blank
Sidik. Foto: dok/ist

blank

SAYA mulai belajar tenaga dalam kelas dua SLTA. Sebelumnya, aktif di beberapa cabang beladiri. Pencak Silat yang cukup lama saya pelajari setiap malam, selain malam Jumat dan Ramadan, selama 3,5 tahun.

Kelas II SLTA gabung di perguruan tenaga dalam. Baru latihan tiga bulan, sudah jadi asisten pelatih, bahkan diberi mandat buka anak cabang di desa saya. Pertimbangannya, saya banyak jaringan teman dari berbagai cabang beladiri.

Belakangan ini saya sering mendapat pertanyaan, benarkah tenaga dalam itu berfungsi untuk beladiri di luar gelanggang pelatihan, dengan lawan non teman seperguruan? Pertanyaan itu diajukan, karena secara umum dipahami, tenaga dalam “pukulan jarak jauh” itu terkesan hanya berlaku bagi sesama anggota perguruan.

Catatan Penulis

Menurut pengamatan saya, tenaga dalam itu tingkat keberhasilannya ditentukan siapa yang menggunakan, siapa pula yang dihadapi. Saya mencatat banyak kejadian. Awal tahun 198,0 anggota perguruan saya yang sopir mobil umum, saat mencari penumpang di depan pasar, tiba-tiba penumpangnya pada turun karena ada orang sakit jiwa berpenampilan kumal masuk mobil.

Sopir berusaha membujuk agar dia turun, namun ditolak. Hingga akhirnya terjadi saling tarik. Orang itu melawan. Tangan sopir dicengkeram. Sopir mulai ragu. Dia membandingkan saat latihan dengan teman seperguruan, penyerang tak mampu mendekat, namun saat ada kejadian sesungguhnya, tangannya bisa dipegang dan ditarik.

Dalam keraguan itu dia pasrah. Namun betapa kagetnya, ketika gelandangan itu menyerangnya, beberapa kali pukulannya meleset. Seketika rasa percaya dirinya bangkit. Dia lalu memanfaatkan jurus tenaga dalam, dan penyerang itu terpental dan terjatuh berulang-ulang.

Kejadian itu disaksikan banyak pengunjung pasar. Di antara mereka banyak yang kemudian gabung pada kelompok latihan kami, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri.

Santet

Setelah kejadian itu, ada kejadian yang tidak terekspos, karena kejadiannya di dalam rumah, dan pada malam hari. Yaitu warga desa saya sudah empat bulan perutnya bengkak dan tiduran di ranjang. Tahu saya melatih tenaga dalam, keluarganya pun meminta saya mengobatinya.

Cara saya mengobati cukup menempelkan telapak tangan, berdoa, dan melakukan pernapasan. Reaksinya, dari betisnya mengucur air bening, dan bengkak pada perutnya menyusut. Pada pengobatan kedua, semua isi perutnya tuntas.

Ketika dia sudah bisa bicara, dia mengaku sebelumnya pernah disuruh seseorang untuk menanam tumbal “benda santet”. Ketika targetnya sakit dan meninggal, bengkak perutnya “menular” ke dirinya.

blank
Sukijan. Foto: dok/ist

Dihadang Rampok

Ada juga yang dialami anggota lain di Lampung. Lima petugas pemberantasan malaria -dua di antaranya anggota perguruan tenaga dalam- saat melintas hutan dihadang kawanan perampok bersenjata tajam, yang ingin menjarah fasilitas kerja mereka.

Pertama kali yang jadi adalah, sasaran tim yang masih remaja yang juga anggota perguruan. Sayangnya, sekali dipukul dia langsung terkapar. Tenaga dalamnya tidak aktif.

Melihat teman seperguruannya KO, kepala rombongan grogi. Saat sabetan golok diarahkan padanya, dia melindungi wajahnya dengan ransel. Terjadi keajaiban. Kelima penyerang bersenjata itu tidak mampu mendekat. Bahkan saat dia hentakkan kaki, kawanan perampok itu terjatuh lalu pilih kabur.

Visualisasi Tali

Suatu hari ada warga desa yang baru pulang dari perantauan dalam keadaan stres, dan akan membakar rumah orangtuanya. Tak ada yang berani mendekat, karena dia memegang linggis. Warga lalu minta warganya seorang guru (Kepala SD) yang juga anggota perguruan tenaga dalam, untuk mengatasinya.

Saat didekati, guru yang juga tokoh agama setempat itu, disambut hantaman linggis. Beruntung, hantaman itu meleset. Ujung linggis menancap tanah sampai kedalaman dua kilan lebih, menunjukkan begitu kuatnya tenaga remaja yang kalap itu.

Saat terjatuh, anggota perguruan itu lalu “mengunci” kedua kaki remaja itu, dengan visualisasi seolah mengikat dengan tali pada kedua kakinya. Dan itu membuat anak yang semula kalap menjadi tidak berkutik. Nah, saat kakinya terkunci itu, beberapa pemuda mendekat dan menggotongnya.

Saat menggotong itu, mereka terkesan menyepelekan anak muda yang semula kalap itu, “Halah.. ora piye-piye”. Pak Kepala Sekolah lalu ngerjain mereka dengan melepas “tali” pengikat pada kakinya. Spontan, remaja itu lepas dan yang menggotong pun berlarian.

Tentu tidak setiap ikhtiar dengan tenaga dalam itu berhasil. Faktor gagal terkadang juga terjadi. Ada yang sudah pelatih, saat beladiri di jalanan, tenaga dalamnya tidak berfungsi dan bibirnya jontor. Namun ada yang baru tingkat dasar, saat ronda malam duel melawan pencuri.

Saat duel, anggota saya bertangan kosong, sedangkan lawan bersenjatakan pusaka. Ketika saya tanya saat duel itu pakai jurus apa? Dijawab, “Tidak tahu pak, yang saya ingat saat itu pukulannya saya tangkis lalu masuk kedoan -sawah yang belum ditanami-, saya lupa jurus, lupa teknik pernapasan, pokoknya nekat!”

Masruri, Praktisi dan Konsultan Metafisika Tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati