain Terbaik FIFA 2020, menyisihkan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Mungkin pertanyaan ini juga diapungkan oleh para apresian sepak bola Spanyol: ketika Xavi masuk dalam skema terbaik versi France Football, bagaimana penilaian kita terhadap Andres Iniesta, Sergio Ramos, dan Iker Casillas yang mengarungi masa-masa puncak pada era kejayaan klub dan tim nasional La Furia Roja pada 2008 hingga 2012?

Barang tentu, tidak mudah memadatkan apresiasi ke dalam sebuah formasi tim yang terbatas. Sepak bola akan terus melahirkan anak-anak kandung yang hebat, baik dengan talenta langka dan kejeniusan ala Pele, Maradona, Ronaldinho, atau Messi. Atau yang terasah lewat spartanitas latihan ala Zidane dan Cristiano Ronaldo. Mungkin pula dengan intelektualitas ala Beckenbauer, Cruyff, Platini dan Son Heung-min.

Setidak-tidaknya, otak-atik bergaya mediatika ala France Football dan World Soccer bakal membantu cakrawala pandang kita, betapa sepak bola mengetengahkan produk gabungan antara impian, ide, intelektualitas, dan kejeniusan. Di luar itu ada faktor karunia yang bernama “bakat lahir”.

Pada kelompok ini, sepak bola ditakdirkan menjadi hidup sebagian manusia, dan hidup para bintang itu telah disuratkan untuk menghidupkan sepak bola.

Nah, tak pernah ada matinya bukan membicarakan mereka?

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah